SEKILAS PERIHAL HAK ANGKET DPR
Oleh SITI YUNIARTI (Februari 2017)
Hak angket merupakan kewenangan Dewan Perawakilan Rakyat (DPR) yang diberikan oleh UUD 1945, melalui Pasal 20A ayat (2) Amandemen Ke-2 UUD 1945, bersama dengan hak interpelasi serta hak menyatakan pendapat. Semula, implementasi hak angket diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 8/PUU-VIII/2010 karena merupakan produk UUDS 1950 sehingga tidak sejalan dengan UUD 1945. Selanjutnya, implementasi hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai “UU MPR,DPR & DPRD”).
Hak angket, hak menyatakan pendapat serta hak interpelasi merupakan salah satu bentuk pengawasan legislatif atas kebijakan eksekutif, selain bentuk pengawasan lainnya seperti rapat kerja komisi antara DPR dan Pemerintah. Berikut adalah masing-masing pengertian dari hak angket, hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat:
|
|
|
Hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. | Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. | Hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. |
Ketiga hak di atas dapat pula diajukan oleh DPR sehubungan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang DPR dalam hal pejabat pemerintah tidak memenuhi panggilan DPR untuk hadir pada rapat DPR setelah dipanggil secara tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3) UU MPR, DPR & DPRD serta dalam hal rekomendasi DPR melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara tidak dilakukan oleh pejabat pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (3) UU MPR, DPR & DPRD.
Dalam hal usulan hak angket disetujui oleh rapat paripurna DPR, dibentuk panitia angket yang bertugas untuk melakukan penyelidikan terhadap materi yang diajukan. Panitia angket wajib diumumkan dalam Berita Negara. Selanjutnya, terkait dengan hasil penyelidikan panitia angket, panitia angket harus melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. Untuk selanjutnya, rapat paripurna akan mengambil putusan terhadap laporan panitia angket tersebut. Dalam hal, rapat paripurna DPR menyatakan bahwa kebijakan pemerintah melanggar ketentuan perundang-undangan, maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat untuk selanjutnya dibentuknya suatu panitia khusus.
Hasil dari panitia khusus yang diterima rapat paripurna DPR terkait dengan alasan pengajuan hak menyampaikan pendapat dalam butir (a) dan (b) pada tabel di atas, maka DPR akan menyampaikan pendapatnya kepada Pemerintah. Namun, apabila materi yang disampaikan terkait dengan butir (c) pada tabel di atas, DPR akan menyampaikan pendapatnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan. Dalam hal Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pendapat DPR terbukti, maka DPR akan menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket telah beberapa kali digulirkan oleh DPR kepada Pemerintah. Mengutip hasil penelitian Wawan Ichwanudin dalam tulisan beliau dengan judul “Absennya Fungsi Pengawasan DPR Era Reformasi”, pada periode 1999-2004 ada sembilan isu yang diusulkan hak interpelasi dan hak angket, dimana sebagian diterima, sebagian ditolak atau tidak berlanjut. Adapun pada periode 2004-2009, dari dua belas usulan hak angket yang diajukan, hanya empat usulan yang diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan enam usulan ditolak, dan sisanya dua usulan kandas di tengah jalan atau tidak berlanjut. Usulan hak angket yang disetujui menjadi hak angket DPR pada periode tersebut, antara lain: (1) usul hak angket atas Penjualan Tanker Pertamina; (2) Penyelenggaraan Ibadah Haji; (3) Kenaikan Harga BBM (II); dan (4) Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Legislatif 2009. Sementara itu, usul hak angket yang ditolak di antaranya adalah: (1) Angket Kenaikan Harga BBM (I); (2) Lelang Gula Impor Ilegal; (3) Kredit Macet Bank Mandiri; (4) Impor Beras; (5) Penunjukan ExxonMobil Ltd. sebagai Pimpinan Operator Lapangan Minyak Blok Cepu; (6) Transfer Pricing PT Adaro Indonesia. Sisanya, yakni Angket Penyelesaian KLBI/BLBI dan Pilkada Maluku Utara kandas alias prosesnya berhenti di tengah jalan.Sedangkan, sampai dengan akhir tahun 2011, ada dua kasus angket yang diajukan DPR Periode 2009-2014, yaitu tentang penyelamatan (bailout) Bank Century dan mafia perpajakan[i].
Pada periode 2017 ini, kiranya DPR bermaksud untuk menambah daftar hak angket dengan pengajuan isu perihal pengaktifan kembali Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama yang mana pada saat bersamaan masih menyandang status sebagai tersangkat terkait kasus dugaan penistaan agama yang masih berjalan sampai dengan saat ini. Mari kita lihat bersama kelanjutan dari usulan isu hak angket tersebut. (***)
REFERENSI:
[i] Wawan Ichwanudin,” Absennya Fungsi Pengawasan DPR Era Reformasi”, (Online) tersedia di: http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jpp/article/viewFile/233/107
Published at :