ANTARA WASHINGTON, BEIJING, DAN JAKARTA
Oleh SHIDARTA (April 2017)
Ketika orang-orang memperdebatkan model pembangunan ekonomi negara-negara berkembang, biasanya ada dua konsensus yang sering disebut-sebut, yaitu “Washington Consensus” dan “Beijing Consensus”. Jarang terdengar ada yang menimpalinya dengan “Jakarta Consensus”. Namun, apakah ada yang menarik ditawarkan oleh Jakarta terkait persoalan ini? Sebelum kita menuju ke Jakarta, ada baiknya kita jelaskan lebih dulu apa yang terjadi pada dua konsensus yang terjadi kemudian di Washington dan Beijing.
Washington Consensus adalah istilah yang diintroduksi oleh John Williamson sejak tahun 1989, ketika ia menggambarkan kebijakan reformasi ekonomi yang ditujukan untuk kawasan Amerika Latin. Kebijakan ini dipengaruhi oleh Pemerintah Amerika Serikat bersama-sama dengan sejumlah lembaga keuangan internasional yang berpusat di Washington, khususnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Konsensus ini pada intinya ingin menggeser kebijakan awal yang mengandalkan negara sebagai motor ekonomi, beralih kepada kebijkaan berorientasi pasar (market-oriented policies). Konsensus ini mengubah cara pandang pembangunan ekonomi yang memakai kaca mata internal (nasional domestik). Dipercaya oleh Williamson, bahwa jika formula Washington Consensus ini dijalankan, maka krisis yang menimpa negara-negara Amerika Latin pada tahun 1980-an itu akan dapat diakhiri. Sepuluh aksioma Washington Consensus yang disampaikan oleh Williamson meliputi:
- penerapan kebijakan fiskal yang berimbang dengan pengetatan pengeluaran;
- pengalihan subsidi ke sasaran terbatas (golongan miskin, jaminan kesehatan, pendidikan dasar, pembangunan infrstruktur);
- reformasi perpajakan dengan memperluas basis perpajakan dan tarif pajak yang moderat.
- suku bunga yang moderat yang ditentukan berdasarkan hukum pasar;
- nilai tukar mata uang yang kompetitif;
- liberalisasi perdagangan (antara lain dengan membuka kran impor dan menghilangkan hambatan tarif dan nontarif);
- perluasan investasi asing, antara lain dengan cara membolehkan asing membeli perusahaan dan melakukan merger/akuisisi;
- privatisasi badan-badan usaha milik negara;
- deregulasi dengan menghilangkan aturan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, dengan mengedepankan perlindungan konsumen dan pelestarian lingkungan, serta penerapan prinsip kehati-hatian oleh lembaga-lembaga keuangan;
- kepastian hukum bagi perlindungan hak kekayaan intelektual
Resep Washington Consensus inilah yang ditawarkan untuk menyembuhkan Indonesia pada saat krisis 1997-1998 menimpa negeri ini. Hasilnya sudah diketahui, bahwa lembaga keuangan global yang menawarkan “bantuan” hutang kepada Indonesia membuat negeri ini terpuruk dalam jebakan liberalisasi dan privatisasi. Banyak badan usaha milik negara yang dijual dan subsidi yang biasa dinikmati masyarakat makin dikurangi dengan dalih demi efisiensi dan penyehatan badan-badan usaha milik negara itu sendiri.
Kegagalan Indonesia mengadopsi resep Washington Consensus mengikuti apa yang terjadi pada negara-negara Amerika Lain. Namun, ada juga yang memberi pengecualian untuk dua negara di Asia Timur, yakni Korea Selatan dan Taiwan. Hanya saja, jika dicermati baik-baik, kedua negara ini tidak sepenuhnya menelan mentah-mentah obat dari resep Washington Consensus. Pemerintah kedua negara (kalaupun Taiwan bisa dipandang sebuah negara yang berdiri sendiri) justru mengambil peran penting dengan menerapkan kebijakan industri berupa penyehatan para pelaku usaha agar bisa kompetitif bermain di pasaran global. Kedua negara ini tampaknya bisa lepas dari jebakan Washington Consensus karena justru mempersiapkan diri dengan pembangunan infrastruktur, seperti pelabuhan, pergudangan, telekomunikasi, jalan-jalan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan sistem hukum yang menopang laju pergerakan ekonomi ini. Hal inilah ‘nyambung’ dengan apa yang dikemukakan oleh Bert F. Hoselitz dalam tulisannya “Economic Growth and Development Noneconomic Factors in Economic Development” (1957).
Sebagai padanan dari Washington Consensus, dikenal ada Beijing Consensus. Model pembangunan ekonomi ala Tiongkok ini sebenarnya mulai dijalankan tahun 1976 pasca wafatnya Mao. Adalah Deng Xiaoping yang melakukan eksperimen menerapkan model yang lebih membumi (down-to-earth strategy for modernization). Baru pada tahun 2004, seorang bernama Joshua Cooper Ramo memperkenalkan istilah “Beijing Consensus” ini, dengan tujuan untuk memberi model alternatif di luar Washington Consensus.
Beijing Consensus, atau terkadag disebut “China Model” ini memiliki beberapa ciri, yaitu:
- pengendalian kekuasaan politik secara ketat guna menjamin stabilitas negara (reformasi dilakukan secara bertahap);
- penerapan kapitalisme negara (state capitalism) dengan tidak membiarkan pasar bergerak sebebas-bebasnya, tetapi tetap melakukan kontrol di tangan negara;
- pembatasan jumlah penduduk;
- pemberian fasilitas khusus untuk karya inovatif melalui eksperimen terus-menerus (dimulai dari skala kecil dan terus berkembang menjadi makin besar); dan
- penggenjotan ekspor ke sebanyak mungkin negara.
Seorang ilmuwan dari Universitas Tsinghua dan Fudan bernama Zhang Weiwei dalam tulisannya berjudul “The Allure of the Chinese Model” (International Herald Tribune, 2 November 2006) menyatakan predikat Beijing Consensus ini sebenarnya tidak tepat. Ia menyatakan:
It is inaccurate to describe the Chinese model as the “Beijing consensus” versus the “Washington consensus.” What makes the Chinese experience unique is that Beijing has safeguarded its own policy space as to when, where and how to adopt foreign ideas.
Zhang menyebut strategi ini sebagai pembelajaran selektif (selective learning). Hal ini, menurutnya, sudah menjadi bagian dari tradisi panjang di Tiongkok bahwa budaya dari luar bisa dijadikan referensi, tetapi harus diseleksi secara hati-hati (selective cultural borrowing). Tiongkok tidak mengharamkan ideologi neoliberal, tetapi tidak semua dari ideologi itu diambil, kecuali dengan menyesuaikannya terlebih dulu dengan kultur lokal. Dalam tulisannya, Zhang teringat ketika Deng Xiaoping menerima kunjungan Presiden Ghana, Jerry Rawlings (1985). Saat itu Deng memberi nasihat kepada Rawlings,
Please don’t copy our model. If there is any experience on our part, it is to formulate policies in light of one’s own national conditions.
Zhang memberi perbedaan menarik antara model Amerika (Washington Consensus) dan model Tiongkok (Beijing Consensus) dengan kata-kata:
The American model is largely ideology driven, with a focus on mass democratization. With little regard to local conditions, it treats sub-Saharan Africa or other less developed countries as mature societies in which Western institutions will automatically take root. It imposed liberalization before safety nets were set up; privatization before regulatory frameworks were put in place, and democratization before a culture of political tolerance and rule of law was established. The end result has often been discouraging or even devastating. … Perhaps attitude makes all the difference. China is viewed by others as modest, America as arrogant; China leads by example, America by lectures and sanctions, if not missiles.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Adakah model yang sebenarnya bisa ditawarkan? Pertanyaan ini dapat membawa kita pada tawaran Presiden Soekarno melalui pidato politiknya pada tahun 1963. Ia menyebut tiga hal yang harus dijalankan negeri ini, yaitu: (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara sosial budaya. Tiga hal ini diberinya nama “Trisakti”.
Konsep ini diinisasi oleh Soekarno berangkat dari kondisi Indonesia pada saat itu yang baru lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang. Mental bangsa yang oleh banyak kalangan dicap sebagai “mental kuli”, dipercaya masih melekat pada sebagian besar penduduk. Bangsa ini miskin prestasi dan rendah diri ketika berhadapan dengan dunia luar. Mental inilah yang ingin diperbaiki oleh Soekarno, sehingga ia menyebut tujuan dari revolusi yang ingin dijalankannya adalah “nation and character building”.
Cara berpikir Soekarno yang berangkat dari pembangunan mental ini bukan tanpa dasar. Sosiolog bernam Max Weber, misalnya, pernah berbicara tentang etika Protestan sebagai faktor yang menyebabkan munculnya kesuksesan kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat pada zamannya. Ahli psikologi sosial David McClelland menggarisbawahi tesis Weber dengan menyebutnya sebagai “the need for achievement” (n-Ach). Intinya, pada masyarakat yang memiliki nilai n-Ach yang tinggi, pasti negaranya akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula.
Sangat menarik bahwa McClelland pernah melakukan penelitian sejarah terhadap dokumen-dokumen kesusasteraan dari zaman Yunani Kuno, seperti puisi, drama, pidato penguburan, surat yang ditulis para nahkoda kapal, dan kisah epik. Karya-karya tersebut ternyata menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan tidak cepat menyerah. Jadi, kesimpulannya adalah: pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi selalu didahului oleh nilai n-Ach yang tinggi dalam karya sastra yang ada ketika itu (Lihat: Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, 1995).
Ajaran Trisakti ini sayangnya tidak bisa dieksperimenkan sendiri oleh Soekarno, sehingga menjadi musykil jika diberi label “Jakarta Consensus”. Kisah sukses dari Jakarta juga belum bisa diberikan. Jika rekannya Fidel Castro di Kuba dapat dianggap telah menjalankan gagasan ini, maka “Trisakti” ala Kuba jelas bukan pula suatu kisah sukses.
Kedaulatan politik dalam kaca mata Soekarno pertama-tama adalah kemerdekaan dari kolonialisme imperlalisme. Namun, Soekarno menolak demokrasi dijalankan dengan seluas-luasnya. Dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” (Bab XXXI) menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia harus ada di bawah kepemimpinan. Ia berkata:
Revolusi memerlukan kepemimpinan. Tanpa kepemimpinan akan terjadi panik dan ketakutan. Oleh karena kami masihd alam taraf revolusi ekonomi, aku tidak mengizinkan kritik-kritik yang merusak tentang kepemimpinanku, begitupun aku tidak mengizinkan kemerdekaan pers. Indonesia masih terlalu muda untuk membiarkan pendapat-pendapat yang akan membikin bingung masyzrakat, sedangkan yang adapun sudah cukup membingungkannya.
Jadi, model yang disampaikan oleh Soekarno harus dibaca dalam konteks Indonesia pada periode dua dasawarsa kemerdekaannya. Masa-masa ketika politik dan ekonomi masih dalam kondisi morat-marit. Pada tahap ini konsep pembangunan politik, ekonomi, dan sosial-budaya masih belum terumuskan dengan baik. Fokus pembangunan belum bertumpu pada sistem, melainkan masih pada figur, yaitu Soekarno itu sendiri. Harus diakui bahwa tarik-menarik kekuatan asing untuk memperebutkan pengaruhnya di negara-negara yang baru lepas dari penjajahan, turut menguras energi bangsa Indonesia. Dengan minimnya hasil eksperimen atas gagasan ini, agak sulit menyandingkan Washington Consensus dan Beijing Consensus, dengan apa yang dikenal sebelumnya dengan model “Trisakti” ala Soekarno.
Sebagai suatu model, Trisakti memang sebuah gagasan yang menarik karena di sana sini ia memiliki kemiripan dengan Beijing Consensus, yang notabene baru muncul sepuluh tahun kemudian. Demokrasi Terpimpin ala Soekarno memiliki karakteristik yang hampir sama dengan refromasi bertahap ala Beijing Consensus. Walaupun Soekarno senang memakai istilah “revolusi” namun yang dimaksudkannya sebenarnya adalah sebuah perubahan yang terkendali, penuh kestabilan.
Gerakan ekonomi yang berbasis pada kemandirian sektor-sektor domestik, juga relatif sama dengan sajian model Tiongkok. Kepercayaan pada diri sendiri sebagai bangsa besar dan dihormati, merupakan bangunan mental yang juga ingin dibangun oleh Soekarno, dan lagi-lagi menyerupai model Tiongkok. Dalam pidato HUT Proklamasi tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno menyitir filosofi Konfusius bahwa tidak ada satu bangsa pun yang dapat berdiri tegak tanpa kepercayaan pada diri sendiri. “Kenyataannya memang begitu,” katanya.
Sayangnya ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan di penghujung era 1960-an, semua yang berbau Soekarno ingin ditanggalkan. Undang-undang di bidang penanaman modal asing dibuat untuk menampung investasi yang sebagian besar datang dari Barat. Politik banting setir ke kanan ini menuai pujian dari banyak pihak, sehingga ia dinobatkan sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”. Sejarah kemudian membuktikan bahwa hasil jerih payah Soeharto menyisakan persoalan baru karena Indonesia, dalam derajat tertentu termasuk dalam kelompok negara yang terjebak dalam kegagalan Washington Consensus.
Persoalannya adalah: setelah Indonesia menggapai usia tujuh dasawarsa, kita tidak mungkin harus menempuh perjalanan itu lagi persis mengikuti gagasan awal Soekarno. Gagasan ini perlu direkonstruksi menjadi Trisakti era milinea. Era generasi baru yang tidak lagi hidup dari trauma kolonialisme-imperialisme pasca-Perang Dunia II. (***)
Published at :