OJK TENTANG USAHA PERGADAIAN
Oleh ERNI HERAWATI (Februari 2017)
Pada Maret tahun lalu telah ditulis dalam rubrik ini tentang Eksistensi Lembaga Jaminan Gadai di Indonesia. Rubrik tersebut menginformasikan tentang fenomena menjamurnya usaha pergadaian di masyarakat yang belum ada aturan mainnya. Aturan tentang gadai secara umum telah lama diatur dalam KUH Pedata. Namun bagaimana mekanisme usaha tersebut dijalankan baru mendapat perhatian setelah maraknya pertumbuhan usaha pergadaian selain perusahaan pegadaian milik pemerintah. Tumbuhnya usaha pergadaian dengan cukup pesat menunjukkan adanya penyerapan pasar, artinya ada kebutuhan atas keberadaan lembaga tersebut di masyarakat yang dapat memberikan dana tunai dengan cepat, mudah dan prosedur yang sederhana. Otoritas Jasa Keuangan pada waktu itu sempat menyebutkan bahwa usaha-usaha pergadaian tersebut adalah liar dan OJK akan segera mengatur hal tersebut.
Pada Juli 2016 kemudian, OJK mengeluarkan Peraturan OJK No. 31/POJK.05/2016 tentang Usaha Pergadaian (catatan: peraturan ini menggunakan istilah ‘pergadaian’ bukan ‘pegadaian’). Peraturan OJK ini sepertinya diniatkan untuk mengisi kekosongan hukum tentang usaha pergadaian yang selama ini belum diatur secara rinci. Kesimpulan ini muncul karena beberapa jenis ketentuan tentang jaminan kebendaan diatur melalui produk undang-undang, yaitu antara lain UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, dan Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 dan perubahannya UU No. 9 Tahun 2011 tentang Resi Gudang. Tentang Hipotik atas benda berupa kapal laut, meskipun masih melihat pada KUHD, tetapi telah disinggung dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Hanya gadai yang masih mengacu pada Buku II KUH Perdata yaitu Pasal 1150 s.d 1160. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tidak menunjuk pada usaha pergadaian secara umum namun khusus ditujukan untuk mengatur PT. Pegadaian sebagai usaha pergadaian pemerintah.
Pada peraturan tersebut diuraikan tentang apa itu usaha pergadaian dan lingkup perusahaan pergadaian. Usaha pergadaian yang disebut dalam Peraturan OJK lingkupnya lebih luas dibandingkan dengan definisi yang ada dalam Pasal 1150 KUH Perdata. Dalam peraturan tersebut sudah memasukkan usaha pergadaian dengan jenis syariah. Lingkup perusahaan pergadaian tidak lagi hanya tertuju pada PT. Pegadaian yaitu perusahaan pergadaian pemerintah, tetapi juga perusahaan swasta. Dengan demikian maka eksistensi perusahaan pergadaian yang didirikan oleh masyarakat telah diakui. Pengakuan ini meliputi tata aturan tentang bagaimana aturan pendirian bagi usaha pegadaian yang disyaratkan harus berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas atau Koperasi. Namun harus diperhatikan oleh perusahaan pergadaian bahwa skala permodalan dengan minimal lima ratus juta rupiah sebagai modal disetor pada lingkup kabupaten/kota atau 2,5 Milyar rupiah pada lingkup provinsi menunjukkan bahwa usaha pergadaian tidak bisa didirikan ala kadarnya.
Dalam peraturan OJK ini juga menyebutkan tentang lingkup kegiatan usaha gadai yang dapat diselenggarakan dengan menggunakan prinsip syariah maupun konvensional, yaitu antara lain:
- penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan hukum Gadai;
- penyaluran Uang Pinjaman dengan jaminan berdasarkan fidusia;
- pelayanan jasa titipan barang berharga; dan/atau
- pelayanan jasa taksiran;
- kegiatan lain berdasarkan (fee based income)
- kegiatan lain yang disetujui oleh OJK
Yang menarik di sini adalah kegiatan usaha pergadaian ini juga tidak mengenyampingkan adanya penggunaan jaminan fidusia.
Diharapkan dengan adanya ketentuan OJK mengenai usaha pergadaian ini, akan dapat lebih mengembangkan perekonomian nasional. Sebab aturan ini memberikan gambaran yang lebih pasti tentang gadai dan kegiatan usahanya, kewajiban-kewajiban perusahaan pergadaian, serta syarat-syarat pendirian perusahaan pergadaian. Pada akhirnya masyarakat akan mempunyai alternatif pilihan dalam mencari skema permodalan selain perusahaan pergadaian milik pemerintah yang telah ada sebelumnya.(***)