KRIMINALISASI DAN DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN DALAM R-KUHP
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (April 2017)
Tahap pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) di Dewan Pewaklian Rakyat (DPR) telah memasuki pembahasan pada Buku II, bahkan beberapa bab pada Buku II tersebut telah diketok palu. Meskipun demikian, terdapat beberapa pasal yang meninggalkan persoalan. Terhadap hal ini DPR menjadikannya catatan untuk kemudian akan dibahas kembali sebelum R-KUHP tersebut disahkan. Dari bab-bab yang telah dibahas dan disahkan tersebut terdapat beberapa pasal yang masih menimbulkan perdebatan dan permasalahan. Salah satu di antaranya pasal-pasal dalam bab kesusilaan yang merupakan bentuk kriminalisasi dan diksriminasi terhadap peremupan.
Tabel: Ketentuan Pasal dalam RKUHP yang mengkriminalisasi dan diskriminasi terhadap Perempuan
Pasal | Rumusan Tindak Pidana |
484 Ayat (1) huruf e | Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun: laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan. |
488 | Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. |
490 Ayat (2) | Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki‑laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. |
496 | Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin serta berkelakuan baik, untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. |
498 Ayat (2) | Setiap orang yang di luar hal‑hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat cabul atau persetubuhan dengan orang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. |
Pasal 484 ayat 1 huruf e R-KUHP dikenal sebagai pasal perzinahan dan merupakan rumusan baru sebagai penambahan dalam KUHP akan tetapi pasal ini bertentangan dengan prinsip hukum pidana dan mengkriminalisasi perempuan. Dalam hukum pidana dikenal prinsip no victim no crimes, sehingga rumusan Pasal 484 ayat (1) huruf e jelas-jelas bertentangan dengan kepentingan umum atau masyarakat, bertentangan dengan prinsip hukum pidana dan menyerang hak atas perlindungan diri pribadi seseorang dari kriminalisasi yang mengada-ada. Rumusan Pasal 484 ayat (1) huruf e bertentangan dengan hak asasi manusia khususnya hak atas kesamaan di depan hukum, hak bebas dari diskriminasi, dan hak atas perlindungan diri pribadi, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28G ayat (1). Meskipun pasal tersebut bebas gender, yang dapat diterapkan untuk laki- laki dan perempuan akan tetapi berdasarkan Laporan dari Kelompok kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Hukum dan dalam Praktek tahun 2012 ketentuan zina dalam prakteknya sering diarahkan pada perempuan dan anak perempuan, melanggar hak atas martabat dan privasi, dan mengarah ke diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu dengan mengkriminalisasi perzinahan juga mengurangi efektivitas hukum terhadap perkosaan. Sangat sulitnya untuk membuktikan tuduhan pemerkosaan, dimana seorang perempuan diperkosa dan kejahatan tersebut sulit dibuktikan, dan kemudian perempuan tersebut dapat dituduh melakukan perzinahan. Ini menghalangi perempuan untuk melaporkan pemerkosaan.
Pasal 488 R-KUHP berpotensi mengkriminalisasi perempuan. Rumusan pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi orang yang sudah terikat perkawinan namun belum dianggap sah oleh negara karena berbagai hambatan dan persoalan pemenuhan hak pencatatan yang belum dipenuhi negara terutama perempuan. Dalam hal ini perempuan korban perkawinan tidak tercatat yang berada dalam relasi kuasa yang timpang dengan suaminya, sehingga tidak mempunyai daya untuk melawan suaminya yang tidak mau mencatatkan perkawinan, terutama perempuan korban yang memegang teguh doktrin agama mengenai kewajiban istri untuk menaati suami. Potensi lainnya adalah kriminalisasi bagi perempuan yang menjadi istri kedua dan seterusnya dalam perkawinan yang beristri lebih dari seorang. Dalam preaktek perkawinan beristri lebih dari seorang istri tidak memenuhi syarat, alasan dan prosedur berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam untuk melakukan poligami dan hal ini merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam pandangan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) poligami merupakan akar kekerasan terhadap perempuan, terutama mengingat dampaknya terhadap perempuan yang dipoligami rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran ekonomi, yang berimplikasi pada pengurangan hak ekonomi sosial dan budaya serta hak sipil dan politik. Oleh karenanya jika pasal tersebut disahkan maka akan mempatkan perempuan sebagai korban karena merupakan sasaran pada pengaturan rumusan delik tersebut.
Sementara itu, kriminalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan pada Pasal 490 ayat (2), 496 dan 498 ayat (2) R-KUHP adalah terkait frasa “dan belum kawin”. Seharusnya frasa tersebut dihapuskan karena tidak memberikan perlindungan kepada anak dan secara menunjukkan penerimaan terhadap praktik perkawinan usia anak. Anak seharusnya dihindarkan dari perkawinan dan sudah seharusnya Indonesia melakukan langkah konkret untuk penghapusan terjadinya perkawinan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 telah memberikan menjamin hak setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sehingga frasa “dan belum kawin” dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan jaminan UUD 1945 atas hak anak memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Lebih lanjut anak sebagai korban tindak pidana dalam Pasal 490 ayat (2), Pasal 496, dan Pasal 498 ayat (2) seharusnya tidak didiskriminasi dengan status kawin atau tidak kawin, sehingga pasal-pasal tersebut seharusnya cukup menegaskan anak sebagai yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, tanpa diikuti frasa “dan belum kawin”. Dengan demikian status perkawinan seorang anak seharusnya tidak dijadikan dasar untuk mendiskriminasi anak yang menjadi korban tindak pidana.
Pada akhirnya, DPR perlu untuk mengkaji ulang terhadap rumusan pasal-pasal dalam R-KUHP tersebut. R-KUHP hendaknya dapat berfungsi sebagai upaya menanggulangi dan mencegak kejahatan dan bukan untuk mengkrimininalisasi gender tertentu yang pada akhirnya tidak memberikan perlindungan yang diharapkan. (***)
Published at :