PAYUNG HUKUM BISNIS DAN HAK ANAK DI PERKEBUNAN SAWIT
Pusat Kajian dan Perindungan Anak (PKPA), JARAK (Jaringan Nasional Penanggulangan Pekerja Anak) dan ICCO Cooperation Netherlands membahas secara mendalam tentang penerapan prinsip-prinsip bisnis dalam konteks perlindungan anak di sektor perkebunan sawit. Seminar nasional ini menguji tentang toolkit yang sudah disiapkan oleh tiga lembaga ini untuk segera diujicobakan di sektor perkebunan sawit dengan harapan bahwa sektor perkebunan sawit mampu mengeliminir persoalan-persoalan anak yang muncul.
Dalam seminar ini satu pembicara kunci hadir yaitu Misran Lubis (senior officer Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) dan tiga pembicara lainnya yaitu Sagita Adesywi dari UNICEF Indonesia, Jaka Riksanto yang merupakan Technical Manager RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan Achmad Marzuki (Direktur Eksekutif JARAK). Acara ini dipandu oleh Dr. Ahmad Sofian, SH, MA (dosen tetap Jurusan Hukum Bisnis, BINUS University). Sebanyak 50 orang peserta diundang di seminar ini yang terdiri dari wakil-wakil instansi pemerintah seperti kementerian pertanian, kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, wakil-wakil dari Organisasi Internsional seperti Save the Children, Plan Internasional, Unicef, ECPAT juga hadir organisasi bisnis seperti Gappki, sektor bisnis lainnya seperti Sinar Mas Group serta wakil-wakil dari organisasi masyarakat sipil, wakil dari perguruan tinggi serta lembaga peneliti independen.
Dalam paparannya, Jaka Riksanto menyatakan bahwa sektor perkebunan sawit menjadi perhatian global karena minyak sawit sendiri menjadi kebutuhan primadona dan setiap tahun kebutuhan minyak sawit dunia meningkat. Mengutip dari World Oil, dia menyatakan bahwa pada tahun 2014 saja produksi minyak sawit dunia mencapai 59,6 juta ton dan Indonesia menyumbang sebesar 31,1 juta ton atau sekitar 52 persen. Diperkirakan pada tahun 2020 produksi minyak sawit dunia mencapai 78 juta ton. Dalam konteks ini, meningkatnya permintaan global dan ekspansi perkebunan sawit menimbulkan berbagai dampak, dan salah satunya adalah pelanggaran hak asasi manusia, pemanasan global, rusaknya lingkungan serta berbagai persoalan sosial lainnya. Oleh karena itu, RSPO hadir dalam rangka memberikan sertifikasi bagi perusahaan-perusahaan perkebunan yang tidak menimbulkan dampak-dampak negatif tersebut sehingga diharapkan meningkatkan jumlah perkebunan sawit dibarengi dengan adanya upaya jaminan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan dan perlindungan hak asasi manusia termasuk hak asasi anak.
Sagita Adesywi menekankan bahwa dalam rangka mengurangi dan bahkan menghapuskan ekses negatif pada pelanggaran hak asasi anak maka salah satu alat yang bisa digunakan adalah menerapkan CRBP (Children Right and Business Principle). Prinsip-prinsip bisnis yang ramah anak ini harus dikedepankan oleh sektor perkebunan sawit. CRBP ini merupakan instrumen global yang mulai diterapkan sejak tahun 2012, namun status CRBP masih voluntary, artinya belum ada kewajiban bagi sektor bisnis menerapkannya. Dengan kata lain CRBP ini berada di level moral (moral obligation), sebuah standar etik dan belum meningkat menjadi standar hukum yang harus diterapkan pada sektor bisnis. Oleh karena itu, langka-langkah untuk meningkatkan status CRBP menjadi sebuah state obligation masih terus dilakukan meskipun mendapat tantangan dari sektor bisnis itu sendiri.
Sementara itu Achmad Marzuki menyoroti soal dampak perkebunan sawit pada pekerja anak. Menurutnya ditemukan sejumlah fakta bahwa perkebunan sawit masih mempekerjakan anak. Dia menyatakan bahwa secara nasional masih terdapat 1,7 juta pekerja anak, dan dari jumlah tersebut sektor pertanian dan perkebunan menyumbang pekerja anak termasuk perkebunan sawit. Oleh karena itu, penerapan CRBP pada sektor perkebunan harusnya menjadi kewajiban agar cita-cita Indonesia bebas pekerja anak di tahun 2022 tercapai.
Dari tiga pembicara tersebut Dr. Ahmad Sofian menyimpulkan bahwa perlu ada payung hukum untuk meletakkan CRBP dalam konteks hukum nasional sehingga sektor bisnis termasuk perkebunan punya panduan yang clear and clean dalam menjalankan prinsip-prinsi bisnis yang ramah anak dan beretika ini. Payung hukum penerapan CRBP ini bisa saja dibuat dalam Peraturan Presiden atau malah dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Perlindungan Anak atau Undang-Undang Perseroan Terbatas bahkan jika dimungkinkan dalam Undang-Undang Perkebunan. Perlu ada rewards and punishment jika terjadi pelanggaran atas prinsip-prinsip ini. (***)
Published at :