ANTARA DARATAN (TANAH) DAN LAUTAN
Oleh ERNI HERAWATI (April 2017)
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini merupakan dasar dilakukannya pengelolaan atas sumberdaya alam dari hamparan wilayah Republik Indonesia yang terdiri atas daratan dan lautan (dan juga udara). Ketentuan selanjutnya tentang bidang agraria ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yaitu UUPA. Namun seperti yang sudah disadari bahwa undang-undang ini masih sangat berorientasi pada pengaturan tentang daratan (tanah). Padahal diketahui bahwa luas wilayah laut meliputi kurang lebih 70 % dari seluruh luas wilayah NKRI. Dalam UUPA diatur tentang bagaimana penguasaan terhadap hak-hak atas tanah, yang diatur mulai dari Pasal 16 ayat (1)sampai dengan Pasal 46 tentang Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, serta Hak Membuka Tanah dan Menungut Hasil Hutan. Sedangkan hak penguasaan atas alam yang diatur meliputi: sumber daya air hanya diatur dalam Bab tentang Hak Guna Air, Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, khususnya Pasal 47 yang terdiri dari dua (2) ayat saja dan tidak mengatur secara rinci bagaimana pengelolaan dan penguasaan wilayah-wilayah perairan baik wilayah pesisir dan laut maupun perairan di daratan. Sedangkan telah ditentukan bahwa pengelolaan sumber daya agraria ada dalam kewenangan Negara melalui Hak Menguasai dari Negara.
Konsentrasi pada aturan tentang hukum laut di Indonesia dapat mulai dilihat sejak adanya Deklarasi Juanda pada tahun 1957. Indonesia kemudian memperjuangkan hukum laut dari suatu negara dengan karakteristik kepulauan melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Hukum internasional tentang laut ini tidak hanya sebatas mengatur tentang yuridiksi suatu wilayah negara, tetapi juga melekat hak untuk eksplorasi, eksploitasi, serta pengelolaan sumber daya hayati dan non hayati. Namun beberapa undang-undang yang mengatur tentang sumber daya kelautan justru sebagian besar pengaturannya diundangkan di atas tahun 2000. Pembangunan hukum di bidang kelautan ini jugamengalami tantangan yang tidak ringan.
Pada tahun 2007 telah diundangkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wlayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sehubungan dengan penguasaan atas wilayah laut untuk pengusahaan, maka dalam Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) diciptakan suatu hak yang bernama Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yaitu hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Sedangkan menurut undang-undang tersebut di atas, yang dimaksud dengan perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Dapat diartikan wilayah pesisir meliputi wilayah pantai sampai dengan wilayah laut sejauh 12 mil. Sedangkan diketahui bahwa wilayah pesisir banyak ditempati nelayan-nelayan dan masyarakat yang mendiami pantai dan memiliki mata pencaharian di sekitar pesisir. Belum lagi pada wilayah masyarakat adat yang memiliki keterikatan dengan pesisir. Selain itu, konstruksi hukum mengenai HP-3 dalam UU-PWP3K memiliki konstruksi yang mirip dengan penguasaan hak atas tanah, dimana ditentukan subyek yang dapat menguasai alam Indonesia adalah WNI, Masyarakat Adat, Badan Hukum Indonesia. Penguasaan yang ditentukan undang-undang dengan jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang serta dapat dijaminkan dengan hak tanggungan.
Berdasarkan uriaian di atas, pada tahun 2010, masyarakat nelayan, petani dan lembaga-lembaga masyarakat pemerhati terkait, mengajukan uji materiil atas ketentuan dalam UU-PWP3K. Kemudian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 16 Juni 2011 diputuskan dengan membatalkan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 23 ayat 4 & 5, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 61 ayat 1, Pasal 71 dan Pasal 75 dalam UU No. 27 Tahun 2007. Menurut MK, untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swata, negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Terhadap UU-PWP3K, setidaknya telah diterbitkan 33 peraturan daerah dan 2 peraturan pemerintah yang harus dibatalkan atau direvisi karena berhubungan dengan HP-3. Dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi ini, maka rezim penguasaan dan pengusahaan antara daratan (tanah) dan lautan harus dipandang dari perspektif yang berbeda. Bagaimanapun juga wilayah pesisir adalah public domain yang tidak seharusnya diserahkan pengelolaan pada orang-perorangan, karena dikhawatirkan tidak akan ada lagi wilayah publik di pesisir. Oleh sebab itu, menjadi penting perhatian pemerintah memikirkan bagaimana pengelolaamn wilayah laut dan pesisir agar alamnya bisa dinikmati sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. (***)