JANJI PENETAPAN HARGA DI LAPANGAN GOLF
Oleh SHIDARTA (April 2017)
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 04/KPPU-I/2016 yang menghukum dua pelaku usaha terkemuka di industri otomotif: (1) PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing sebagai Terlapor I; dan (2) PT Astra Honda Motor sebagai Terlapor II; menarik perhatian publik. Keduanya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang menyatakan: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.” Produk yang dipersoalkan dalam kasus ini adalah sepeda motor jenis skuter matik 110–125 CC yang dijual di Indonesia. KPPU hanya mengenakan satu pasal tunggal, yaitu Pasal 5 ayat (1) tentang penetapan harga (price fixing), tidak memakai pasal lain seperti Pasal 11 (kartel). Padahal kata “kartel” sendiri sebenanya digunakan berkali-kali dalam redaksi putusan KPPU Nomor 04/KPPU-1/2006 ini.
Perkara ini berawal dari penelitian dan ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan. Perihal yang justru menarik perhatian adalah alat bukti yang dipakai oleh KPPU untuk menjerat kedua pelaku usaha tersebut, dengan menunjukkan telah diadakannya (1) pertemuan di lapangan golf, (2) surat menyurat elektronik (email) Tanggal 28 April 2014 dan 10 Januari 2015.
Atas penilain tersebut, Majelis KPPU berpendapat bahwa berdasarkan fakta persidangan email 10 Januari 2015 adalah email yang dikirimkan Saksi Sdr. Yutaka Terada yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Marketing Terlapor I dengan menggunakan alamat email teradayu@yamaha-motor.co.id dan dikirimkan kepada Dyonisius Beti selaku Vice President Direktur Terlapor I dan Majelis Komisi menilai adanya fakta bahwa email tersebut merupakan komunikasi resmi yang dilakukan antar-pejabat tinggi Terlapor I (top level management Terlapor I). Oleh karena itu mengingat kapasitas pengirim dan penerima email serta media yang digunakan yaitu email resmi perusahaan, maka Majelis Komisi tidak serta merta mengabaikan fakta tersebut sebagai alat bukti.
Tulisan ini ingin menyoroti secara khusus apakah alat bukti seperti ini cukup lazim diterapkan dalam penyelidikan komisi-komisi serupa di banyak negara. Saya teringat pada salah satu ceramah yang disampaikan oleh Prof. Wolfgang Kartte beberapa tahun lalu tentang modus pertemuan para pelaku usaha saat akan bernegosiasi membahas penetapan harga dan kartel. Para penyelidik mencermati hotel-hotel transit di dekat bandara merupakan lokasi yang paling disukai oleh para pelaku usaha. Tentu terlebih dulu, para staf mereka sudah mengatur pertemuan yang didesain seolah-olah serba kebetulan tersebut. Bisa jadi tidak diperlukan ruang rapat khusus yang mewah dan juga tidak diperlukan waktu pertemuan berjam-jam lamanya. Untuk menghapus jejak, tidak bakal ada catatan-catatan yang dibuat dan terbaca serba kasatmata mengenai kesepakatan di antara mereka. Prof. Wolfgang Kartte menyatakan, kerap catatan yang behasil didapat dipenuhi kode-kode sandi yang perlu keahlian khusus untuk memaknainya.
Oleh sebab itu, pertemuan dua petinggi Yamaha dan Honda di lapangan golf untuk membahas perjanjian terlarang dalam persaingan usaha, sangat wajar untuk dicurigai sebagai modus yang kerap terjadi di kalangan pelaku usaha. Hal ini tidak harus dianggap “aneh” apabila dipakai sebagai salah satu bukti oleh Majelis Komisi tentang telah terjdinya perjanjian anti-persaingan usaha yang sehat. Dalam hal ini menjadi tugas KPPU pula untuk membuktikan bahwa pertemuan itu bukanlah pertemuan biasa yang terjadi secara insidentil dan tidak diisi dengan kesepakatan terlarang. KPPU pasti telah menemukan kesesuaian atas rangkaian kejadian pertemuan di lapangan golf itu tadi dengan email-email di antara petinggi pelaku usaha tersebut, serta keputusan yang diambil terkait harga produk mereka.
Pertemuan di lapangan golf itu sendiri telah diakui oleh saksi Yutaka Terada adalah untuk menyepakai bahwa PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing akan mengikuti harga jual motor dari PT Astra Honda Motor. Dalam berita acara pemeriksaan, Yutaka Terada menyatakan:
Bahwa saya pernah mendengar langsung dari Yoichiro Kojima bahwasanya pada bulan Januari 2014. Mr. Kojima bersama Mr. Inuma Presiden Honda Indonesia dan ada dua presiden direktur dari perusahaan lain bermain golf. Pada saat bermain golf tersebut Mr. Kojima meminta kepada Mr. Inuma untuk menaikkan harga Honda agar Yamaha juga mengikuti kenaikan harga tersebut. Hal tersebut saya dengar langsung di ruang Mr. Kojima. Setelah bermain golf Pak Kojima bercerita kepada saya mengenai hal tersebut.
Atas perbuatan tersebut, KPPU telah menjatuhkan sanksi maksimal kepada Terlapor I. Amar putusan KPPU: (1) menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; (2) menghukum Terlapor I denda sebesar Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah); dan (3) menghukum Terlapor II denda sebesar Rp22.500.000.000 (dua puluh dua miliar lima ratus juta rupiah). Sanksi tindakan administratif yang tergolong maksimal untuk Terlapor I dan Terlapor II memperlihatkan pelanggaran yang dilakukan kedua pelaku usaha sangat serius merusak iklim persaingan usaha di Indonesia.
Apabila kasus ini bemuara nanti di Mahkamah Agung, maka seharusnya “pertemuan di lapangan golf” ini tidak dijadikan titik sorotan majelis hakim kasasi untuk mempertanyakan keabsahan putusan KPPU. Esensi permasalahannya tentu bukan pada tempat di mana para pelaku usaha itu bertemu, melainkan pada motif pertemuan itu sendiri. (***)
Published at :