PASAL 2 DAN 3 UU TIPIKOR DIBEDAH DI ‘JENTERA LURING’
Vidya Prahassacitta, dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, pada tanggal 21 Februari 2017 diundang menjadi narasumber dalam acara Bincang Jentera Luring atau Luar Jaringan (offline)#1 dengan tema “Membongkar Putusan MK tentang Pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999”. Acara bertempat di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Dalam kesempatan tersebut Vidya memaparkan makalahnya yang berjudul “Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, Solusi Atau Permasalahan Hukum Baru? Suatu Catatan Atas Penerapan Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Dalam penjelasannya ia menyatakan bahwa penghilangan kata “dapat” tidak serta-merta menghilangkan masalah, justru berpotensi menimbulkan masalah baru. Menghilangkan kata “dapat” berarti mengubah tindak pidana formil—yang mementingkan pembuktian perbuatannya—menjadi tindak pidana materil—yang mementingkan akibat kerugian keuangan negara. Penyidik akan kesulitan dalam menindak kasus korupsi karena harus terlebih dulu menentukan kerugian keuangan negaranya. Kalaupun dapat dihitung kerugian keuangan negara pada saat penyidikan, tetapi tidak sama dengan pembuktian di pengadilan, bagaimana kelanjutannya? Apakah terdakwa masih dapat dinyatakan memenuhi unsur “merugikan keuangan negara”? Unsur yang seharusnya dibuktikan dalam tindak pidana korupsi, yakni unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum justru menghilang. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjawab persoalan perbedaan penafsiran mengenai unsur yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, justru semakin mengaburkan unsur pasal itu.
Hadir pula sebagai pembicara dalam kesempatan tersebut empat narasumber lainnya, yaitu I Nyoman Wara (auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan), Dedeng Hidayat (Kepala Satuan Hukum Korporat PT Perusahaan Listrik Negara Persero; Kantor Pusat), serta Febri Diansyah (Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi) Selain itu turut hadir untuk memberikan testimoni atas permasalahan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: Hotasi D.P. Nababan sebagai mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines. Pada perkata tindak pidan korupsi dengan nama terdakwa Hotasi D.P Nababan tersebut, Majelis Hakim tingkat pertama membebaskan Hotasi dari dakwaan jaksa atas Pasal 2 subsidair Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Majelis hakim menyatakan niat jahat (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi secara melawan hukum tidak terbukti. Atas putusan itu, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang mana terdakwa dinyatakan bersalah oleh majelis hakim kasasi. Atas putusan kasasi itu, terdakwa mengajukan permohonan peninjauan kembali, tetapi ditolak hakim. Terdakwa tetap dinyatakan bersalah karena merugikan keuangan negara, walaupun keberadaan niat jahat untuk memperkara diri secara melawan hukum dipertanyakan.
Dalam acara ini, beberapa mahasiswa peserta program studi S-1 Hukum BINUS juga ikut hadir. Mereka menjadi peserta aktif dalam acara Bincang Jentera Luring ini.(***)