RECHTSVERWERKING DALAM HUKUM TANAH NASIONAL
Oleh Erni Herawati (Maret 2017)
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hukum tanah di Indonesia berlaku dualistik, yaitu hukum tanah barat yang diatur dalam KUH Perdata dan hukum tanah adat. Dengan diundangkannya UUPA maka dualisme hukum tanah berakhir. UUPA mengatur bahwa hukum tanah di Indonesia berlandaskan pada hukum adat. Ketentuan mengenai hukum adat dapat dibaca pada bagian ‘Berpendapat’ UUPA yang mengamanatkan: (1) perlunya ada hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, (2) yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, (3) tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional, hukum adat berfungsi sebagai sumber utama dalam pengambilan bahan-bahan yang diperlukan. Bahan-bahan yang dimaksud adalah konsepsi hukum adat, asas-asas hukum adat, dan lembaga hukum adat yang disusun berdasarkan sistem hukum adat. Selanjutnya dalam UUPA khususnya Pasal 5 ditegaskan kembali bahwa:
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan peraturan-perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”
Salah satu lembaga yang ada dalam hukum adat dan diangkat dalam hukum tanah nasional adalah rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu menyebabkan orang menjadi kehilangan haknya atas tanah yang semula dimilikinya. Seperti yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya, meskipun juga menjelaskan tentang daluarsa, namun lembaga ini sangat bertolak belakang dengan lembaga acquisitive verjaring. Lembaga acquisitive verjaring dikenal dalam hukum tanah barat yang diatur dalam KUH Perdata yang berkaitan dengan cara pemilikan hak kebendaan berdasarkan lampaunya waktu. Dengan berlakunya UUPA maka acquisitive verjaring akhirnya juga tidak dapat diberlakukan.
Cara penguasaan tanah dengan alas hak berupa hak milik menurut Pasal 26 UUPA dapat terjadi dengan cara:: 1) jual-beli; 2)penukaran; 3) penghibahan; 4) pemberian dengan wasiat; 5) pemberian menurut adat, dan 6) perbuatan lain. Sebaliknya, hak milik dapat hapus dan menjadi tanah negara karena: 1) pencabutan hak; 2) penyerahan sukarela oleh pemilik; 3) ditelantarkan; 4) pengasingan tanah (lihat pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2)). Berdasarkan ketentuan di atas maka sebab pemilikan karena daluarsa tidak masuk dalam cara perolehan hak milik atas tanah. Selain itu, pada kondisi tanah yang ditelantarkan maka seseorang dapat kehilangan hak milik atas tanah.
Untuk lebih mendapat gambaran mengenai berlakunya rechtsverwerking, salah satu rujukannya adalah Putusan Mahkamah Agung No. 979/K/Sip/1971. Pada kasus tersebut MA memenangkan pihak tergugat yang telah sekian waktu (lebih dari 30 tahun) dengan itikad baik bertindak sebagai pemilik. Pihak pengugat tidak dimenangkan karena berlandaskan pada hukum adat yaitu apabila seseorang membiarkan tanah berada dalam keadaan tidak diusahakan maka bertentangan dengan tujuan fungsi sosial atas tanah. Kasus di atas mengajarkan bahwa jika seseorang menelantarkan tanahnya selama waktu tertentu dan tanah yang ditelantarkan itu ditempati oleh orang lain dengan itikad baik, maka si pemilik tanah bisa kehilangan hak atas tanahnya.
Pengaturan lebih rinci mengenai hilangnya hak atas tanah dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Selanjutnya, pasal 24 mengatur: jika tidak tersedia alat-alat bukti yang lengkap, maka lampaunya waktu selama 20 tahun yang disertai dengan penguasaan fisik secara terus menerus oleh pemohon dan para pendahulunya dapat dijadikan alas hak untuk melakukan pendaftaran tanah (bagi tanah-tanah konversi hak atas tanah lama. Persyaratan tentang penguasaan tanah ini harus dilakukan dengan itikad baik, dan diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya bahwa memang ia adalah pemilik yang sesungguhnya. Selain syarat di atas, masyarakat sekitarnya harus tidak mempermasalahkan penguasaan tanah tersebut sebelum dan selama proses pendaftaran. Meski demikian, cara di atas tidak dapat diartikan sebagai acquisitive verjaring karena hanya berlaku bagi tanah-tanah yang sudah dikuasai dengan hak atas tanah lama namun tidak memiliki bukti kuat untuk dilakukan konversi berdasarkan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.
Dalam hal menguatkan keberadaan lembaga rechtsverwerking, pengaturannya ada pada pasal 32 (2) PP No. 24 Tahun 1997, yaitu:
“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”.
Kelalaian pemilik tanah untuk memelihara dan memanfaatkan tanahnya tidak sejalan dengan tujuan tanah sebagai karunia Tuhan YME, yang maka keberadaan tanah diperuntukkan untuk membawa kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, maka PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar pada prinsipnya ditujukan untuk mengatur tanah terlantar yang disinyalir masih banyak terjadi (lihat bagian penjelasan). Kondisi penelantaran tanah ini telah dikuasai dan/atau dimiliki, baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah. Dengan demikian maka kedudukan PP No. 11 Tahun 2010 berupaya untuk mewujudkan cita-cita luhur kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan hak atas tanah. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia juga dirasakan penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi. Oleh sebab itu yang perlu dipahami dari penjelasan di atas, pemilik hak atas tanah memiliki kewajiban untuk menggunakan tanahnya sehingga tidak hanya sekedar untuk dikuasai dan/atau dimiliki. (***)
Leave Your Footprint
-
Junaidi Saya sangat senang membaca dan mencerna semua penjelasan saudari diatas. Good Luck
-
Junaidi Good Luck !