POLRI DAN PERLINDUNGAN HAM
Oleh AHMAD SOFIAN (Februari 2017)
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki kewenangan dalam melakukan penegakan hukum yang didasarkan pada hukum positif yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU No. 2 Tahun 2002). Dalam penegakan hukum ini acapkali mengandung dua dimensi yaitu memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat namun dimensi lain memiliki potensi untuk disalahgunakan dan cenderung merugikan masyarakat. Banyak kasus-kasus hukum yang ditangani oleh polisi yang mendapat apresiasi dari masyarakat namun tidak sedikit pula mendapat kritik dari masyakarat. KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada kepolisian untuk melakukan langkah-langkah hukum terhadap tersangka. Jika kewenangan tersebut tidak amanah dan tidak diawasi maka berpotensi untuk digunakan secara berlebihan.
Penegakan Hukum
Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, dengan tidak mengeyampingkan faktor–faktor yang juga berpengaruh pada penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap penegakan hukum menurut professor sosiologi hukum tersebut, yaitu: peraturan hukum itu sendiri, masyarakat tempat hukum tersebut ditegakkan, keteladanan para aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana penegakan hukum.
Apa yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto dan ketika dikaitkan dengan kondisi saat ini dan tentang reformasi yang sedang berlangsung di tubuh Polri, maka sebenarnya masyarakat belum merasakan adanya perubahan yang signifikan, sikap dan perilaku anggota kepolisian masih belum banyak berubah. “Menembak salah, tidak menembak salah, ditembakpun salah,” demikian kira-kira situasi yang yang dihadapi polisi kita. Pemberitaan tentang polisi yang melakukan penembakan sering menjadi perhatian publik, terlebih terhadap polisi yang salah tembak. Tidak sedikit polisi yang kemudian diperiksa, ditindak, dan diajukan ke sidang pengadilan atau kode etik profesi.
Beberapa catatan dari lembaga Ombudsman Republik Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa Polri masih menjadi lembaga yang sering melakukan mala-administrasi sehingga menjadikan institusi ini mendominasi pengaduan dari masyarakat. Pada tahun 2015 saja, lembaga ini menerima pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran mala-adminsitrasi oleh kepolisian sebanyak 6.859 pengaduan. Data yang diterbitkan oleh Ombudsman ini diperkuat lagi dengan data yang diterbitkan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Terdapat bukti jika anggota Polri melakukan pelanggaran kode etik, pelanggaran disiplin dan pelanggaran pidana. Sebagai contoh pada tahun 2015 terdapat pelanggaran kode etik sebanyak 1.041 kasus, pelanggaran disiplin 8.147 kasus dan pelanggaran pidana 394 kasus.
Perlindungan HAM
Laporan Amnesty International tentang standar-standar untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan penegakan hukum menyebutkan empat prinsip penting HAM dalam penggunaan kekuatan pada umumnya, yaitu, proporsionalitas (penggunaan kekuatan yang seimbang), legalitas (tindakan sah apabila sesuai dengan hukum nasional yang sesuai dengan standar HAM internasional), akuntabilitas (adanya prosedur dan peninjauan ulang penggunaan kekuatan) dan nesesitas (digunakan pada tindakan luar biasa dan benar-benar dibutuhkan).
Kepolisian Indonesia memiliki kewenangan yang luar biasa besar dalam membatasi Hak Asasi Manusia. Jika kewenangan ini tidak dipergunakan secara humanistik maka berpotensi untuk melanggar HAM, misalnya saja polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; polisi juga memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuatan misalnya senjata api untuk mengatasi kerusuhan.
Penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan 21 ayat (1) KUHAP. Pasal 20 KUHAP mengatakan bahwa penyidik memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan. Pasal 21 ayat (1) mengatur bahwa penahanan dilakukan manakala penyidik “menduga keras” tersangka melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau akan mengulangi tindak pidana. Penahanan juga dilakukan jika seseorang tersangka yang diancam dengan pidana (penjara) lima tahun atau melakukan kejahatan tertentu.
Kata-kata “menduga keras” seperti yang disebutkan dalam KUHAP inilah yang bisa digunakan oleh penyidik untuk membatasi kebebasan seseorang, Praktek penahanan mendapat sorotan dan dikeluhkan warga karena implementasi kewenangan yang tidak terkendali. “Nasib” tersangka ditentukan secara subjektif oleh penyidik yang dirasakan golongan tidak mampu sebagai ketidakpastian hukum.
Penegakan Hukum di Masa Depan
Pendekatan humanistik dan pendekatan non-prosedural dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Penggunaan pendekatan humanistik, maka polisi dituntut untuk senantiasa menggedor nurani mereka dalam menghormati harkat dan martabat manusia. Polisi harus membatasi dirinya, kapan harus menggunakan kewenangan dan tidak mengunakan kewenangan tersebut. Harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa harus dilindungi dan dihormati. Praduga tidak bersalah harus dikedepankan, sehingga pada kasus-kasus tertentu saja boleh menggunakan kewenangan tersebut. Dengan kata lain, polisi harus selektif dan tidak bisa menyamaratakan dalam penggunaan kewenangan tersebut. Hati nurani polisi harus menjadi benteng dalam mem-filter kasus-kasus, agar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terseleksi.
Rasa keadilan substansial masyarakat merupakan ciri penggunaan pendekatan non prosedural. Pendekatan non-prosedural ini menjadi penting agar yang dikedepankan adalah rasa keadilan. Polisi bukanlah mesin atau robot yang menegakan aturan, karena dibalik aturan itu ada nilai-nilai filosofis yang harus membentengi polisi bertindak. Melumpuhkan setiap pelaku kejahatan dengan senjata api, merupakan perbuatan yang bisa dicegah. Senjata api bukan untuk memberikan rasa sakit kepada masyarakat tetapi melindungi polisi ketika ada ancaman yang membahayakan jiwanya. Menahan seseorang hanya diperlukan sebagai upaya terakhir jika tersangka memang betul-betul akan melarikan diri, mengulangi kejahatan atau menghilangkan barang bukti, jika alasan-alasan tersebut tidak berdasar maka tidak diperlukan penahanan.
Untuk jangka panjang, revisi R-KUHAP mendesak dilakukan dan menata peran polri dengan menggabungan dua pendekatan tersebut. Harus ada pembatasan kewenangan polisi. Membatasi bukan berarti memangkas kewenangan, tetapi lebih kepada melakukan kontrol atas kewenangan yang melampaui batas. Harus ada keterlibatan pengadilan atau hakim komisioner ketika polisi akan menggunakan kewenangan untuk menahan. (***)
Published at :