TAFSIR “MAKAR” SERING DISELEWENGKAN
Tindak pidana makar diatur dalam Buku II dan Bab 1 KUHP mengenai kejahatan terhadap negara. Ditempatkannya kejahatan terhadap negara di Bab 1 KUHP menunjukkan bahwa kejahatan ini dinilai sebagai kejahatan yang paling serius. Meskipun kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan serius, namun delik ini masih menimbulkan penafsiran yang beragam dikalangan ilmuwan hukum pidana. Selain tafsir terhadap makar yang beragam, elemen delik dari makar pun dimaknai berbeda oleh para ilmuwan sehingga menjadi penting Mahkamah Konstitusi untuk memberikan makna atas delik ini. Demikian salah satu butir pandangan Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., ahli hukum pidana dari Jurusan Hukum Bisnis BINUS University yang disampaikan pada sidang uji material terhadap Pasal 87, 104, 106, 107, 108 dan 110 KUHP di Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Mei 2017.
Uji materiil terhadap beberapa pasal makar yang ada di KUHP dilakukan oleh ICJR (Indonesia for Criminal Justice Reform) ke Mahkamah Konstitusi dengan salah satu pertimbnagannya adalah bahwa penerapan delik makar sering sekali melanggar hak-hak konsititusi warga negara seperti yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, MK diminta memberikan tafsir atas delik makar tersebut sehingga tidak melanggar hak-hak warga negara. Seliain Dr. Ahmad Sofian, SH, MA yang hadir sebagai saksi ahli, pemohon juga menghadir dua saksi ahli lainnya yaitu Dr. Sri Wiyant Eddyiono, S.H., LLM (Dosen Fak. Hukum UGM) dan Dr. Fadillah Agus, S.H., M.H (dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi).
Dalam konteks makar ini Dr. Ahmad Sofian, S.H, M.A menyarankan agar makar harus dikembalikan kebentuk hukum aslinya yaitu delik “percobaan” yang menghilangkan unsur ke-3 sebagaimana diatur dalam pasal 53 KUHP. Dengan demikian unsur-unsur makar hanya terdiri dari adanya (1) niat, (2) perbuatan permulaan pelaksanaan (3) ditujukan untuk menghilangkan nyawa Presiden/Wakil Presiden atau menghilangkan kemerdekaan atau membuat mereka tidak cakap memerintah. Sebagai catatan bahwa perbuatan permulaan pelaksanaan harus mengandung elemen kekerasan atau tindakan yang membuat Presiden/Wakil Presiden tidak berdaya. Argumentasi ini dimaksudkan agar makar tidak memiliki pemaknaan yang terlalu luas. (***)