‘DOUBLE TRACK SYSTEM’ MENYULITKAN UPAYA PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA
Dosen Jurusan Hukum Bisnis BINUS Dr. Ahmad Sofian adalah salah satu dari sekitar 40 orang peserta yang hadir dalam pertemuan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tanggal 31 Januari 2017. Pertemuan tersebut diadakan dalam rangka mengembangkan kerangka hukum Rencana Pembangunan Menengan Nasional (RPJMN) perlindungan anak. Menurut kerangka acuan (term of reference) yang disampaikan kepada para peserta, pertemuan nasional ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam sasaran pengembangan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan anak, termasuk isu kunci. Tujuan kedua, menetapkan prioritas peraturan perundang-undangan dalam bidang perlindungan anak untuk dibahas pada tahun 2017.
Para peserta berasal dari berbagai lembaga pemerintah, lembaga internasional, lembaga negara, dan juga wakil-wakil organisasi masyarakat sipil. Ada empat pembicara kunci yang juga hadir yaitu Direktur Hukum dan Regulasi BAPPENAS, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Deputi Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A.
Dalam kesempatan ini Dr. Ahmad Sofian, SH, MA menyampaikan paparannya yang berjudul “Legal Review Perlindungan Anak di Indonesia”. Dalam presentasinya beliau menyatakan bahwa dalam konteks hukum perlindungan anak di Indonesia, ditemukan banyak problematika. Salah satu problemnya adalah konten dari norma atau pasal-pasal yang mengatur tentang kekerasan terhadap anak, eksploitasi anak, perlakuan salah pada anak dan penelantaran anak masih kabur, tidak memuat unsur-unsur delik yang bisa dibuktikan. Beliau juga mengkritik soal model perumusan delik dengan menggunakan double track system, sehingga menyulitkan masyarakat memahami pasal-pasal tersebut. Ditemukan juga rumusan pasal yang masih belum memenuhi standar internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Oleh karena itu beliau menyarankan agar perlu dilakukan revisi atas rumusan pasal yang masih belum memenuhi teori hukum pidana terutama terkait dengan unsur-unsur pasal. Revisi ini tidak dilakukan secara parsial tetapi menyeluruh sehingga Indoensia memiliki sebuah undang-undang perlindungan anak yang kuat yang mampu menghapuskan praktik-praktik kekerasan, eksploitasi, deskriminasi, perlakuan salah dan penelantaran terhadap anak. (***)