MENGENAL GERONTOKRASI
Oleh BESAR (Februari 2017)
Gerontokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemerintah atau badan pemerintahan yang dikendalikan oleh orang-orang tua. Gerontokrasi adalah sebuah relasi sosial. Lazimnya gerontokrasi untuk memberikan pengertian kepada suatu masyarakat yang dikendalikan oleh orang-orang yang telah tua. Ciri umum yang melekat pada kepemimpinan model gerontokrasi adalah konservatif, lambat, dan kaku.
Gerontokrasi berasal dari kata geront, yang dalam bahasa Yunani, berarti orang tua atau orang lanjut usia. Geront + kratia berarti keadaan politik dan pemerintahan, ketika yang berkuasa orang-orang yang lebih tua dibandingkan rata-rata populasi dewasa. Istilah gerontokrasi dipopulerkan di Prancis sejak abad ke-19 sebagai kritik terhadap parlemen yang semakin didominasi oleh politisi yang sudah tua dengan perilaku politik patronizing.
Dalam praktiknya gerontokrasi membatasi akses untuk orang-orang yang masih muda pada kekuasaan; bahkan ditutup. Di dalam gerontokrasi ini, orang tua mengambil posisi sebagai subjeknya sementara orang yang masih muda adalah sebagai objek; atau orang tua sebagai penikmat dan yang muda sebagai korban akibat dari tertutupnya akses. Banyak masyarakat, komunitas, dan organisasi yang menggunakan cara seperti ini, tanpa kecuali di Indonesia. Banyak organisasi yang membiarkan diri dikendalikan oleh orang yang sudah tua. Kesempatan memimpin lebih terbuka untuk yang sudah berumur. Bahkan sampai dibuat sistem sedemikian rupa, sehingga yang tua tetap sebagai pemegang rezim, sedangkan yang masih muda dipinggirkan terlebih dahulu. Sebagai contoh, pola kepemimpinan di pondok-pondok sejumlah pesantren di Indonesia menjalankan model gerontokrasi ini, dengan model pengendalian di tangan para kyai yang sudah berumur. Selain pada pesantren, kita juga bisa melihat College of Cardinals juga terkenal sebagai sebuah kepemimpinan kolektif para kardinal yang pada umumnya juga sudah sangat senior. Dalam dunia kerohanian, yang menuntut kedewasaan dan kebijaksanaan pola pikir, sikap, dan tindak tanduk, model seperti ini masih bisa ditoleransi.
Bagaiana dengan gerontokrasi di dunia politik? Praktik kekuasaan politik di Uni Soviet, Eropa Timur dan Tengah, serta Cina selama pertengahan abad ke-20 bisa diambil sebagai contoh gerontokrasi. Setelah Uni Soviet pecah, dan reformasi terjadi di eks blok negara-negara sosialis/komunis ini, wajah-wajah yang lebih muda mulai menghiasi jajaran pemimpin mereka.
Di Indonesia, setelah reformasi kurang lebih 15 tahun, dirasakan sudah banyak kemajuan. Demokrasi berkembang dengan cepat, dengan sistem pers yang bebas dan sistem multipartai. Terlaksananya pemilu yang langsung, baik pemilihan wakil rakyat di lembaga legislatif, presiden, gubernur, maupun bupati/wali kota. Banyak hal yang telah dilakukan oleh bangsa ini dalam melakukan perubahan, kendati belum sepenuhnya dapat mengikis fenomena gerontokrasi. Hal ini dapat terlihat dari masih kuatnya dominasi figur-figur senior yang mengendalikan roda partai, bahkan dijadikan ikon partai. Kondisi inilah yang membuat kultur di partai-partai politik kita tidak banyak berubah sekalipun tuntutan reformasi sudah digulirkan. Akibatnya, skandal-skandal yang melibatkan aktor-aktor politik kita tetap terjadi, yang menunjukkan kultur yang lebih positif sebagaimana seharusnya terbawa oleh alam pikir anak-anak muda yang masih idealis, tidak terbangun.
Secara teoretis, negara demokrasi memang lebih memungkinkan munculnya politisi lebih muda, namun dalam praktik tidak selalu demikian. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat masih ditemukan gejala gerontokrasi ini, khususnya di lembaga eksekutif dan legislatif. Namun, partai politik di sana dijalankan secara sentralistis, dalam arti tidak menempatkan satu figur sebagai patron partai, sehingga tidak ada sosok tunggal yang menentukan ke mana kiblat partai harus diarahkan dalam menyikapi suatu isu politik.
Gerontokrasi menurut siklus Pollybios akan melahirkan oligarki partai, yakni terbangunnya kekuasaan partai yang proses dan hasilnya dikendalikan oleh segelintir kecil elite partai. Pos-pos politik paling strategis tetap hampir sepenuhnya dikuasai generasi tua. Di Indonesia dampak ini bisa dicermati terjadi, yakni terhalangnya generasi lebih muda menduduki pos-pos strategis partai politik. Dengan adanya gerontokrasi, walaupun ada kader partai sudah aktif bertahun-tahun di dalam partai, tetap tak ada jaminan bisa menembus hegemoni pemegang gerontokrasi. Keberadaan gerontokrasi dalam politik akan berdampak pada dua hal penting; Pertama, regenerasi politik menjadi terhambat karena tertutupnya ruang untuk kaum muda dalam sirkulasi kepemimpinan. Kedua, trasisi ke sitem politik yang lebih demokratis akan mengalami kesulitan karena watak kaum tua yang koservatif dan anti perubahan.
Bahayanya gerontokrasi apabila dibiarkan dan tidak berpegang pada demokrasi yang sebenarnya adalah bahwa keadaan seperti ini dapat dengan mudah memunculkan otokrasi. Otokrasi yang lama, baik pada tingkat nasional maupun lokal, bisa secara diam-diam memicu perlawanan yang bersifat eksplosif yang sangat mungkin bisa menyebabkan terjadinya kerusakan sendi-sendi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Kesenjangan yang ditimbulkan oleh gerontokrasi akan mengakibatkan konsisi yang tidak sehat bagi partai dan demokrasi. Maka dari itu gerontokrasi seharusnya sudah mulai dikurangi. Maka dari itu dibutuhkan sifat legowo berpolitik dari para politisi yang sudah tua untuk terciptanya regenerasi. Dengan begitu, kita bisa berharap akan ada pembaruan, suasana segar yang lebih sehat dan dinamis pada kehidupan partai politik di Tanah Air. (***)