MENGAPA HARUS TERBUKA DI PASAR MODAL?
Oleh AGUS RIYANTO (Februari 2017)
Keterbukaan informasi adalah karakteristik tersendiri di Pasar Modal. Keterbukaan dimulai ketika suatu perusahaan hendak menjadi perusahaan terbuka, maka perusahaan [yang semula] tertutup itu wajib menyerahkan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam-LK. Pernyatan pendaftaran adalah sekumpulan dokumen yang menyatakan kehendak perusahaan untuk melakukan penawaran umum. Dokumen-dokumen tersebut mengatur keterbukaan informasi perusahaan dalam rangka menawarkan efek kepada masyarakat. Informasi dimaksud adalah informasi yang memiliki nilai atau fakta material.
Sekalipun demikian, informasi tidak terbatas kepada nilai atau fakta material saja, tetapi juga harus memuat beberapa pendapat dan opini profesi penunjang di Pasar Modal (akuntan publik, konsultan hukum, penilai, dan notaris) untuk memperoleh objektivitas penilaian. Akuntan publik adalah profesi yang bertugas memberikan informasi kebenaran tentang laporan keuangan perusahaan. Konsultan hukum berkewajiban memperjelas aspek legalitas perusahaan, termasuk, izin usaha, bukti kepemilikan dan perikatan dengan pihak ketiga. Notaris berwenang membuat akta-akta perubahan anggaran dasar, perjanjian dan pernyataan yang dibuat pelaku di Pasar modal, terutama dalam rangka go publik. Penilai bertugas menerbitkan dan menandatangani laporan penilaian dari nilai aktiva, yang disusun berdasarkan pemeriksaan berdasarkan keahlian penilai. Oleh karena itu, maka perusahaan bertanggung-jawab terhadap ketelitian, kecukupan dan kejujuran serta kebenaran terhadap seluruh informasi yang disampaikan kepada masing-masing profesi tersebut.
Kewajiban keterbukaan informasi tidak terbatas pada saat penawaran umum saja, tetapi terus berlanjut setelah itu dengan ketentuan sepanjang perusahaan tersebut masih bestatus sebagai perusahaan publik tetap terikat kepada kewajiban keterbukaan informasi. Berbeda hal apabila berubah kembali menjadi perusahaan tertutup, maka kewajiban untuk terbuka tidak terlalu ketat. Hal ini, berarti bahwa keterbukaan informasi adalah konsekuensi logis yang harus diterima dan wajib dilakukan oleh perusahaan terbuka pasca Bapepam-LK memberikan pernyataan effektif kepadanya. Informasi yang harus dibuka adalah informasi penting dan material yang berpengaruh terhadap pergerakan harga saham. Hal itu, apabila terjadi gugatan dari pihak ketiga, penemuan baru, perolehan dan kehilangan kontrak, terjadi perselihan dengan karyawan hingga terjadi kebakaran terhadap gedung, pabrik dan instalasi perusahaan dan lain-lain. Untuk itu, maka informasi yang disajikannya dilarang mengandung informasi menyesatkan dan harus menggambarkan keadaan sesungguhnya, termasuk risiko berinvestasi di Pasar Modal.
Kebutuhan terhadap informasi bertambah mendesak dalam hal terjadi aksi korporasi. Aksi korporasi adalah aktivitas lanjutan perusahaan publik, yang dapat berdampak terhadap kepemilikan atau jumlah sahamnya investor atau harga sahamnya itu sendiri, yang bergerak di lantai bursa. Tujuan aksi korporasi adalah untuk mencapai sasaran tertentu, seperti : meningkatkan modal perusahaan, meningkatkan likuiditas perdagangan saham,serta sasaran lainnya. Aksi korporasi mengacu kepada masalah saham bonus, dividen tunai, waran, dividen saham, stock split (pemecahan saham), rights issue (penawaran saham terbatas). Untuk dapat mengambil keputusan terhadap rencana aksi korporasi perusahaan publik tersebut, maka pemegang saham membutuhkan keterbukaan informasi yang lengkap rinci, dan detail sebelum dilakasanakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan maksud menyetujui atau menolak persetujuan aksi korporasi itu.
Dengan mewajibkan keterbukaan informasi sebelum, selama dan sesudah perusahaan yang tertutup dan menjadi perusahan terbuka, dapatlah ditarik essensi dasar sesungguhnya dan dasar pemikiran dari keharusan tersebut. Pertama, pemodal atau investor di Pasar Modal pada umumnya tidak memilki kemampuan dan keahlian untuk meneliti atau mendalami kondisi perusahaan publik yang akan mengeluarkan atau menerbitkan efek. Kedua, pemodal atau investor kurang mempunyai kemampuan untuk mencari, mengolah dan menyajikannya informasi perusahaan publik yang melakukan penawaran umum. Hal ini, karena ketiga dari pekerjaan tersebut tidaklah mudah dan murah, karena untuk melakukannya membutuhkan keahlian analisis tinggi dan biaya yang tidak sedikit. Ketiga, tidak dari semua pemodal atau investor mengetahui dan mengerti regulasi yang ada di Pasar Modal yang demikian banyak dan tidak mudah memahaminya. Kelemahan ini berpotesi terjadi salah dalam mengambil keputusan investasi. Hal ini, karena keputusan perusahaan publik itu berangkat dari regulasi yang ada di industri ini, sehingga keputusan yang tidak tepat dapat merugikan pemodal atau investor. Melalui kekurangan dari ketiga hal tersebut, maka keterbukaan informasi adalah jalan keluar alternatifnya. Hal itu semua dapat dilakukan dengan mewajibkan kepada setiap perusahaan publik melakukan keseragaman informasi dengan keterbukann terhadap semua pemegang saham dan pemodal atau investor di Pasar Modal. Dengan jalan demikian, maka dapat tercapai penyajian informasi yang meluas dan menyebar, maka cara informasi yang disajikannya menjadi pilihan yang murah dan terjangkau oleh perusahan publik dan hal ini juga akan menguntungkan pemodal atau investor. Pada titik bagian akhirnya, keterbukaan informasi akan bermuara kepada kerangka pijakan dalam bentuk perlindungan kepada para pemodal atau investor yang telah mempercayakan kepada perusahaan publik. Kepercayaan dilarang untuk disalahgunakan. Dengan medium kepercayaan ini, maka kepastian terhadap perlindungan hukum menjadi panduan pemodal atau investor di dalam membuat keputusan yang tepat melepas maupun menahan portofolio investasinya. Sebuah ratio decidendi yang dapat dimengerti bahwa di Pasar Modal keterbukaan informasi adalah mutlak harus ada. Di dalam hal terjadi ketertutupan, maka segala bentuk kepentingan jahatnya berada di puncak kekuatannya. (***)
REFERENSI:
- Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, PT Tata Nusa, Jakarta, 2006.
- Rifqi S. Assegaf dan Josi Khatarina, Membuka Ketertutupan Pengadilan, Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Pengadilan (LEIP), Jakarta, 2005.