HUBUNGAN MASYARAKAT DENGAN HUKUM
Oleh SHIDARTA (Februari 2017)
Ada tiga tesis besar yang memberikan penjelasan terkait hubungan antara masyarakat dan hukum. Tulisan singkat di bawah ini akan memberi paparan tentang tiga tesis ini.
Pertama, tesis kaca atau cermin (mirror thesis) yang menyatakan hukum positif yang berlaku di suatu negara, sepenuhnya mencerminkan apa yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya. Jadi, masyarakatlah yang menentukan hukum. Jika sistem kemasyarakatan suatu bangsa bobrok, maka demikianlah wajah hukumnya. Sebaliknya, jika sistem kemasyarakatannya sehat, maka sehat pula hukumnya. Durkheim adalah salah satu tokoh utama dari tesis cermin ini. Dalam konstelasi aliran-aliran pemikiran hukum, Mazhab Sejarah juga termasuk pendukung tesis ini, yakni dengan menyatakan bahwa hukum itu sepenuhnya berasal dari masyarakat. Oleh sebab itu, tidak perlu ada upaya pembentukan hukum yang secara terstruktur dijalankan oleh negara karena hukum tinggal mengikuti apa yang sudah terjadi dan berlaku di masyarakat.
Tesis kedua adalah tesis kaca selektif (selective mirror thesis). Menurut tesis ini, hukum sudah tidak lagi orisinal mengikuti apa adanya pola-pola perilaku yang terjadi di masyarakat. Hukum sudah didesain menurut kepentingan penguasa, sehingga ada pola yang diambil (jika menguntungkan kelas penguasa) dan ada pola yang ditinggalkan (jika tidak menguntungkan). Jadi, penguasa adalah pemegang kekuasaan yang menyeleksi hukum. Karl Marx percaya dengan tesis ini.
Tesis ketiga berasal dari Max Weber yang meyakini bahwa ada proses interaktif antara masyarakat dan hukum. Jadi, tidak selalu masyarakat yang mempengaruhi hukum, melainkan hukumpun akan mempengaruhi masyarakat. Tesis ini dikenal dengan tesis kaca interaktif (interactive mirror thesis).
Saya menyakini bahwa tesis kaca interaktif ini adalah tesis yang paling masuk akal jika kita ingin menggambarkan hubungan masyarakat dengan hukum pada proses pembentukan dan penerapan hukum di era sekarang. Hampir pasti, tidak ada satupun negara di dunia ini yang memfungsikan sistem hukum positifnya sekadar sebagai alat penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan sebagai alat kontrol sosial (social control). Sistem hukum positif juga pasti difungsikan untuk merekayasa masyarakat (social engineering).
Apabila fungsi hukum sudah sampai pada tahap rekayasa masyarakat, maka dapat dipastikan sistem hukum positif suatu negara sudah memiliki ekspektasi ke depan, tidak lagi bercermin ke belakang. Hukum, dengan demikian, dijadikan alat untuk mengajak masyarakat berubah. Perubahan itu didesain secara sengaja. Bukan perubahan yang berjalan alamiah menurut kehendak masyarakat.
Tentu di sini terkandung bahaya apabila penguasa tidak beritikad baik tatkala ia membuat desain hukum untuk diberlakukan pada masyarakatnya. Hal ini sebenarnya sudah mulai diingatkan oleh Marx juga, karena proses seleksi itu tidak pernah lagi netral dan objektif. Apalagi jika penguasa negara diberi kekuasaan absolut, sehingga penyalahgunaan kekuasaan saat membuat seleksi, menjadi keniscayaan untuk terjadi.
Gagasan untuk mengontrol pembentukan dan penerapan hukum akhirnya menjadi wacana yang ramai diperbincangkan pada era modern dan pasca-modern. Demokrasi dijadikan pilihan. Rakyat diberi akses untuk ikut berperan dalam proses pembentukan dan penerapan hukum itu. Namun, akses yang terlalu luas juga bisa berbahaya karena bakal menimbulkan tirani oleh pihak mayoritas terhadap minoritas. Hal ini terutama akan sangat berbahaya ketika kualitas demokrasi warga masyarakat masih rendah atau sebaran kualitasnya tidak merata, misalnya karena faktor ekonomi dan pendidikan. Akibatnya, demokrasi hanya menjadi sekadar kosmetik untuk menyembunyikan praktik jual beli suara. Kekuasaan diperoleh dengan cara-cara yang menghalalkan segala cara. (***)
Published at :