VICARIOUS LIABILITY DAN KASUS REM BLONG
Oleh AHMAD SOFIAN (April, 2017)
Pada bulan April ini kita dikejutkan dengan dua dua kasus kecelakaan mobil “rem blong” yang terjadi di Puncak Bogor yang menimbulkan korban belasan orang tewas. Kasus pertama terjadi pada tanggal 22 April 2017 yaitu sebuah bus pariwisata di Jalan Raya Puncak Mega Mendung, sebanyak 13 kendaraan menjadi korban dan enam orang dinyatakan tewas. Kasus kedua terjadi pada tanggal 30 April 2017 di Jalur Puncak, Desa Ciloto Bogor. Ada 12 kendaraan yang menjadi korban 11 orang meninggal dunia dan belasan lainnya luka-luka. Ada beberapa pendapat bermunculan terkait kasus kecelakaan ini. Kepolisian berpendapat bahwa bus pariwisata yang menabrak disebabkan tidak berfungsinya rem atau terminologi yang biasanya digunakan masyarakat adalah “rem blong”.
Rem Blong
Rem blong terjadi ketika mobil kehilangan kendali atau kehilangan daya cengkramnya atau kemampuan menghentikan mobil. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “blong” diartikan sebagai tidak berfungsi karena tidak ada tahanan. Rem blong merupakan kejadian yang yang disebabkan tidak berfungsinya rem, tidak berfungsinya rem ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya perawatan yang kurang, oli yang tidak memadai atau beban kendaraan berlebihan. Kejadian rem blong sering terjadi terutama pada lintasan-lintasan berbahaya misalnya: turunan panjang, curam, membawa beban berat dan lain sebagainya. Menurut catatan majalah otomotif, rem blong ini menjadi salah satu penyumbang kecelakaan terbesar di Indonesia. Rem blong biasa terjadi pada mobil, truk atau bus, dan jarang sekali terjadi pada pada motor.
Untuk mengantisipasi permasalahan rem blong pada kendaraan angkuta, kementerian perbuhungan menerbitkan regulasi tentang ki atau keur (bahasa Belanda). Kir adalah pengujian spesifikasi teknis kendaraan bermotor yang layak jalan. Salah satu komponen uji Kir ini disebutkan bahwa kendaraan dengan berat di atas sekian ton wajib diberi alat bantu pengereman.
Uji kir berada di bawah otoritas Dinas Perhubungan. Kendaraan yang wajib melakukan uji Kir adalah angkutan umum. Kendaraan yang tak lolos uji Kir tidak boleh beroperasi, sehingga harus memperbaiki kendaraannya terlebih dulu. Kir diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (PP LLAJ). Kemudian, pelaksanaannya diatur pada Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 133 tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor.
Meski kelayakan kendaraan sudah diatur, namun kasus rem blong masih tetap terjadi, oleh sebab itu itu menjadi penting untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam kasus rem blong untuk menentukan aktor-aktor yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks pertanggungjawaban pidana doktrin vicarious liability atau tanggung jawab pidana pengganti menjadi penting untuk dibahas. Hal ini didasarkan pada alasan atribusi pertanggungjawaban pidana para aktor dalam berkontribusi pada kasus kecelakaan yang disebabkan rem blong.
Vicarious Liability
Vicarious liability merupakan satu doktrin untuk menyeimbangkan sekaligus untuk melengkapi asas tiada pidana tanpa kesalahann (geen straft zonder schuld). Doktrin vicarious liability banyak dikembangkan dalam kasus-kasus yang dilakukan oleh korporasi, namun doktrin ini juga dapat digunakan dalam konteks pertanggungjawaban pidana individu. Doktrin maka vicarious liability digunakan dalam kasus yang melibatkan pelaku lain dalam suatu delik (meski pelaku lain ini tidak mewujudkan delik tersebut). Dengan kata lain ada pelaku jamak yang terlibat dalam tindak pidana ini.
Vicarious liability menurut Romli Atmasasmita merupakan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another). Menurut Barda Nawawi Arief, vicarious liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment).
Menurutnya Barda, dalam pelaksanaan vicarious liability memiliki beberapa batasan, dimana seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain apabila; (1) tidak masuk lingkup pekerjaan atau kewenangannya; (2) yang dilakukan employee merupakan perbuatan bantuan/ pembantuan (aiding and abetting ); dan (3) yang dilakukan employee adalah percobaan tindak pidana (attempt to commit an offence)
Dalam sejarah, ada satu putusan pengadilan yang terkenal yang terjadi di Belanda yang dinilai sebagai peletak awal doktrin vicarious liability, yaitu “arrest susu”. Arresst ini terjadi di Amsterdam, dimana seorang pengusaha susu menjual susu dengan menyebutkan label “susu murni” pada kemasannya. Padahal, susu yang dijual tidak murni karena sudah dicampur dengan air, yang mana perbuatan mencampur air ini dilakukan oleh pegawai dari penjual susu. Kemudian, kasus susu ini dibawa ke pengadilan. Pada putusan tingkat pertama, hakim menghukum si majikan, namun majikan melakukan kasasi karena yang melakukan pencampuran air dengan susu adalah pegawainya sehingga si majikan merasa dirinya tidak mengetahui. Namun, pada putusan kasasi hakim tetap menghukum si majikan dengan pertimbangan bahwa kesalahan atas mencampur susu dengan air dapat dibebankan pada majikan. Meski sang majikan tidak memiliki kesalahan namun kesalahan tersebut tetap dapat dibebankan kepada majikan karena para pegawai bekerja untuk majikan dan memiliki hubungan kerja dengan majikan.
Doktrin vicarious liability mendapat banyak kritikan karena memperluas tanggung jawab pidana kepada orang yang tidak bersalah. Doktrin ini juga dinilai menyebabkan terjadi disparitas antara yang melakukan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Meski doktrin vicarious liability mendapat kritikan yang tajam, namun pendukung doktrin ini berpendapat bahwa kontributor suatu delik tidak bisa berlindung dibalik doktrin “tiada pidana tanpa kesalahan”. Alasannya, doktrin tiada pidana tanpa kesalahan acapkali menghilangkan atribusi pertanggungjawaban pidana terhadap kontributor suatu tindak pidana.
Dalam konteks kecelakaan bus yang disebabkan oleh rem blong, maka doktrin vicarious libaility dapat digunakan kepada pemilik bus pariwisata. Pemiliki bus memang tidak mengoperasionalkan bus secara langsung, namun pemilik bus memiliki beban kewajiban untuk mengeluarkan anggaran perbaikan bus miliknya secara berkala. Pemilik bus juga bertanggung jawab atas kelayakan bus miliknya untuk dioperasikan. Dalam kaitannya pengemudi bus, pemilik bus tentunya memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pengemudinya sehat secara jasmani, karena akan membahayakan penumpang bus dan orang lain jika pengemudi tidak dalam keadaan sehat mengemudikan bus. Berangkat dari penjelasan di atas, maka hakim dapat menggunakan doktrin vicarious liablity untuk mempertimbangkan kontribusi yang dilakukan oleh pemilik bus terhadap munculnya kasus kecelakaan yang disebabkan rem blong. (***)