KACAUNYA PENGGUNAAN TERMINOLOGI PATEN DAN HAK CIPTA
Oleh BAMBANG PRATAMA (Februari 2017)
Adanya broadcast massage tentang pendaftaran hak cipta OK dan OCE oleh salah satu calon gubernur DKI (Anies-Sandi) yang diberitakan Detikom ini berjudul: “Hindari Penyalahgunaan, Sandiaga Patenkan Hak Cipta OK dan OCE”. Ketika membaca isi berita lebih mendalam, ternyata memang kesalahan terminologi kekayaan intelektual “Paten” dan “Hak Cipta” memang benar terjadi. Artinya, kesalahan ini memang konsisten antara judul dengan isi berita Detikom. Muncul pertanyaan tentang asal muasal kesalahan ini, apakah berada pada wartawan dalam penulisan atau dari pihak Sandiaga? Tanpa bermaksud mencari-cari siapa yang bertanggungjawab atas kesalahan ini, tulisan singkat ini dibuat untuk menjelaskan terminologi “Paten” dan “Hak Cipta”. Salah satu dorongan dibuatnya tulisan ini ditujukan untuk memberi edukasi kepada masyarakat pada umumnya agar dapat mengenali perbedaan antara “Paten” dan “Hak Cipta”.
Secara konseptual, hak cipta dan paten merupakan salah dua dari tujuh jenis kekayaan intelektual (desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman, merek dan indikasi geografis). Ciri-ciri dari kekayaan intelektual antara lain: 1) dibuat oleh manusia, 2) dibuat oleh orang yang memiliki kemampuan tertentu, 3) dapat dirasakan oleh indera manusia, 4) nyata bentuknya (tidak boleh sebatas ide).
Selain ciri umum di atas, ada juga ahli yang menjelaskan secara spesifik dengan menambahkan ciri: dapat diterapkan di dunia industri. Konsisten dengan argumentasi di atas, maka doktrin ini membagi bidang kekayaan intelektual menjadi dua bagian, yaitu: hak bagi individual (hak cipta), dan hak bagi industri (paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman, merek dan indikasi geografis). Terlepas dari perbedaan pendapat para ahli dalam mendeskripsikan kekayaan intelektual, para ahli pada prinsipnya sepakat bahwa pembagian kekayaan intelektual dibagi menjadi 7 jenis yang diatur dalam rezim hukum kekayaan intelektual Indonesia.
Hak Cipta
Untuk memberikan penjelasan secara mudah, definisi hak cipta menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU-HC) adalah:
Hak cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan umum pasal di atas, bahwa hak cipta adalah hak ekslusif atas suatu ciptaan yang berbentuk nyata, yang mana hak ekslusif tersebut muncul ketika ciptaan diumumkan atau dideklarasikan. Prinsip pengumuman ini dikenal dengan sebutan prinsip deklaratif. Artinya undang-undang mengatur bahwa perlindungan hak cipta ini tanpa syarat perndaftaran. Setelah mengetahui definisi hak cipta, maka muncul pertanyaan tentang apakah hak ekslusif itu? Hak pada hak cipta yang diatur dalam pasal 4 UU-HC adalah hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral adalah hak yang melekat seumur hidup pencipta (pasal 5 ayat (2). Adapun hak yang menjadi lingkup dari hak moral pada pencipta. Sedangkan hak ekonomi adalah hak bagi pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi (pasal 8 UU-HC) atau mengambil keuntungan dari ciptaannya. Dua hak yang melekat pada hak cipta ini yang menjadi keunikan hak cipta dibandingkan dengan kekayaan intelektual lainnya.
Paten
Tahun lalu, pemerintah mengesahkan undang-undang paten terbaru. Adapun definisi paten menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Paten dibagi menjadi dua jenis, yaitu paten dan paten biasa, penjelasan lebih lanjut tentang pembagian paten yang diatur ini dalam pasal 3 UU-Paten adalah:
Paten: diberikan untuk invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri
Paten sederhana: pengembangan dari produk atau proses yagn telah ada, dan dapat diterapkan dalam industri
Selanjutnya, UU paten memberi petunjuk tentang ruang lingkup invensi, yang mana tidak dicakup dalam paten adalah: kreasi estetika, skema, aturan dan metode yang hanya berisi program komputer, presentasi mengenai suatu informasi, dan temuan (discovery): seperti penggunaan atau/atau senyawa, aturan dan metode untuk melakukan kegiatan: yang melibatkan kegiatan mental, permainan, dan bisnis (lihat pasal 4 UU-Paten).
Menempatkan Terminologi dalam Hukum Kekayaan Intelektual
Diskursus tentang terminologi dalam hukum kekayaan intelektual telah terjadi sejak dahulu, misalnya antara Hak atas Kekayaan Intelektual/HaKI dengan Hak Kekayaan Intelektual/HKI. Setelah dua terminologi di atas berkembang, kemudian terminologi hukum kekayaan intelektual berubah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Perubahan yang diatur dalam PP adalah penghilangan frasa ”hak” sebelum kekayaan intelektual. Alhasil terminologi hukum kekayaan intelektual menjadi kekayaan intelektual. Frasa ”hak” bisa dipakai jika suatu kekayaan intelektual telah di daftarkan. Artinya, frasa ”hak” di sini merupakan hak hukum yang diberikan untuk melindungi suatu kekayaan intelektual. Perbedaan terminologi pada bagian ini bisanya terjadi di kalangan para pengemban hukum, yang biasanya mengacu pada ketepatan definisi dan ketepatan kata.
Kemudian dalam konteks terminologi: ”paten” dan ”hak cipta” berbedaan keduanya sudah sangat jelas didefinisikan dalam undang-undang. Tetapi nyatanya di masyarakat yang terjadi adalah penggunaan terminologi ”paten” untuk mendaftarkan suatu kekayaan intelektual apapun itu bentuknya. Jika mengacu pada judul berita dari detik.com yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka bahasa yang ingin disampaikan adalah pendaftaran hak cipta yang berubah menjadi mematenkan hak cipta. Di sini kata ”pendaftaran” berganti menjadi ”mematenkan”. Kesalahan penggunaan terminologi pada bagian ini biasanya kerap terjadi pada masyarakat umum (non-hukum).
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa kesalahan terminologi ini harus diperhatikan oleh pemerintah, khususnya Dirjen Kekayaan Intelektual (Dirjen KI) yang secara khusus menangani bidang kekayaan intelektual. Di sini, Dirjen KI seharusnya menjalankan fungsi edukasi kepada masyarakat agar penggunaan terminologi hukum kekayaan intelektual bisa digunakan secara benar. Alasannya sangat sederhana: pada bagian terminologi, pengetahuan tentang hukum kekayaan intelektual sifatnya sangat umum. Jika pengetahuan umum ini tidak diketahui oleh masyarakat pada umumnya, maka jangan berharap muncul hak kekayaan intelektual dari masyarakat Indonesia. Pasalnya, untuk bisa menghasilkan suatu hak kekayaan intelektual yang memiliki nilai komersial menuntut pengetahuan tentang hukum kekayaan intelektual di atas pengetahuan tentang terminologinya. Oleh sebab itu, masalah terminologi ini perlu diperhatikan oleh Dirjen KI dan diatasi bersama-sama dengan sivitas akademika di bidang hukum. Harapannya di masa mendatang masyarakat Indonesia menjadi sadar HKI sehingga bisa menghasilkan HKI yang bisa dikomersialisasikan dan juga menjadi taat HKI (tidak melanggar HKI). (***)