DAMPAK PUTUSAN MK NO. 60/PUU/XII/2015 BAGI SUBJEK PERKAWINAN CAMPURAN
Oleh NIRMALA (Januari 2017)
Selama bertahun-tahun subjek perkawinan campuran (antara WNI dan WNA) di Indonesia menghadapi permasalahan yang cukup pelik terkait hak-hak mereka, terutama dalam hukum, seperti masalah izin tinggal pasangan suami/istri, kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran, kepemilikan aset tidak bergerak berupa tanah, rumah dan bangunan. Namun hukum telah berkembang sedemikian progresifnya ke arah yang lebih baik sehingga memberikan kepastian hukum lebih bagi subjek perkawinan campuran dan keluarganya.
Ada dua fenomena yang signifikan dalam hal menjamin hak-hak subjek perkawinan campuran. Yang pertama adalah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. UU ini merupakan terobosan besar dan memberi kemudahan, antara lain jaminan kewarganegaraan ganda bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran, Pasangan Warga Negara Asing (WNA) berhak mendapatkan Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Izin Tinggal Tetap (ITAP) tanpa disyaratkan memiliki pekerjaan di Indonesia, dimana suami/istri WNI dapat menjadi penjamin.
Fenomena kedua adalah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU/XII/2015 tanggal 27 Oktober 2016. Putusan MK ini menjadi jalan keluar efektif atas segala permasalahan dan ketidakadilan yang dihadapi subjek perkawinan campuran menyangkut hak kepemilikan atas tanah/bangunan berupa Hak Milik dan Hak Guna Bangunan (HGB).
Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) mengatur bahwa “hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik” atau prinsip nasionalitas (kebangsaan). Selanjutnya Pasal 36 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa “yang dapat mempunyai HGB ialah (a) Warga Negara Indonesia (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Terkait kepemilikan tanah dan bangunan subjek perkawinan campuran, di dalam kenyataannya, ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) selalu dikaitkan dengan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1). Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan: “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Dikaitkannya Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) UUPA dengan Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengakibatkan anggapan bahwa apabila WNI yang kawin dengan WNA membeli tanah/bangunan berupa Hak Milik atau HGB, maka WNA tersebut dengan serta merta dan seketika ikut memiliki setengah bagian dari Hak Milik atau HGB yang dibeli oleh WNI tersebut. Hal ini dikecualikan jika subjek kawin campur tersebut membuat perjanjian perkawinan atau perjanjian pisah harta sebelum perkawinan dilangsungkan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan. Oleh karenanya, dengan adanya perjanjian kawin atau perjanjian pisah harta, maka tidak ada harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan, di mana tidak ada percampuran harta antara suami dan istri, masing-masing memiliki harta terpisah. Namun, bila tanpa adanya perjanjian kawin pisah harta, maka seluruh WNI yang kawin dengan WNA, akan kehilangan hak dan kesempatan untuk mempunyai Hak Milik dan HGB seumur hidup.
Di dalam kenyataannya, banyak sekali bahkan sebagian besar subjek kawin campur tidak membuat perjanjian kawin. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain ketidaktahuan bahwa tanpa adanya perjanjian kawin/pisah harta, maka WNI subjek perkawinan campur tidak dapat memiliki Hak Milik atau Hak Guna Bangunan. Juga ada faktor budaya Timur yang memandang perkawinan adalah bersatunya dua pribadi tanpa mempermasalahkan harta. Faktor lain lagi adalah karena pada saat melangsungkan perkawinan, usia WNI tersebut masih muda dan belum mempunyai harta sehingga menganggap belum perlu untuk membuat perjanjian kawin pisah harta. Faktor-faktor tersebut menyebabkan banyak subjek perkawinan campur tidak membuat perjanjian kawin/pisah harta dan akhirnya ketika akan melakukan transaksi membeli tanah/bangunan dengan hak milik dan HBG, mereka menghadapi masalah.
Ada beberapa contoh permasalahan yang dihadapi, misalnya: pada saat membeli tanah/bangunan berupa hak milik dan HGB, subjek perkawinan campur ditanya oleh notaris apakah mereka mempunyai perjanjian kawin/pisah harta, atau ketika mengajukan KPR/KPA. Jika tanpa perjanjian kawin/pisah harta, permohonan KPR/KPA mereka akan ditolak oleh pihak bank, pada saat menjual tanah/rumah yang dibeli pada saat sebelum perkawinan, yang merupakan harta bawaan dan bukan harta gono-gini, Notaris meminta Surat Persetujuan dari pasangan WNA. Bahkan tidak jarang untuk balik nama Hak Milik karena warisan orangtua, Notaris menanyakan perjanjian kawin pisah harta, jika tidak memiliki perjanjian kawin pisah harta, maka yang bersangkutan tidak dapat mewarisi harta peninggalan orangtuanya, meskipun harta warisan bukanlah objek harta bersama (gono-gini). Dalam kenyataannya, banyak kerancuan an ketidakadilan yang dihadapi oleh subjek perkawinan campuran.
Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU/XII/2015 tanggal 27 Oktober 2016, yang mengabulkan sebagian dari permohonan salah seorang subjek perkawinan campur, berbagai permasalahan diatas terselesaikan. Di dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (1), frasa “…sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (3), dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian” bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Dengan demikian, frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan. MK lalu memutuskan sebagai berikut:
- Bahwa Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;
- Bahwa Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
- Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dinyatakan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
Dengan demikian, sejak keluarnya putusan MK ini, maka semua subjek perkawinan campur yang tidak membuat perjanjian kawin pisah harta sebelum perkawinan dilangsungkan, kini dapat membuat perjanjian kawin pisah harta selama masa perkawinan dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau notaris. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (berlaku surut). (***)
Leave Your Footprint
-
octha izin bertanya bagaimana Status Hukum Hak Milik Atas Tanah di Indonesia yang di Wariskan Kepada Anak dalam Perkawinan Campuran
-
business-law Status hukum hak atas tanah memang bisa bergantung pada status subjek yang memilikinya. Anak yang lahir dari perkawinan campuran adalah ahli waris yang sah dari harta orang tuanya. Sepanjang anak yang bersangkutan berkewarganegaraan Indonesia, maka ia tetap berhak mendapatkan warisan atas tanah berstatus hak milik, sama seperti WNI pada umumnya. Jadi, tidak ada perbedaan di sini apakah ia anak dari hasil perkawinan campuran atau bukan campuran. Ukurannya adalah kewarganegaraan yang disandangnya.
-