TATA CARA PENYELESAIAN PERKARA EKONOMI SYARIAH
Oleh Abdul Rasyid (Januari 2017)
Pada tanggal 22 Desember 2016 Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Perma ini lalu diundangkan pada tanggal 29 Desember 2016. Apabila kita menilik ke belakang, lahirnya Perma ini terkait erat dengan diperluasnya kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui perubahan UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pada tahun 2008 berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang menjadi sumber hukum materil para hakim di peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Berdasarkan pertimbangan di atas, muncul keinginan untuk membuat Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah (KHAES) sebagai hukum formil (hukum acara) dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Tim Pokja lalu dibentuk guna menyusun KHAES diketuai oleh Prof. Dr. Abdul Manan. KHAES direncanakan selesai dibuat pada tahun 2011 dan diundangkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung. Namun, dikarenakan beberapa kendala yang dihadapi maka tim Pokja belum bisa merealisasikan target. Menurut Prof. Abdul Manan Draft KHAES yang merupakan hasil pembahasan lima tahun yang lalu disepakati berubah menjadi Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah yang didasari semangat penyelesaian perkara ekonomi syariah yang cepat, sederhana dan biaya ringan. (Badilag 6/10/206). Berdasarkan penjelasan di atas, maka akan dijelaskan secara singkat beberapa poin penting yang diatur dalam Perma tersebut.
Pemeriksaan Perkara Ekonomi Syariah
Poin terpenting yang diatur dalam Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah adalah terkait dengan tata cara pemeriksaan perkara. Perma ini mengatur secara eksplisit bahwa perkara ekonomi syariah dapat diajukan dengan dua mekanisme, yakni melalui gugatan sederhana (small claim court) dan gugatan dengan acara biasa (lihat Pasal 2). Pengaturan ini pada prinsipnya membedakan tata cara pemeriksaan perkara dengan nilai objek materil yang nilainya kecil dan besar dengan tujuan supaya perkara ekonomi syariah dapat diselesaikan dengan cepat, sederhana dan biaya murah. Di samping itu, pembagian dua mekanisme tersebut dilakukan karena hukum acara perdata yang ada, seperti Reglemen Indonesia yang diperbarui Herzien Inlandsch Reglement, Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) tidak mengatur secara jelas tentang itu.
Terkait dengan tata cara pemeriksaan perkara dengan gugatan sederhana, Pasal 3 (2) Perma No. 14 Tahun 2016 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan perkara dengan acara/gugatan sederhana adalah “pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah dengan nilainya paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Selanjutnya, Pasal 3(3) menyatakan bahwa pemeriksaan perkara/gugatan sederhana tersebut merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung ini. Berdasarkan Pasal di atas, dapat dipahami bahwa perkara ekonomi syariah dengan nilai maksimal dua ratus juta rupiah dapat diselesaikan dengan tata cara sederhana. Pemeriksaan dengan acara sederhana harus selesai paling lama dua puluh lima hari sejak hari sidang pertama (Perma Nomor 2 Tahun 2015). Adapun perkara ekonomi syariah yang nilainya di atas dua ratus juta rupiah, diselesaikan dengan acara biasa yang dilakukan dengan berpedoman pada hukum acara yang berlaku (lihat Pasal 7 (1)).
Hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah harus hakim yang telah bersertifikasi Hakim Ekonomi Syariah sesuai dengan Perma Nomor 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. (Lebih lanjut baca tulisan penulis: Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah). Jika jumlah hakim yang bersertifikasi Hakim Economi Syariah belum mencukupi, maka dapat ditunjuk hakim yang telah mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah [Pasal 14 (2) Perma Nomor 14 Tahun 2016]. Hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang kecuali undang-undang menentukan lain. Satu dari tiga hakim tersebut menjadi hakim ketua. Dalam memutuskan perkara ekonomi syariah, selain memuat alasan dan dasar putusan, hakim juga harus memuat prinsip-prinsip syariah yang dijadikan sebagai dasar untuk mengadili. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa putusan benar-benar berdasarkan kepada prinsip syariah.
Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah
Diskusi mengenai peradilan mana yang berwenang mengeksekusi putusan arbitrase syariah, apakah peradilan agama atau peradilan negeri, masih terus menimbulkan perdebatan. Awalnya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Putusan Badan Arbitrase Syariah dinyatakan secara tegas bahwa pengadilan agama lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan badan arbitrase syariah jika tidak dilaksanakan secara sukarela berdasarkan permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Namun peraturan ini dianulir dengan direvisinya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 59 UU ini dalam penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa eksekusi putusan arbitrase, termasuk arbitrase syariah, dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Umum. Kemudian berdasarkan Pasal 59 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini, bulan Mei 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah. (Selanjutnya baca tulisan penulis tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Badan Arbitrase Syariah Nasional).
Terkait dengan pembahasan di atas, hadirnya Perma No. 14 Tahun 2016 telah mengubah kembali kewenangan dalam hal mengeksekusi dan membatalkan putusan arbitrase syariah yang mana pengadilan agama diberikan kewenangan untuk melaksanakannya dengan mengacu kepada pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (lihat Pasal 13 (2 & 3). Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka sudah tepat dan semestinya jika penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kewenangan absolut pengadilan agama sehingga wajar apabila hak untuk mengeksekusi atau membatalkan putusan arbitrase syariah terkait dengan perkara ekonomi syariah dilaksanakan oleh pengadilan agama bukan pengadilan negeri. Ke depan, aturan ini harus konsisten dilaksanakan dan tidak diubah kembali.
Fasilitas Elektronik
Demi mewujudkan proses penyelesaian perkara ekonomi syariah yang cepat, sederhana dan biaya ringan, Perma No. 14 Tahun 2016 telah mengadopsi metode yang cukup inovatif dengan menggunakan fasilitas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses beracara. Berbagai peraturan penggunaan alat teknologi dimasukkan dalam Perma agar bisa diimplementasikan denga baik. Sebagai contoh, terkait dengan pendaftaran, Perma memfasilitasi para penggugat untuk melakukan registrasi perkaranya tidak hanya melalui lisan atau tertulis dalam bentuk cetak saja, tapi juga dapat melalui elektronik (e-registration) [lihat Pasal 3 (1)]. Hal ini tentu sangat membantu para penggugat karena mereka tidak harus datang langsung ke pengadilan untuk melakukan registrasi sehingga bisa menghemat waktu dan biaya. Demikian juga dalam hal pembuktian dengan menghadirkan para ahli. Para ahli dapat diminta keterangannya dengan menggunakan teknologi informasi. (Lihat Pasal 11) Mekanisme ini tentu sangat efisien sekali dan tentunya juga bisa menekan biaya secara signifikan, karena para ahli dapat memberikan keterangan sesuai degan keahliannya di mana pun tanpa harus datang ke pengadilan. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sudah semestinya digunakan di semua lingkungan peradilan di Indonesia dengan harapan dapat membantu proses penyelesaian sengketa. (***)