KETIKA R-KUHP DIRANCANG DALAM SATU RASA
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (April 2017)
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) saat ini telah sampai tahap pembahasan di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Buku I R-KUHP telah diketok palu oleh DPR walaupun dengan beberapa catatan, dan saat ini DPR sedang melakukan pembahasan atas pasal-pasal pada Buku III R-KUHP. Direncanakan tahun ini pembahasan semua pasal dapat selesai dan DPR dapat mengetok palu untuk mengesahkan R-KUHP menjadi undang-undang.
Terhadap pasal-pasal dalam R-KUHP tersebut, terdapat beberapa permasalahan salah satunya mengenai perumusan tindak pidana yang dipandang tidak memperhatikan kebhinekaan Indonesia. Beberapa rumusan pasal tersebut terdapat dalam Bab mengenai Tindak Pidana Kesusilaan khususnya pada pasal-pasal yang terkait perzinahan dan hidup bersama.
Rumusan Pasal 484 dan 488 R-KUHP
Pasal | Isi Pasal |
484 ayat (1) huruf e | Dipidana karena zinah, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan |
488 | Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. |
Pasal 484 ayat (1) huruf e R-KUHP merupakan pasal mengenai zinah di mana baik laki-laki dan perempuan yang melakukan perzinahan tersebut tidak terikat pernikahan. Berbeda dengan pasal 284 Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah overspel yang berarti pelanggaran terhadap kestiaan perkawinan. Dengan tujuan melindungi lembaga perkawinan maka tindak pidana dirumuskan bahwa salah satunya harus telah terikat pernikahan. Akan tetapi sebagian menerjemahkan istilah overspel tersebut menjadi zinah yang diartikan semua hubungan seksual di luar perkawinan. Kemudian hal ini diadopsi oleh perancang R-KUHP dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e.
Kemudian dalam kaitannya dengan kebhinnekaan di Indonesia, rumusan pasal tersebut dipertanyakan karena tidakadanya definisi zinah yang seragam. Zinah merupakan perbuatan yang dianggap berdosa kepada Tuhan sehingga masuk dalam koridor agama dan apabila hendak dimasukkan dalam koridor hukum, kriteria zinah tersebut harus ditentukan berdasarkan kesepakatan publik. Sampai saat ini tidak ada kesepakatan mengenai kriteria zinah tersebut, bahkan dalam perkembangannya kriteria tersebut hanya didasarkan pada norma agama Islam saja sebagai agama mayoritas. Selain itu, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, tidak ditemukan adanya persepsi yang sama tentang benar atau salah terhadap perzinahan.
Persoalan lainnya adalah frase “perkawinan yang sah”, di mana apa yang menjadi definisi “perkawinan yang sah” tersebut yang berpotensi mengkriminalisasi kebhinnekaan di Indonesia. Dalam R-KUHP tidak dijelaskan definisi ini maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Memang dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaan itu, akan tetapi faktanya banyak perkawinan yang dianggap tidak sah oleh negara dan tidak bisa dicatatkan karena agama leluhur atau kepercayaan atau keyakinan yang dianutnya tersebut tidak diakui oleh negara.
Demikian halnya dengan Pasal 488 R-KUHP yang mengantur mengenai kumpul kebo atau samen leven. Frase “perkawinan yang sah” juga mengkriminalisasi kebhinnekaan. Selain itu dengan wilayah Indonesia yang luas, tidak semua memiliki akses seperti di kota besar. Adanya rumusan pasal ini juga akan mengkriminalisasi suku-suku di pedalaman yang berpandangan bahwa perkawinan yang telah dilakukan berdasarkan adat dan kepercayaan tidak perlu dicatatkan maupun suku-suku di pedalaman tidak memiliki akses ke pemerintahan termasuk untuk mendapatkan dokumen perkawinan yang sah sehingga tidak memiliki surat pernikahan.
Bahwa permasalahan seks bebas dan kumpul kebo memang telah menjadi menjadi permasalahan serius akan tetapi yang menjadi pertanyaan apakah memang sarana penal melalui kriminalisasi dalam hukum pidana menjadi satu-satunya cara untuk menanggulanginya? Permasalahan sosial seperti seks bebas dan kumpul kebo tidak bisa diselesaikan dengan mengkriminalisasi perbuatan yang dipandang menyimpang dalam masyarakat tersebut yang justru akan mencederai kebhinnekaan di Indonesia. Instrumen hukum memang diperlukan untuk menanggulangi hal ini, namun bukan dalam koridor hukum pidana. (***)