ASAS UMUM PERMERINTAHAN YANG BAIK
Oleh SITI YUNIARTI (Januari 2017)
Pada awal kelahirannya, AUBP muncul sebagai reaksi atas penggunaan kewenangan bebas (freis ermesen) oleh pemerintah dalam rangka menjalankan tanggung jawabnya sebagai konsekuensi penerapan konsepsi Negara Hukum Kesejahteraan (welfare state), dimana AUPB berperan sebagai sarana perlindungan bagi warga negara terhadap tindakan pemerintah. Dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan AUBP tersebar di beberapa ketentuan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU TUN) dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara (UU Administrasi Negara).
AUBP diberikan definisi dalam Pasal 1 ayat (17) UU Administrasi Negara sebagai “prinsip yang digunakan sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan dalam mengeluarkan Keputusan dan/atau Tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Dalam UU TUN, AUBP ditempatkan sebagai salah satu alasan pengajuan gugatan oleh seorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).Dalam UU Administrasi Negara, AUBP, bersama dengan peraturan perundang-undangan, ditempatkan sebagai acuan pemerintah dalam melakukan tindakan dan/atau putusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (3) UU Administrasi Negara sebagai berikut:
Pasal 8 ayat (2)
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib berdasarkan: (a) peraturan perundang-undangan; dan (b) AUPB.
Pasal 9 ayat (3)
Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
Perihal asas-asas dalam AUBP, baik dalam UU TUN maupun UU Administrasi Negara, dicantumkan secara eksplisit sebagai berikut:
Undang-Undang TUN:
ASAS-ASAS |
Undang-Undang Administrasi Negara:
ASAS-ASAS |
1. kepastian hukum;
2. tertib penyelenggaran negara; 3. keterbukaan; 4. proporsionalitas; 5. profesionalisme; dan 6. akuntabilitas. Sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi. |
1. kepastian hukum;
2. kemanfaatan; 3. ketidakberpihakan; 4. kecermatan; 5. tidak menyalahgunakan kewenangan; 6. keterbukaan; 7. kepentingan umum; dan 8. pelayanan yang baik.
|
Dalam UU Administrasi Negara, dimungkinkan untuk munculnya asas-asas lain dalam AUBP sepanjang asas-asas lain tersebut dijadikan dasar penilaian hakim yang tertuang dalam putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, hakim dan AUBP memiliki hubungan yang unik. Di satu sisi, AUPB merupakah alat uji yang digunakan hakim untuk menguji putusan dan/atau tindakan pemerintah. Di sisi lain, hakim merupakan “pencipta” AUPB melalui putusan-putusannya.
Perihal penerapan AUPB oleh hakim sebagai alat uji atas putusan dan/atau tindakan pemerintah, menarik disimak adalah hasil penelitian sosio-legal dari program Judicial Sector Support Program (JSSP,2016) yang dipaparkan pada tanggal 24 Januari 2017. Tujuan penelitian adalah memahami bagaimana sesungguhnya praktik penggunaan AUPB dalam pengambilan keputusan oleh hakim di pengadilan-pengadilan tata usaha negara (PTUN) dengan menggunakan 5 (lima) kasus sengketa Tata Usaha Negara (TUN) sebagai metode untuk memahami putusan PTUN dan pemberlakukan doktrin AUPB dalam praktik. Bersumber pada Ringkasan Eksekutif penelitian yang dibagikan kepada peserta acara pemaparan, dari hasil penelitian terungkap bahwa ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi pemberlakuan AUPB , yakni antara lain keragaman pendapat hakim dalam menilai apakah AUPB adalah norma penguji tersendiri serta keragamanan pendapat terkait kewenangan hakim dalam menguji AUPB sebagaimana diuraikan di bawah ini. Adapun faktor internal lainnya tidak diuraikan dalam kesempatan ini.
Pada faktor keragaman pendapat hakim dalam menilai apakah AUPB adalah norma penguji tersendiri, berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah hakim PTUN, bahwa ketika hakim menerima dan memeriksa gugatan TUN, dirinya akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah KTUN tersebut melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak. Jika KTUN tersebut melanggar peraturan perundang-undangan, maka hakim tidak menelaah lebih jauh mengenai aspek pelanggaran AUPB-nya. Namun, dalam hal ini ternyata masih terdapat perbedaan. Sebagian hakim PTUN lainnya ternyata berpandangan bahwa AUPB akan tetap perlu ditelaah, melihat bagaimana Pejabat TUN menerapkan kewenangan diskresinya, yaitu ketika kebijakan tersebut dikeluarkan, apakah berdasarkan ketentuan yang sudah jelas, atau sebaliknya, kurang jelas aturannya.
Pada faktor keragamanan pendapat terkait kewenangan hakim dalam menguji AUPB, ada dua pandangan yang terjadi dalam praktik peradilan. Pertama, pandangan mengenai AUPB sebagai norma pengujian tersendiri, atau dalam arti sebagai tambahan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan pandangan kedua, lebih menempatkan hakim berdasarkan jabatannya (ex-officio) berwenang untuk menguji telah dipenuhinya AUPB atau harus berdasarkan dalil penggugat.
Mengacu pada hasil penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, keragaman pandangan dalam implementasi AUPB oleh hakim seharusnya dapat diminiminalisir, mengingat eksistensi AUPB telah memperoleh legitimasi formal, baik dalam UU TUN maupun UU Administrasi Negara. Keseragaman pemahaman mengenai implementasi AUPB sebagai alat uji atas tindakan dan/atau putusan pemerintah diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga negara. Terlebih saat ini bentuk implementasi tanggung jawab Negara dalam memajukan kesejahteraan umum warga negara semakin beragam, sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya persinggungan antara Negara dan warga negara. Pada akhirnya, diharapkan AUPB dapat digunakan secara maksimal untuk melindungi warga negara sebagaimana tujuan diadakannya. (***)