PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH MELALUI SULH
Oleh ABDUL RASYID (Juni 2017)
Dalam Islam sulh adalah salah satu metode penyelesaian sengketa yang sangat diajurkan untuk digunakan dalam menyelesaikan perselisihan. Sulh dapat diartikan sebagai penyelesaian sengketa dengan cara damai yang mencakup berbagai cara penyelesaian seperti negosiasi, mediasi/konsiliasi, dan kompromi tindakan (negotiation, mediation/conciliation dan compromise of action). Kata sulh berasal dari bahasa Arab yang berarti mendamaikan (to reconcile) dan berdamai dengan lawan’ (to make peace with an opponent). Sulh berasal dari kata kerja saluha atau salaha yang secara praktis dan menurut hukum Islam berarti ‘menjadi baik, benar’ dan menyatakan gagasan perdamaian dan rekonsiliasi
Sulh secara harfiah berarti ‘mengakhiri perselisihan’ (to end a dispute) atau ‘memotong perselisihan’ (to cut off a dispute), baik secara langsung atau dengan bantuan pihak ketiga yang netral (a third neutral party). Menurut Ibn Qudamah, sulh adalah negosiasi antara dua pihak yang bersengketa yang dapat mengarahkan kepada perdamaian. Menurut Mejelle, Pasal 1531, mendefinisikan sulh sebagai suatu kontrak yang menghapus perselisihan dengan persetujuan dan itu menjadi kontrak yang disepakati dengan penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance).
Definisi di atas mengindikasikan bahwa tujuan sulh adalah untuk mengakhiri konflik dan permusuhan antara para pihak yang bersengketa secara damai sehingga mereka bisa tetap menjalin hubungan. Sulh merupakan sebuah resolusi berdasarkan konsiliasi yang dinegosiasikan oleh para pihak yang bersengketa, baik dengan sendiri ataupun dengan bantuan pihak ketiga berdasarkan persetujuan para pihak yang bersengketa. Sulh merupakan bentuk kontrak dan setelah disepakati bersama oleh para pihak, maka menjadi mengikat secara moral. Untuk mengikat perdamaian tersebut secara hukum maka bisa dibuat secara tertulis.
Di atas dijelaskan betapa pentingnya peran sulh dan menyelesaikan sengketa sehingga sangat dianjurkan untuk digunakan dalam Islam. Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan fungsi penting sulh. Diantaranya adalah sebagai berikut:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS, An nisaa’, 4: 128)
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya…“ (QS, Al Hujuraat, 49: 9)
Dua ayat di atas dengan jelas mendorong para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai (amicable means.) Nabi Muhammad juga mengajurkan penyelesaian sengketa secara damai sebagaimana Beliau bersabda: “Konsiliasi antara Muslim diperbolehkan, kecuali konsiliasi yang menjadikan segala sesuatu yang haram menjadi hahal dan halal menjadi haram.” Sejalan dengan hadis tersebut, terdapat juga satu risalah terkenal yang ditulis oleh Umar bin Khattab, Khalifah Islam kedua, kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ketika ditunjuk sebagai hakim (qadi). Surat tersebut berisi berbagai perintah yang berkaitan dengan administrasi peradilan. Salah satu perintah tersebut terkait dengan sulh yang berbunyi sebagai berikut: “Semua jenis kompromi dan konsiliasi di kalangan umat Islam diperbolehkan, kecuali mengharamkan segala suatu yang halal dan yang halal menjadi haram.”
Berdasarkan hadits Nabi dan surat Umar di atas, penting untuk dicatat bahwa pemanfaatan konsiliasi dan kompromi untuk menyelesaikan perselisihan sangatlah dianjurkan. Dalam hukum Islam, mediasi dan konsiliasi dilakukan secara informal dan tidak diatur dengan peraturan formal, seperti halnya lembaga mediasi saat ini yang secara institusi cenderung terbelengu dengan berbagai aturan dan mekanisme yang formal. Oleh karena itu, mekanisme informal dalam sulh berguna membantu penyelesaian sengketa.
Negosiasi bilateral dapat membawa penyelesaian, jika para pihak menemukan solusi yang disepakati bersama. Apabila tidak terdapat solusi yang disepekati secara bersama, maka pihak ketiga (mediator) bisa dilibatkan untuk membantu mereka menemukan solusi yang diinginkan. Jika perselisihan sudah dibawa ke pengadilan, maka kompromi tindakan dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara yang rasional dan saling menguntungkan. Apabila perselisihan tidak dapat dikompromikan, maka secara otomotis proses pengadilan akan berjalan secara alami.
Mengingat pentingnya sulh, Pengadilan Syariah di Malaysia menggunakannya secara resmi pada tahun 2001. Sejak dipraktikan, hampir 70% kasus dapat diselesaikan dan ini sangat membantu mengurangi tumpukan perkara. Demikian pula, pada tahun 2003 Mahkamah Agung di Indonesia juga memperkenalkan mediasi sebagai bagian integral dari proses peradilan dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian direvisi dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008. Peraturan Mahkamah Agung ini kemudian direvisi kembali dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan ini dengan tegas menetapkan bahwa mediasi merupakan bagian dari proses litigasi dan tidak dapat dipisahkan darinya. Jika mediasi tidak diterapkan dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan maka putusan hakim dianggap tidak sah atau dapat dibatalkan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sulh merupakan tambang emas yang harus digunakan dan dieksplorasi sebagai langkah awal penyelesaian sengketa. Sulh dapat digunakan dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah melalui tiga tahapan yang diawali dari negosiasi, mediasi dan kemudian berkompromi dengan tindakan, Melalui mekanisme tersebut harapannya sengketa bisnis syariah dapat diselesaikan secara cepat, murah dan damai. (***)
REFERENSI:
Abdul Rasyid, “Relevance of Islamic Dispute Resolution Processes in Islamic Banking and Finance”, Journal Arab Law Quarterly, Vol. 27 Issue 4, 2013.
Syed Khalid Rashid, ‘Alternative Dispute Resolution in the Context of Islamic Law,’ Vendobona Journal of International Commercial Law & Arbitration, Vol. 7 (2004.