TANTANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI TENGAH ERA KETERBUKAAN INFORMASI
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Maret 2017)
Di tengah era keterbukaan informasi ini, masyarakat menuntut adanya transparansi dalam segala hal, termasuk transparansi dalam jalannya sistem peradilan pidana. Terlebih di tengah banyaknya ketidakpercayaan masyarakat akan keobjektifan dan ke profesionalan aparat penegak hukum, transparansi akan informasi yang terkait jalannya sistem peradilan pidana harus dilakukan.
Bukan menjadi rahasia umum bahwa banyak penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya dalam sistem peradilan pidana. Yang memprihatinkan adalah kesewenang-wenangan tersebut terjadi di setiap tahapan sistem peradilan pidana. Berdasarkan data dari Ombusman Republik Indonesia pada tahun 2016, banyak laporan pengaduan yang diterima oleh masyarakat terkait pelayanan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum. Kepolisian menjadi lembaga penegak hukum yang paling banyak menerima pengaduan dari masyarakat.[1] Baik laporan pengaduan yang diterima terkait pelayanan Kepolisian dan Kejaksaan ialah terkait penundaan berlarut atau maladministrasi dalam menangani perkara, penyimpangan prosedur dan tidak memberikan pelayanan[2] serta permintaan suap. [3] Laporan pengaduan terkait hal yang sama juga mendominasi laporan yang diterima oleh Ombusman Republik Indonesia mengenai pelayanan dari pengadilan dan Mahkamah Agung.[4] Sedangkan laporan pengaduan yang diterima oleh Ombusman Republik Indonesia terkait pelayanan Lembaga Pemasyarakatan didominasi suap.[5]
Penyimpangan dalam prosedur pelayanan yang diterima oleh Ombusman Republik Indonesia baru sebagian dari permasalahan yang ada. Permasalahan lainnya adalah perbuatan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya dalam sistem peradilan pidana. Kasus salah tangkap, penganiayaan dalam proses penyidikan sudah banyak terjadi. Kesewenang-wenangan tersebut yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak tersangka atau terdakwa.
Terkait dengan penyimpangan prosedur tersebut, adanya keterbukaan informasi melalui website aparat penegak hukum dapat menjadi solusi. Melalui website masyarakat dapat mengetahui prosedur dan tahapan akan perkara yang dihadapinya serta dapat memantau bagaimana perkembangannya. Setidaknya keterbukaan informasi tersebut dapat memperkecil laporan pengaduan mengenai penyimpangan prosedur. Memang hamper semua lembaga penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah telah memiliki website. Akan tetapi banyak dari website tersebut hanya sekedar formalitas saja dan tidak informatif bagi masyarakat serta tidak dikelola dan diperbarui.
Akan tetapi tidak semua informasi dapat dibuka bagi masyarakat. Ada tahapan dalam sistem peradilan pidana yang harus dilakukan secara tertutup seperti dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Hal ini selain untuk menjaga hak-hak tersangka dan terdakwa yang harus dilindungi. Selain itu dalam proses penyelidikan dan penyidikan merupakan tahap menemukan bukti awal sehingga tidak sepatutnya dibuka dan apabila dibuka justru akan membahayakan proses penegakan hukum itu sendiri. Tentu kita masih ingat proses gelar perkara terdakwa Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang awalnya diminta oleh Presiden Joko Widodo dilakukan secara terbuka akhirnya diakomodasi oleh Kepolisian Republik Indonesia secara terbatas tanpa adanya siaran langsung mengenai pemaparan alat bukti.
Bagaimana dengan proses persidangan? Mengenai hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa persidangan terbuka untuk umum, kecuali untuk tindak pidana kesusilaan dan yang dilakukan oleh anak, sehingga asas keterbukaan informasi telah terpenuhi. Akan tetapi dalam perkembangannya masyarakat menuntut lebih dengan adanya tututan untuk dilakukannya siaran langsung atas jalannya persidangan pidana dalam perkara-perkara tertentu yang menarik perhatian masyarakat. Hal ini masih menjadi perdebatan, apakah definisi terbuka untuk umum tersebut juga termasuk boleh melakukan siaran langsung melalui televisi. Dalam hal ini hendaknya dikembalikan pada persoalan apakah dengan adanya siaran langsung tersebut akan melanggar asas praduga tidak bersalah karena adanya trial by the press sehingga berakibat pada tidak terciptanya fair trial atau tidak. Selain itu bagaimana dampak yang mungkin terjadi dari adanya siaran langsung tersebut terhadap keadaan kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini tentu dikembalikan kepada kewenangan Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara tersebut yang akan menilainya. Selain itu hendaknya ada konsistensi. Tentu masyarakat akan membanding-bandingkan mengapa pada persidangan dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso siaran langsung dapat dilakukan secara leluasa, namun pada persidangan dalam dengan terdakwa Basuki Tjahja Purnama (Ahok) siarang langsung tersebut bersifat terbatas dan pada perkara tindak pidana korupsi Elektronik Kartu Tanda Penduduk tidak diperbolehkan sama sekali. Oleh karenanya perlu juga dikeluarkan suatu pengaturan yang menjadi pedoman bagi Hakim dalam menghadapi hal ini.
Pada akhirnya sistem peradilan pidana tidak bisa menghindar dari tuntutan keterbukaan informasi. Akan tetapi keterbukaan tersebut juga harus dipilah dimana dengan dua pertimbangan utama. Pertama harus menjaga fair trial dan kedua dengan memperhatikan dampak yang mungkin terjadi dari adanya siaran langsung tersebut terhadap keadaan kehidupan bermasyarakat. (***)
REFERENSI:
[1] Randyka Wijaya, “Kepolisian Jadi Lembaga Penegak Hukum yang Terbanyak Diadukan ke Ombudsman” tersedia dalam http://kbr.id/berita/12-2016/kepolisian_jadi_lembaga_penegak_hukum_ yang_terbanyak_diadukan_ke_ombudsman/87870.html diakses pada tanggal 25 Maret 2017.
[2] Ibid, dan Fachri Fachrudin, “Ini Pengaduan Masyarakat ke Ombudsman Terkait Kinerja Kejaksaan” tersedia dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/07/20/20534781/ini.pengaduan.masyarakat.ke.ombudsman.terkait.kinerja.kejaksaan diakses tanggal 25 Maret 2017.
[3]Joniansyah Hardjono, “Ombudsman: Pungli Tertinggi di Kepolisian dan Pemda” tersedia dalam https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/16/063812570/ombudsman-pungli-tertinggi-di-kepolisian-dan-pemda diakses tanggal 25 Maret 2017 .
[4] Nabilla Tashandra, “Ombudsman RI Ungkap Banyaknya Pengaduan terhadap Pengadilan, Ini Komentar MA” tersedia dalam http://nasional.kompas.com/read/2016/04/27/22544231/Ombudsman.RI.Ungkap.Banyaknya.Pengaduan.terhadap.Pengadilan.Ini.Komentar.MA diakses tanggal 25 Maret 2017.
[5] Priska Sari Pratiwi, “Praktik Pungli di Lapas Masih Banyak Terjadi Sepanjang 2016” tersedia di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20161230165328-12-183165/praktik-pungli-di-lapas-masih-banyak-terjadi-sepanjang-2016/ diakses tanggal 25 Maret 2016.
Published at :