KOLOKIUM 2nd IP-SCHOLAR ASIA 2017
Acara kolokium pengajar HKI ASIA yang kedua “2nd IPR Scholar” kali ini diselenggarakan di Singapura. Salah satu dosen Business Law – Bambang Pratama berkesempatan hadir untuk mempresentasikan salah satu temuan disertasinya yang diberi judul “Information Property Right in Cyberspace”. Acara kolokium ini diselenggarakan pada tanggal 23 – 24 Februari di Singapore Management University dan dihadiri oleh para pengajar hukum kekayaan intelektual dari berbagai negara. Selain dari dosen, mahasiswa klub peminatan hukum kekayaan intelektual business law juga hadir pada acara ini, diantaranya: Juvina Jasmine Salsabila, Muhammad Sepriyani, Baginda Rayhand Maulana, Sonia Saraswati, Britania Hanif Putri, dan Soraya Indah Ayu Rahmani Fadli sebagai ketua Himslaw. Kehadiran mahasiswa business law ini diinisiasi ole Soraya Indah sebagai ketua Himslaw dan Muhammad Sepriyani sebagai ketua klub peminatan hukum kekayaan intelektual untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dan belajar hukum di oleh para akademisi kampiun di bidang hukum kekayaan intelektual dari berbagai negara.
Ada banyak topik-topik menarik untuk bisa dikembangkan dan diadopsi ke dalam sistem hukum kekayaan intelektual Indonesia. Meski demikian, beberapa topik global yang menarik untuk dapat dikembangkan ke dalam konteks Indonesia dengan kondisi level playing field yang berimbang antara lain:
Pertama: Gerakan “Open Science” yang dilakukan oleh pemerintah India dengan cara merevisi undang-undang hak cipta di negaranya. Open Science adalah gerakan untuk membuka akses seluas-luasnya terhadap karya-karya penelitian yang dihasilakn oleh dosen dan peneliti agar dapat dipergunakan oleh masyarakat secara luas. Gerakan Open Science menjadi penting karena perlindungan hak cipta membatasi akses masyarakat untuk dapat menggunakan ilmu pengetahuan. Umumnya, para peneliti dan dosen sangat senang jika hasil penelitiannya didiseminasikan secara luas, tetapi seringkali para penerbit (jurnal atau buku) membebankan biaya kepada penulis dan pengakses. Hal ini menjadi ironi jika publikasi yang ditawarkan berbentuk digital, karena biaya untuk menerbitkan publikasi digital secara common sense lebih murah dibandingkan dengan biaya cetak. Oleh sebab itu, gerakan Open Science ini menjadi penting untuk bisa didorong oleh pemerintah, sehingga karya ilmiah tidak dijadikan komodifikasi.
Kedua; mengoptimalkan budaya lokal dengan kerangka hukum kekayaan intelektual, baik itu indikasi geografis ataupun hak cipta. Salah satu negara yang dicontohkan dalam kolokium ini adalah Thailand. Hal yang menarik dan tidak terpikirkan dalam mengembangkan budaya lokal adalah dengan menerapkan pembelajarak Clinical Legal Studies di jurusan hukum untuk terjun langsung ke lapangan. Cara advokasi mungkin saja cara yang konvensional yang sering dilakukan oleh jurusan hukum. Tetapi menariknya, inovasi pembelajaran yang dikembangkan di Thailand adalah mengenali kebutuhan masyarakat setempat dan membangun komunitas untuk mengembangkan dan melindungi budaya lokal mereka. Selain itu, temuan menarik yang di dapat dari sebagian masyarakat tradisional Thailand adalah kebutuhan mereka dalam komersialisasi budaya lokal mereka bukan untuk uang. Kebutuhan masyarakat tradisional Thailand ini antara lain adalah kesenangan berbagi dengan komunitas lainnya, penghormatan bagi masyarakat, dan pengakuan akan keberadaan mereka, karena pola pikir mereka bukanlah kapitalisme, tetapi kebersamaan dalam masyarakat. Dari sisi instrumen hukum untuk dapat menjalankan program perlindungan budaya lokal, Thailand menerbitkan undang-undang Intangible Heritage Act, 2015. Dengan cara demikian, diharapkan budaya tradisional Thailand bisa terus dipertahankan dan dilindungi oleh hukum.
Ketiga; fenomena virtual reality yang menjadi topik disertasi mahasiswa program doktor dari China. Kajian hukum tentang virtual reality menjadi menarik untuk dibahas karena tren perusahaan teknologi informasi mengarah kepada teknologi virtual reality. Selain itu, fenomena virtual reality ini tidak bisa semata-mata dilindungi oleh rezim hukum hak cipta, karena kompleksitas teknologinya. Meski saat ini sudah ada beberapa gerakan tentang perlindungan virtual reality, akan tetapi ke depannya diperlukan sinergitas antar negara karena ruang dari virtual reality ini pada prinsipnya borderless.
Ketiga poin di atas memang saat ini sedang berkembang di beberapa negara dan menjadi kajian yang cukup hangat didiskusikan oleh para akademisi secara bernas. Belajar dari fenomena dunia, para pemerhati hukum kekayaan intelektual perlu menyadari bahwa topik tentang gerakan Open Science, perlindungan budaya tradisional, dan virtual reality masih sangat terbuka untuk didekati dengan metode yang berbeda-beda, tidak hanya yuridis normatif. Harapannya di masa mendatang para pencinta dan pemerhati hukum kekayaan intelektual menjadi siap menghadapi tantangan hukum global. (***)