REPARASI, RESTITUSI DAN KOMPENSASI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA
Oleh Ahmad Sofian (Maret 2017)
Pendekatan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang perlu dipertimbangkan adalah pendekatan reparasi, restitusi, kompensasi. Pendekatan tersebut di atas menitikberatkan perhatian pada korban sebagai bagian penting untuk dalam penjatuhan sanksi pidana. Fokus perhatian dari pendekatan korban memposisikan korban sebagai bagian penting dari tujuan suatu pemidanaan. Reparasi dapat diartikan sebagai the act of making amends for a wrong atau perbuatan untuk mengantikan kerugian akibat dari suatu yang tidak benar (lihat: Bryan A. Garner, 2000). Reparasi dikatakan sebagai suatu jalan yang harus dilalui oleh pelaku (upaya perbaikan) sebagai konsekuensi atas tindak pidana yang dilakukannya. Sementara restitusi dapat diartikan sebagai return of restoration of some specific thing to its rightful owener or status atau mengembalikan atau memperbaiki beberapa hal khusus yang berkaitan dengan kepemilikan atas status. Reparasi dapat diterapkan dalam berbagai bentuk fomulasi. Dalam konteks pemidanaan, perampasan kemerdekaan atau permberian denda bisa dibenarkan sepanjang hal tersebut menjadi bagian dari upaya perbaikan dan diperhitungkan keberdayagunaannya serta kebutuhan yang ingin dicapaikannya. Kunci sukses dalam hal pemidanaan terletak pada subyek perbaikan yang secara sadar menikmati proses perbaikan tersebut (Eva Achjani Zulfa, 2011).
Untuk memberikan manfaat bagi korban kejahatan, maka ganti rugi merupakan suatu kebaikan yang diterima dengan memperhitungkan kerusakan yang diderita. Jika persoalannya terkait dengan suatu kejahatan maka ganti rugi menjadi sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang di derita korban. Ada dua aspek dalam ganti rugi, yaitu masa lalu dan masa depan. Ganti rugi untuk peristiwa yang terjadi di masa lalu disebut ganti kerugian (indemnity); ganti rugi untuk masa depan tercapai dengan menghentikan kejahatan tersebut. Jika kejahatan itu berhenti dengan sendirinya, maka alam yang menjalankan fungsi pengadilan. Pada kondisi ini maka pengadilan tidak perlu lagi berbuat apa-apa. Contoh kasusnya: jika sejumlah uang telah dicuri, maka ganti rugi untuk masa depan sudah lunas sejak uang itu dikembalikan kepada si pemilik, sebab kerugian sementara yang dialaminya selama pelanggaran itu terjadi tetap berlanjut. Namun, jika persoalannya berhubungan dengan sesuatu yang sudah rusak atau musnah, ganti rugi untuk masa depan hanya terjadi dengan memberikan barang yang mirip atau bernilai sepadan kepada pihak yang dirugikan. Ganti rugi untuk masa lalu diperoleh dengan memberikan ganti rugi untuk kekurangan sementara yang di derita (lihat: Jeremy Bentham, 2010). Bentham mengungkapkan bahwa pandangan tentang ganti rugi yang diperlukan untuk menghentikan kejahatan, dan memulihkan kondisi korban yang dialaminya ketika terjadi pelanggaran hukum. Bagi Bentham, hukuman bukan saja tidak cukup untuk menghentikan kejahatan. Hukuman juga dianggapnya tidak efektif jika tidak disertai ganti rugi. Baginya, korban kerjahatan masih tercekam banyak kekhawatiran, sehingga untuk menghapus kekhawatiran yang dialami maka pemberian ganti rugi mampu mengurangi atau menghapuskan kehawatiran tersebut.
Ganti rugi tidak selamanya harus dalam bentuk uang, tetapi bisa dalam bentuk lain yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, menurut Bentham setidak-tidaknya ada enam jenis ganti rugi :
- Ganti rugi dalam bentuk uang. Alasannya karena uang menjanjikan sebagian besar kesenangan, uang pun menjadi kompensasi yang ampuh untuk beragam kejahatan. Namun pelaku pelanggaran tidak selalu mampu membayarnya; pihak yang mendertia pelanggaran juga tidak selalu pantas menerimanya. Menawarkan kompensasi berupa uang atas penghinaan yang diderita kepada seseorang yang sudah tercoreng kehormatannya, sama saja menorehkan hinaan baru.
- Ganti rugi dengan sendirinya. Ganti rugi ini berlangsung dengan jalan mengembalikan barang yang sudah diambil atau memberikan barang yang sepadan nilainya dengan barang yang diambil atau rusak
- Ganti rugi yang berhubungan dengan pemberian kesaksian. Jika kejahatan berasal dari kebohongan, pernyataan yang memalsukan fakta, ganti ruginya diselesaikan dengan memberikan kesaksian resmi tentang kebenarannya
- Ganti rugi yang berhubungan dengan kehormatan. Suatu tindakan yang tujuannya untuk menjaga atau menegakkan kembali sebagian kehormatan yang terenggut dari seorang akibat pelanggaran atau terancam terenggut dirinya.
- Ganti rugi karena keinginan untuk menuntut balas. Segala sesuatu yang menyiratkan penderitaan nyata terhadap diri pelaku pelanggaran menyiratkan kesenangan pada pihak yang dirugikan untuk menuntut balas.
- Ganti rugi pengganti, atau ganti rugi dengan mengorbankan pihak ketiga. Ganti rugi ini terjadi jika orang yang bukan pelaku pelanggaran dibebani tanggung jawab dengan hartanya untuk orang yang melakukan pelanggaran (lihat: Jeremy Bentham, 2010).
Berdasarkan penjelasan di atas adanya enam jenis ganti rugi yang ditujukan kepada korban juga menimbulkan pertanyaan, khususnya tentang bagaimana menetapkan atau menentukan ganti rugi yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan seseorang. Merespon pertanyaan di atas, Bentham memberikan jawaban sederhana untuk menetapkan pilihan jenis ganti rugi kepada pelaku kejahatan. Menurut Bentham, ada tiga hal yang wajib dipertimangkan, yaitu kemudahan dalam memberikannya, sifat kejahatan yang akan digantirugikan, dan sentimen-sentimen yang mungkin ada dari pihak yang dirugikan.
Bentham juga memberikan catatan tentang ganti rugi yang dibebankan kepada negara jika ternyata pelaku kejahatan tidak memiliki harga, maka ganti rugi ini harus dibebankan dari kas negara, meskipun dalan hal ini Bentham juga mengingatkan tentang kewaspadaan yang harus dilakukan oleh negara karena bisa saja terjadi persekongkolan rahasia antara pihak atau telah tercukupinya rasa aman dari para korban sehingga tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan.
Kesimpulan
Hukum pidana positif perlu memasukkan ketentuan yang dapat memulihkan hak-hak korban sehingga pendekatan restitusi, reparasi dan kompensasi menjadi suatu hal yang mutlat. Selain itu, pendekatan victim oriented juga harus digunakan untuk menjamin hak-hak korban, karena secara tidak langsung negara turut memberikan kontribusi. Oleh sebab itu, selain pendekatan restitusi, reparasi dan kompensasi, perlindungan korban seharusnya menjadi bagian yang integral dalam criminal justice system, yang mana negara menyediakan pusat-pusat layanan bagi korban dan memulihkan hak-hak korban. Dengan cara demikian, maka diharapkan hukum dapat menekan tindak pidana yang terjadi. (***)