OTOKRITIK LULUSAN PERGURUAN TINGGI DI TENGAH ARUS GLOBALISASI
Oleh REZA ZAKI (Februari 2017)
Dalam tajuk harian Kompas, 13 Februari 2017, dipaparkan mengenai kegamangan Indonesia yang berpotensi kekurangan pasokan tenaga kerja profesional di level manajerial atau menengah ke atas. Padahal jumlah tenaga kerja Indonesia bisa dibilang cukup banyak. Lalu, apa masalahnya?
Riset Wills Towers Watson tentang Talent Management and Rewards yang memotret ketimpangan antara proyeksi permintaan dan ketersediaan tenaga kerja di Indonesia tersebut digelar sejak 2014. Menurut Direktur Konsultan Willis Tower, Lilis Halim, merujuk riset tersebut, lulusan perguruan tinggi susah terserap di industri karena tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan perusahaan. Misalnya, mereka ditengarai tak punya cukup kemampuan berpikir kritis. Padahal, kemampuan tersebut dibutuhkan untuk bisa bekerja di jajaran manajemen perusahaan.
Hasil riset Boston Consulting Group (BCG) dan World Federation of People Management Associations (WFPMA) yang dipublikasikan pada 2013, memunculkan pula proyeksi soal ketimpangan kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja tersebut, terutama di level manajerial. Menurut riset tersebut, industri di Indonesia akan kekurangan hingga 56 persen tenaga kerja profesional di level manajerial pada 2020. Padahal, riset yang sama memperkirakan, pada tahun itu ada lonjakan kebutuhan SDM setingkat manajer sampai 55 persen.
Menurut riset ini, industri Indonesia pada tahun 2020 akan tumbuh pesat, terutama yang berbasis jasa. Kebutuhan tenaga kerja juga ditengarai bakal naik di semua level, termasuk di tingkat pemula yang diperkirakan tumbuh hingga 17 persen dan manajemen senior yang naik sampai 6 persen. Dalam penjelasannya, riset ini mendapati kegagalan lembaga pendidikan menyediakan pasokan tenaga kerja profesional dan kompeten sebagai penyebab proyeksi kesenjangan kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja di Indonesia.
Komitmen Jasa di ASEAN
Untuk meningkatkan kerja sama di bidang perdagangan jasa antar negara anggota ASEAN (AMS), dibentuklah ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand oleh Menteri-menteri Ekonomi ASEAN. Liberalisasi perdagangan jasa di bawah kerangka AFAS dilaksanakan melalui putaran negosiasi setiap 2 tahun hingga 2015. Dari putaran-putaran perundingan dalam kerangka AFAS, dihasilkan suatu jadwal komitmen yang spesifik yang dilampirkan pada kerangka perjanjian. Jadwal ini sering disebut sebagai paket komitmen jasa.
Setelah enam putaran negosiasi, ASEAN telah menyelesaikandelapan paket komitmen AFAS yang merupakan konstribusi dari seluruh AMS secara progresif dan telah memperdalam tingkatan dan cakupan komitmennya untuk menghapuskan secara substansial hambatan-hambatan perdagangan jasa di kawasan Asia Tenggara, baik hambatan yang berbentuk tarif maupun non-tarif.
Komitmen tersebut mencakup liberalisasi jasa bisnis, jasa profesional, konstruksi, distribusi, pendidikan, jasa lingkungan, kesehatan, transportasi laut, telekomunikasi, dan pariwisata. Selain itu, terdapat juga empat paket komitmen pada jasa keuangan yang ditandatangani oleh Menteri-menteri Keuangan ASEAN dan enam paket pada transportasi udara yang ditandatangani oleh Menteri-menteri Transportasi ASEAN.
Berdasarkan roadmap liberalisasi perdagangan jasa terdapat empat sektor prioritas untuk diliberalisasi pada tahun 2010 (AFAS 8), yaitu transportasi, e-ASEAN, perawatan kesehatan dan pariwisata yang mencakup 80 subsektor. Pada AFAS 8, Indonesia telah memberikan fleksibilitas sebanyak 22 subsektor. Sektor yang telah diliberalisasi antara lain konstruksi, telekomunikasi, pendidikan dan pariwisata. Saat ini perundingan perdagangan jasa telah memasuki AFAS Paket 9. Pada tahun 2013, ditargetkan ASEAN dapat menyelesaikan AFAS 9 dengan 104 subsektor dalam sektor logistik untuk diliberalisasi, antara lain jasa pergudangan, pengepakan, kargo, kurir, dan jasa transportasi pengiriman barang. Tahun 2015 diharapkan liberalisasi telah mencakup semua sektor yang terdiri dari 128 subsektor (AFAS 10).
AFAS dibahas dalam forum Coordinating Committee on Services (CCS), di mana forum tersebut merupakan forum utama sektor jasa di luar jasa keuangan dan transportasi udara, yang mewadahi 155 subsektor jasa berdasarkan klasifikasi GATS W/120. Forum CCS mencakup perundingan di tingkat CCS Leader yang menentukan tahapan liberalisasi di negara anggota ASEAN berupa paket komitmen di bawah AFAS, pertemuan Kelompok Kerja Sektoral dan penyusunan Mutual Recognition Arrangements (MRA).
Persiapan bagi Indonesia
Sejumlah pasar jasa yang dibuka dalam kerangka ASEAN harus mendorong komitmen mutu SDM Indonesia terutama yang berasal dari tingkat perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri serta yang sudah tersertifikasi untuk bisa mengisi pasar tenaga kerja yang kompetitif ini. Minimnya daya kritis para lulusan perguruan tinggi bisa disebabkan kurangnya integrasi kampus dengan realitas sosial dan industri sehingga melahirkan jarak teori dan praktek dalam aktualisasi para sarjana.
Hal ini juga menjadi sorotan serius tidak hanya bagi perguruan tinggi di Indonesia, melainkan juga di ASEAN agar dapat memformulasi kapasitas mutu SDM perguruan tinggi yang siap menjadi aktor dalam liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN yang sudah dibuka sejak tahun 2015.(***)
Published at :