KETERBUKAAN DAN FAIR TRIAL DALAM SIARAN LANGSUNG PERSIDANGAN PIDANA
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Maret 2017)
“Keterbuka itu asas dalam masyarakat yang demokratis tetapi terbuka itu baru bermanfaat kalau ada ketertiban” demikian pernyataan yang disampaikan oleh Bagir Manan, mantan Ketua Dewan Pers.[1] Dalam kaitannya dengan kebebasan pers maka pandangan tersebut harus dimaknai bahwa kebebasan pers yang ditandai dengan keterbukaan harus tunduk pada aturan yang ada.
Permasalahan tindak pidana korupsi pengadaan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) kemudian sempat menyoroti mengenai persidangan yang tidak diperolehkan untuk disiarkan secara langsung oleh media televisi nasional. Majelis Hakim telah mengetok palu dan hal ini protes oleh element pers seperti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Penolakan atas ditutupnya akses bagi pers untuk melakukan siaran langsung atas dugaan perkara tindak pidana korupsi E-KTP didasarkan pada pandangan bahwa perkara tersebut adalah perkara yang perhatian besar bagi publik karena menyangkut penggunaan dana negara yang besar dan adanya nama-nama tokoh penting yang diduga terlibat dalam perkara ini sehingga beralasan jika publik ingin mengetahui jalannya perkara ini tanpa harus datang ke pengadilan. Lebih lanjut pers sebagai perwakilan dari masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya persidangan agar pengadilan berjalan dengan adil.[2]
Pers dan masyarakat Indonesia tanpaknya sudah dihibur dengan keterbukaan dalam peradilan pidana. Bermula dari siaran langsung jalannya sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana pembunuhan kopi bersianida dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, kemudian siaran langsung dalam beberapa sidang awal sebelum agenda pembuktian perkara tindak pidana dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kini pers dan masyarakat menuntut untuk diberikan akses untuk dapat meliput dan menonton jalannya persidangan tersebut melalui siaran televisi.
Secara hukum memang dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 masyarakat dijamin haknya atas keterbukaan informasi mengenai perkara dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Akan tetapi jaminan tersebut pun memiliki batasannya. Oleh karenanya keterbukaan tersebut harus dibatasi asas fair trial bagi terdakwa yang digariskan baik pada konstitusi, Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mari kita memahami kembali mengenai asas keterbukaan dalam KUHAP yang dikenal dengan asas terbuka untuk umum. Sidang pemeriksaan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum yang bertujuan untuk menjamin keobjektivisan pemeriksaan.[3] Objektivitas tersebut bukan hanya kepada masyarakat tetapi juga terdakwa oleh karenanya asas keterbukaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari asas fair trial dan asas presumption of innocence.
Apabila kemudian element pers mendalilkan bahwa perkara dugaan tindak pidana korupsi E-KTP ini memiliki urugensi untuk diliput dan dilakukan siaran langsung dibandingkan perkara terdaka Jesika Kumala Wongso dan Ahok, maka hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dapat diterima. Dalam kerangka hukum acara pidana yang diutamakan adalah bagaimana menjaga agar peradilan yang bebas dan jujur tersebut dapat dilaksanakan dengan tetap mengedepankan hak-hak terdakwa sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan KUHAP, sehingga ada atau tidaknya siaran langsung bukan melihat kepentingan publik yang besar atau tidak tetapi melihat sejauhmana adanya siaran langsung tersebut dapat menghambat fair trial. Tentu kita masih ingat Majelis Hakim yang menolak kakak angkat Ahok, Andi Analta Amir, yang ditolak menjadi saksi di pengadilan hanya karena telah menghadiri persidangan-persidangan sebelumhya serta menyimak keterangan para saksi lain sebelumnya di ruang sidang. Bagaimana jika siaran langsung tersebut disaksikan oleh seorang yang akan menjadi saksi di luar pengadilan, akan sangat sulit bagi Majelis Hakim untuk menyaring hal ini. Terlebih di Indonesia tidak ada mekanisme untuk memastikan hal ini.
Terlebih dalam era kebebasan pers seperti saat ini, dimana keobjektivitasan perusahaan pers di Indonesia semakin dipertanyakan. Fakta, bahwa mayoritas dari perusahaan pers di Indonesia dimiliki oleh konglomerasi yang memiliki agenda pribadi dan kepentingan politik tertentu, serta media televisi Indonesia yang didominasi pada penilaian rating,[4] akan mempengaruhi konten terkait liputan siaran langsung tersebut, baik dari ahli maupun pihak lain yang akan diwawancara sebagai narasumber atau pemberitaan lainnya. Bercermin pada perkara tindak pidana dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso, peliputan media televisi tidak hanya sebatas pada siaran langsung atas pemeriksaan persidangan namun juga disertai dengan narasumber serta liputan berita kemudian ini yang justru menggiring pada adanya trial by press. Pada akhirnya asas presumption of innocence tersebut tidak akan terwujud apabila adanya trial by the press.
Pers di Indonesia saat ini terlalu bebas, bahkan kebebasan tersebut melebihi di negara – negara lain. Hanya di Indonesia yang dapat menyiarkan siaran langsung secara penuh suatu sidang peradilan pidana. Di Amerika Serikat pun terdapat batasan akan liputan di pengadilan dimana salah satunya tidak ada siaran langsung. Sayangnya kebebasan tersebut tidak diimbangi dengan tanggung jawab dari pers tersebut. Perusahaan pers memiliki sensor internal berupa tekanan dari pemilik yang didasarkan pada batasan yang diberlakukan oleh norma kesopanan dan pusat kekuasaan pasar dan pemerintahan yang lain. Sensor internal ini lebih memiliki kekuatan dengan sanksi yang berikan oleh KPI atau pun Dewan Pers.[5]
Pada akhirnya, tidak diberikannya akses oleh Majelis Hakim untuk melakukan siaran langsung hendaknya jangan dimaknai sebagai pengekangan akan kebebasan pers. Akan tetapi harus dimaknai sebagai suatu instrokpesi untuk mengembalikan fungsi pers untuk menyampaikan informasi secara akurat kepada masyarakat tanpa adanya kepentingan pemilik perusahaan pers atau rating semata sehingga pers dapat memberikan manfaat dalam mendukung terciptanya fair trail. (***)
REFERENSI:
[1]Fitri Wulandari, “Bagir Manan: Kebebasan Pers Mesti Ada Batasnya” tersedia dalam: http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/09/bagir-manan-kebebasan-pers-mesti-ada-batasnya, diakses tanggal 16 Maret 2017.
[2] Ihsanuddin, “PWI Kecam Larangan Siaran Langsung Sidang Kasus E-KTP” tersedia dalam: http://nasional.kompas.com/read/2017/03/08/18241711/pwi.kecam.larangan.siaran.langsung.sidang.kasus.e-ktp diakses tanggal 16 Maret 2017; Ihsanuddi, “AJI Protes Larangan Siaran Langsung Sidang Korupsi E-KTP” tersedia dalam: http://nasional.kompas.com/read/2017/03/09/08235591/aji.protes.larangan.siaran.langsung.sidang.korupsi.e-ktp diakses tanggal 16 Maret 2017; dan Heldania Ultri Lubis, “Hakim Larang Sidang e-KTP Disiarkan Live, KPI: Ini Bukan Orde Baru” tersedia dalam https://news.detik.com/berita/d-3442440/hakim-larang-sidang-e-ktp-disiarkan-live-kpi-ini-bukan-orde-baru diakses tanggal 16 Maret 2017.
[3] Luhut M.P. Pangaribuaan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djembatan, 2005). h. 4 dan Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007). h. 19.
[4] Yanuar Nugroho, Muhammad Farji Siregar, Shita Laksmi, Memetakan Kebijakan Media di Indonesia, (Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance, 2013).h. 57 dan 118.
[5] Ibid.
Published at :