MENGUKUR NILAI TRANSAKSI MATERIAL DI PASAR MODAL
Oleh AGUS RIYANTO (April 2017)
Di Pasar Modal, perusahaan publik (Emiten) tidaklah mudah melakukan transaksi. Trasaksi itu adalah transsksi yang mengandung nilai material. Nilai material adalah nilai transaksi yang “penting” atau dapat berpengaruh besar terhadap kinerja finansial suatu perusahaan. Nilai material transaksi yang dilakukan oleh Emiten diatur dalam Peraturan No. IX.E.2 Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. Kep-614/BL/2011 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama (“Peraturan No. IX.E.2”). Transaksi material menurut angka 1 huruf (2) Peraturan No. IX.E.2, adalah setiap a) penyertaan dalam badan usaha, proyek, dan/atau kegiatan usaha tertentu b) pembelian, penjualan, pengalihan, tukar menukar aset atau segmen usaha; c). Sewa-menyewa asset; d) pinjam meminjam dan; e) menjaminkan aset dan/atau; f) memberikan jaminan perusahaan dengan nilai 20 % (dua puluh perseratus) atau lebih dari ekuitas Perusahaan, yang dilakukan dalam satu kali atau dalam suatu rangkaian transaksi untuk suatu tujuan atau kegiatan tertentu.
Dari ketentuan ini, maka transaksi dapat dikategorisasikan material apabila nilai transaksinya 20 %” (dua puluh perseratus) atau lebih dari ekuitas Perusahaan. Ekuitas atau modal adalah hak pemilik aktiva perusahaan dan yang merupakan kekayaan bersih (jumlah aktiva dikurangi kewajiban). Ekuitas terdiri dari setoran pemilik (pemegang saham) dan sisa laba ditahan (retained earning) perusahaan sebelum ditambahkan dengan kewajiban-kewajiban perusahaan.
Untuk dapat memperoleh gambaran tentang ketentuan transaksi material berikut ini adalah ilustrasinya: PT Graha Dasana,Tbk memiliki ekuitas sebesar Rp 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) dalam struktur permodalannya. Dalam rangka pengembangan usahanya, PT Graha Dasana Tbk bermaksud membeli sejumlah peralatan komputer sebagai bagian dari strategi pengembangan informasinya. Untuk itu, PT Graha Dasana, Tbk membeli sejumlah peralatan komputer dari PT Gema Nusantara dengan nilai total pembeliannya sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta). Aksi korporasi PT Graha Dasana, Tbk tersebut tidaklah dapat dikategorisasikan sebagai transaksi material, karena transaksi tersebut tidak melebihi 20% dari ekuitasnya yaitu sebesar Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Dengan tidak termasuknya sebagai transaksi material, maka PT Graha Dasana, Tbk tidaklah ada kewajiban melaksanakan ketentuan mengenai transaksi material sebagaimana diatur dalam Peraturan No. IX.E.2. Namun demikian, berbeda halnya apabila nilai transaksi pembelian komputer PT Graha Dasana, Tbk tersebut adalah senilai Rp 10.000. 000.000,- (sepuluh miliar rupiah), maka PT Graha Dasana, Tbk diwajibkan mengikuti ketentuan Peraturan No. IX.E sebagai jalan keluar untuk dapat dilaksanakan lebih lanjut transaksi tersebut. Dengan Peraturan No. IX.E, maka Emiten dapat menjadikannya sebagai pedoman di dalam menentukan apakah transaksi itu material atau tidak. Hal ini menjadi penting untuk diatur, karena jika tidak maka Emiten akan mengahadapi kesulitan di dalam menjalankan menentukan aksi korporasinya, pasca berubah menjadi perusahaan publik, dan terbuka terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan No. IX.E.2.
Untuk dapat menghindari terjadinya pelanggaran, maka Emiten harus dapat mengukur nilai material. Batasan nilai material lebih telah diatur di dalam Peraturan No. IX.E angka 2 dengan dua ukuran. Pertama, batasan nilai aksi korporasi yang dianggap material, yaitu yang bernilai 20% (dua puluh perseratus) sampai dengan nilai 50% (lima puluh perseratus) dari ekuitas perusahaan. Dengan ketentuan ini, maka nilali total transaksi yang dilakukan Emiten diantara nilai rentang atau di antara nilai tersebut di atas, tidak termasuk sebagai nilai transaksi yang nilainya material, sehingga Peraturan No. IX.E menjadi tidak berlaku dan tidaklah diwajibkan memperoleh persetujuan RUPS, tetapi Emiten hanya mengumumkan rencana transksi dalam keterbukaan informasinya Emiten. Kedua, perusahaan yang melakukan transaksi material dengan nilai transaksi material yang melebihi dari 50% (lima puluh perseratus) dari ekuitas Perusahaan, maka Emiten diwajibkan untuk memperoleh persetujuan RUPS dan harus melakukan keterbukaan Informasi kepada Publik terhadap aksi korporasi yang memiliki nilai material tersebut. Dengan berdasarkan kepada kedua batasan nilai material tersebut, maka menjadi lebih jelas ukuran yang dapat digunakan Emiten menilai nilai materialnya. Nilai dari transaksi material itu kemudian dibandingkannya dengan ekuitasnya atau modal yang dimiliki Emiten sebagai dasar perhitungannya. Melalui dasar demikian ini, Emiten dapat mengukur dan dengan sederhana dapat menghitung nilai transaksinya material atau tidak. Terjadinya pelanggaran terhadap Peraturan No. IX.E.2 itu, pada umumnya, disebabkan oleh kekurangan pemahaman Emiten terhadap ketentuan tersebut dengan lebih dalam.
Di balik alasan dikeluarkannya Peraturan No. IX.E.2 terkandung makna menjaga nilai asset dan harta kekayaannya Emiten untuk tidak mudah berpindah kepemilikannya. Untuk itu, maka harus diatur untuk dapat menjaga kepentingan dan kepemilikan pemegang saham publik juga pada akhirnya dari kemungkinan dilanggarnya Peraturan No. IX.E.2. Namun demikian, Peraturan No. IX.E.2 tidaklah dimaksudkan menghambat Emiten untuk melakukan aksi korporasi, tetapi Emiten harus mengerti dan memahami bahwa tujuan utama dari Peraturan No. IX.E.2 adalah menjaga titik keseimbangan Emiten antara kehendak dengan kewajiban mematuhi Peraturan No. IX.E.2 sebagai rambu-rambunya. Untuk itulah, dalam rangka mencegah terjadinya Emiten melanggar ketentuan itu, maka ketaatan terhadap Peraturan No. IX.E.2 dengan menggunakan batasan nilai-nilai transaksi material sebagai ukuran yang harus dimengeri dan dipahami oleh Emiten sedari awal menjadi pembuka untuk tidak melanggar ketentuan sebagaimana telah diaturnya di dalam Peraturan No. IX.E.2. (***)
Published at :