ISU GLOBAL SAAT INI BERNAMA HOAX
Oleh BAMBANG PRATAMA (April 2017)
Hoax merupakan isu global yang dihadapi oleh berbagai negara di era informasi saat ini. Melalui jaringan Internet yang terkoneksi secara global membuat berbagai negara kesulitan membendung arus informasi hoax. Bahkan disinyalir salah satu alasan terpilihnya Presiden Amerika Serikat, Donald Trump atas Hillary Clinton disebabkan oleh hoax terhadap Hillary Clinton yang beredar di Internet. Kondisi ini menjadi ironi, mengingat Amerika Serikat adalah negara adikuasa yang menguasai teknologi dunia seolah-olah tidak berdaya menghadapi masifnya arus bebas hoax di Internet. Oleh sebab itu, tidak heran jika hoax kemudian menjadi isu global yang harus dihadapi oleh berbagai negara saat ini.
Dalam konteks Indonesia, peredaran hoax yang menyita perhatian publik terjadi pada tahun 2014 ketika akan dilangsungkannya pemilihan presiden. Kemudian, berbagai berita hoax kembali beredar pada tahun 2016-2017 ketika akan dilangsungkannya pemilihan gubernur DKI Jakarta. Bertolak dari argumentasi sejarah di atas, muncul pertanyaan: apakah akan beredar hoax pada saat pemilihan presiden Indonesia yang akan datang? Kemungkinan beredarnya hoax tentunya terbuka lebar, jika pemerintah tidak mengambil langkah kongkret untuk menanggulanginya.
Kebebasan berinformasi merupakan faktor kunci dari beredarnya hoax. Hal ini kerapkali dijadikan alasan untuk membenturkan akses terhadap informasi (sifatnya terbatas) dengan kebebasan berinformasi (sifatnya luas). Kebebasan berinformasi menjadi induk dari kebebasan berpendapat (free speech) yang tentunya diartikan bebas sebebas-bebasnya jika hak berinformasi digunakan secara tidak bertanggungjawab. Padahal dalam kenyataannya tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya, karena selalu ada batasan atas suatu kebebasan.
Banyak kekeliruan yang berkembang secara luas bahwa setiap orang bisa dengan bebas berinformasi. Frasa berinformasi di sini diartikan secara luas termasuk mengakses, menyimpan, menggunakan, dan mengirimkan informasi. Akibatnya, berbagai informasi negatif yang beredar melalui jaringan Internet masuk ke berbagai ruang pergaulan manusia di Internet, seperti chatroom dan media sosial. Celakanya, seringkali berita hoax didistribusikan atau ditransmisikan sebagai guyonan satu sama lain. Alhasil, guyonan yang berbedar ini tidak hanya menjadi hoax, tetapi seringkali menyakiti harga diri (nama baik) dan perasaan orang (privasi) (lihat: Pratama, 2016). Bertolak dari alasan di atas, kehadiran negara untuk mengatur informasi menjadi sangat penting sehingga benturan antar hak individu bisa dihindari.
Goldsmith dan Wu, 2006 berpendapat: untuk mengatur dunia siber diperlukan suatu kontrol. Secara tradisional, fungsi kontrol ini diemban oleh masyarakat. Dalam konsep yang lebih modern fungsi kontrol masyarakat didelegasikan kepada pemerintah. Masalahnya, dalam peredaran hoax, terjadi tingginya tuntutan masyarakat akan informasi dengan mengatasnamakan demokrasi. Di sisi lain, pemerintah tidak bisa mengendalikan kebutuhan informasi masyarakat. Akibatnya arus bebas informasi tidak terkendali dan seringkali menyebabkan efek buruk dalam kehidupan sosial masyarakat.
Goldsmith dan Wu, memberi contoh tentang ’adab berformasi’ di China yang menggunakan pola intermediary berupa sensor berita khususnya berita tentang demokrasi. Hal ini dicontohkan pada kasus penangkapan remaja umur 15 tahun yang mem-posting: 54 alasan pelacur lebih baik daripada politisi China (lihat: Goldsmith & Wu, 2006: 88). Goldsmith & Wu juga menjelaskan inkonsistensi sikap Yahoo.com ketika beroperasi di China. Inkonsistensi ini terlihat dengan keberpihakan Yahoo.com kepada pemerintah China yang notabene pemerintahannya komunis. Padahal di Amerika Serikat Yahoo.com salah satu penggiat demokrasi. Tetapi, Goldsmith & Wu, memberi catatan bahwa alasan utama keberpihakan Yahoo.com semata-mata karena kepentingan ekonomi Yahoo.com, bukan kepentingan ideologi.
Pelajaran yang bisa diambil dari kasus di atas, adalah kekuatan fungsi kontrol dari pemerintah untuk mengatur Internet di China. Dalam konteks Indonesia, dengan diundangnya Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU-ITE ditegaskan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan pencegahan dan penyebarluasan informasi negatif (lihat: pasal 40 UU-ITE). Penguatan fungsi pemerintah dalam pengaturan informasi ini dipegang oleh Kementerian Kominfo. Dalam mengendalikan arus informasi di Internet berupa pemblokiran ataupun sensor yang dilakukan tentunya perlu diapresiasi, bukan dihantam dengan argumentasi pemerintah membelenggu kebebasan berekspresi. Hal ini menjadi penting untuk membatasi agumentasi kebebasan berinformasi yang sebebas-bebasnya yang seringkali menabrak kepentingan orang lain.
Terkait penangangan hoax, yang perlu menjadi catatan adalah strategi penangannya yang tidak boleh dilakukan secara manual oleh pemerintah. Untuk melakukan fungsi kontrol pemerintah ini menuntut penggunaan perangkat lunak dan perangkat keras teknologi informasi yang memadai. Jika penanganan hoax masih dilakukan secara manual, maka niscaya Pasal 40 UU-ITE tidak akan efektif, dan penutupan akses informasi yang dilakukan oleh pemerintah cenderung menjadi subjektif sehingga fungsi kontrol ini rentan untuk disalahgunakan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh sebab itu, kesiapan perangkat lunak dan perangkat keras teknologi informasi menjadi tantangan yang harus disiapkan pemerintah untuk menghadapi hoax. Selain fungsi kontrol menggunakan sistem elektronik, pemerintah juga memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat. Artinya, campaign atau informasi layanan masyarakat juga perlu dilakukan. Hal ini menjadi satu kesatuan dengan sistem kontrol informasi untuk mengantisipasi beredarnya hoax, sehingga tercipta budaya berinformasi yang sehat dan bertanggung jawab. (***)