RECHTSVERWERKING DAN ACQUISITIVE VERJARING DITINJAU DARI ASPEK HUKUM TANAH NASIONAL
Oleh: Erni Herawati (Maret 2017)
Dalam Hukum Tanah Nasional dikenal istilah rechtsverwerking dan acquisitive verjaring. Keduanya berkaitan dengan pemilikan atas tanah dan daluwarsa. Acquisitive verjaring merupakan prinsip yang diatur dalam KUH Perdata tentang daluarsa sebagai salah satu cara memperoleh hak milik atas kebendaan (termasuk hak milik atas tanah). Sedangkan rechtsverwerking dalam beberapa literatur diakui sebagai sebuah lembaga yang berasal dari hukum adat di Indonesia. Kebalikan dari acquisitive verjaring, rechtsverwerking memiliki prinsip dimana dengan “lewat waktu” seseorang dapat kehilangan suatu hak milik kebendaan.
Sistem hukum benda Indonesia menganut sistem tertutup, yaitu tata cara memperoleh benda diatur undang-undang. Konsekwensinya, jika ada cara baru memperoleh hak kebendaan dan cara itu tidak diatur oleh undang-undang, maka benda tersebut tidak akan diakui kepemilikannya secara yuridis. Untuk memperoleh hak kebendaan diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata diatur dengan cara: perlekatan, daluwarsa, pewarisan (baik menurut undang-undang mapun wasiat), penunjukan atau penyerahan.
Dari pasal tersebut di atas, salah satu cara untuk memperoleh hak milik (termasuk hak atas tanah) adalah dengan cara daluwarsa. Namun demikian cara perolehan tanah seperti ini tidak dikenal dalam UUPA. Selanjutnya dalam Pasal 610 jo. 1946 KUH Perdata diatur bahwa seseorang dapat memegang hak milik atas suatu kebendaan karena daluwarsa apabila seseorang tersebut telah memegang kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang ditentukan undang-undang dan menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata”.
Selanjutnya pada Pasal 1963 ditentukan bahwa “siapa yang dengan itikad baik dengan berdasar alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tidak bergerak… memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun”, dalam ayat selanjutnya ditentukan “siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya”. Dengan demikian menurut Sri Soedewi (1980) memperoleh hak milik dengan acquisitive verjaring dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) harus ada bezit sebagai pemilik; 2) bezit-nya harus te goeder trouw; 3) mem-bezit-nya harus terus menerus, tidak terputus; 4) mem-bezit-nya harus tidak terganggu; 5) mem-bezit-nya harus diketahui oleh umum; 6) mem-bezit-nya harus selama waktu 20 tahun (dalam hal ada alas hak) atau 30 tahun (dalam hal tidak ada alas hak).
Sebaliknya, J. Satrio (2016) mencoba memberikan rumusan tentang rechtsverwerking (merelakan hak) dari para sarjana, yaitu sebagai sikap mengabaikan hak, yang nampak dari perilakunya, sedemikian rupa, sehingga akan bertentangan dengan itikad baik, kalau sesudahnya, yang bersangkutan masih menuntut pelaksanaan haknya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa rechtsverwerking adalah suatu pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak mau lagi menggunakan hak yang dipunyainya. Sejalan dengan yang disampaikan oleh J. Satrio maka dituliskan dalam catatan Boedi Harsono (2007) bahwa rechtsverwerking dan acquisitive verjaring adalah istilah yang menyangkut pengaturan hak milik yang berkaitan dengan lampaunya waktu. Dalam hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat tidak dikenal lembaga lampaunya waktu sebagai sarana untuk memperoleh hak atas tanah sebagaimana yang dikenal sebagai acquisitive verjaring dalam KUH Perdata. Justru yang berlaku adalah lembaga rechtsverwerking yaitu lampaunya waktu menyebabkan orang menjadi kehilangan haknya atas tanah yang semula dimilikinya. (***)
Published at :