KASUS SUAP ROYCE ROLLS DAN KETENTUAN UNCAC DI INDONESIA
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Januari 2017)
Awal tahun 2017 dibuka dengan berita “dugaan perkara tindak pidana korupsi di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk”. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan dua orang tersangka dalam perkara ini. Tersangka pertama adalah Emirsyah Satar (ESA), mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, periode 2005 sampai dengan 2014, dan tersangka kedua Soetikono Soedarjo (SS), selaku beneficial owner dari Connaught International PTe. Ltd., sebuah perusahaan di Singapura. Dalam keterangan persnya Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif menyatakan bahwa ESA diduga menerima suap dari produsen mesin pesawat asal Inggris, Rolls Royce terkait pengadaan mesin pesawat terbang untuk pesawat-pesawat milik PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk untuk periode tahun 2005 sampai 2016 dengan perantara SS. ESA diduga menerima suap dalam bentuk uang sebesar 1,2 juta Euro dan US Dollar 180 ribu serta barang senilai US Dollar 2 juta.
Dugaan tindak pidana penyuapan yang dilakukan oleh Royce Rolls tidak hanya terjadi di Indonesia. Dalam investigasi yang dilakukan oleh Serious Fraud Office (SFO) Inggris, Royce Rolls juga melakukan tindakan penyuapan untuk memenangani pengadaan mesin pesawat dan penawaran lainnya di Thailand, China, Rusia dan Brazil. Pada persidangan di Pengadilan Tinggi di Inggris terungkap setidaknya terdapat tujuh kasus dugaan korupsi di beberapa negara yang dilakukan oleh Royce Rolls yang telah berlangsung sejak 20 puluh tahun lalu.
Memang dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu korporasi berpotensi untuk bergesekan dengan risiko untuk melakukan korupsi. Dalam Global Corruption Report 2009 yang dikeluarkan oleh Transparancy International, risiko terjadinya korupsi yang tersebar dalam setiap kegiatan korporasi dan risiko atas penyuapan di sektor privat terjadi dalam hubungannya dengan supplier dan konsumen. Perilaku ini terkadang dipandang sebagai perilaku yang biasa dan ditoleransi atau bahkan dilegalkan oleh korporasi. Selain itu potensi korupsi lainnya adalah dengan melakukan penyuapan kepada pejabat publik di suatu negara untuk melancarkan kegiatan bisnisnya baik dalam pengurusan izin sampai usaha untuk memenangkan tender pengadaan barang dan jasa. Penyuapan di sektor privat memiliki dampak yang serupa dengan penyuapan di sektor publik karena tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat akan bisnis di sektor privat lebih dari itu merusak persaingan usaha yang adil dan merusak fungsi pasar yang pada akhirnya akan merusak ekonomi suatu negara. Hal ini kemudian yang menjadi perhatian dunia internasional sehingga memasukkan pasal mengenai penyuapan di sektor privat sebagai bagian dari korupsi dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).
Dalam kerangka UNCAC, perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Royce Rolls dengan tersangka ESA dan SS hendaknya dilihat dalam kerangka UNCAC yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut merupakan bagian dari penyuapan di sektor privat (bribery in private sector) yang diatur dalam Pasal 21 UNCAC dan penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi Internasional (bribery of foreign public official) sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UNCAC. Sayangnya Indonesia belum menadopsi ketentuan mengenai delik penyuapan di sektor privat dan penyuapan terhadap pejabat publik dan pejabat organisasi internasional dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi proses penyidikan perkara tersebut.
Kedudukan PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memungkinkan untuk dapat menjerat ESA sebagai tersangka tindak pidana korupsi dengan menggunakan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Memang terdapat doktrin transformasi keuangan negara dari Arifin P. Soeria Atmadja yang menyatakan bahwa negara atau lembaga negara tidak memiliki kewenangan publik dalam BUMN karena telah terjadi transformasi status kekayaan atau keuangan dari status uang negara menjadi uang privat. Hal tersebut didasari pandangan bahwa tata kelola dan tanggung jawab BUMN memiliki kapasitas hukum privat di mana ketentuan yang mengaturnya adalah peraturan perundang-undangan yang bersifat privat. Negara, dalam kedudukannya pada BUMN adalah badan hukum privat, yang tindakan dan pengelolaannya dalam badan hukum privat. Ketika terjadi transformasi statsus hukum uang negara dalam BUMN menjadi berstatus hukum privat. Negara dalam kedudukanya sebagai badan hukum publik menetapkan keputusan memisahkan keuangan negaranya untuk menjadi modal pendirian BUMN. Selanjutnya ketika uang tersebut masuk ke dalam BUMN, kedudukan negara tidak dapat dikatakan mewakili negara sebagai badan hukum publik. Dengan demikian terputus beban dan tanggung jawab negara sebagai badan hukum publik di dalam BUMN (LIhat Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, 2012: 12). Meskipun demikian dalam praktiknya, doktrin tersebut sering diabaikan oleh putusan pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Kemudian, perkara dugaan tindak pidana korupsi tersebut dapat ditindak di Indonesia sebagai akibat dari diberlakukannya British Bribery Act 2010. Inggris telah meratifikasi UNCAC dan mengadopsi ketentuan mengenai delik penyuapan di sektor privat dan penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional sehingga memungkinkan bagi Inggris untuk melakukan penyidikan terhadap Royce Rolls dan meminta pertanggungjawaban pidana terhadap Royce Rolls. Inggris sendiri melalui SFO berkomitmen untuk membuka perkara tersebut dengan bekerja sama dengan Corrupt Practice Investigation Bureau (CPIB) dari Singapura dan KPK sehingga KPK dapat melakukan penyidikan dan menetapkan ESA dan SS sebagai tersangka. Tentunya hal ini langkah maju jika dibandingkan beberapa kasus tindak pidana korupsi terkiat dengan penyuapan yang dilakukan oleh korporasi asing terhadap pejabat publik di Indonesia. Salah satu perkara tersebut adalah ketika Alstom S.A sebuah perusahaan listrik dan transportasi Prancis yang telah diakuisis oleh General Electric suatu perusahaan multionasional asal Amerika Serikat dinyatakan bersalah oleh pengadilan di Amerika Serikat karena melanggar Foreign Corrupt Practices Act dan harus membayar denda sebesar US Dollar 772,290,000 karena terlibat dalam skema penyuapan senilai US Dollar 10 juta di beberapa di dunia termasuk Indonesia, Saudi Arabia, Mesir dan Bahamas, dalam perkara tersebut pejabat publik di Indonesia yang menerima suap tersebut tidak pernah diproses hukum.
Tentunya diungkapnya perkara dugaan tindak pidana korupsi, penyuapan oleh Royce Rolls terhadap mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk tersebut patut diapresiasi. Akan tetapi satu hal yang menjadi catatan tidak menutup kemungkinan bahwa penyuapan yang dilakukan oleh Royce Rolls hanya dilakukan terhadap PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk namun juga terhadap perusahaan penerbangan swasta di Indonesia begitu pula dengan perusahaan multinasional asing yang dapat juga melakukan penyuapan terhadap perusahaan swasta nasional di Indonesia. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap yang mengatur mengenai delik penyuapan aktif dan pasif terhadap subjek di luar Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 namun saat ini keberadaan undang-undang ini seperti mati suri, walaupun masih berlaku namun penegakannya tidak dilaksanakan dan selain itu adanya politik hukum yang menginginkan agar upaya pemberantasan korupsi baik yang dilakukan oleh sektor publik dan privat diatur dalam satu undang-undang anti korupsi yang komprehensif yang penegakan hukumnya dilakukan dibawah KPK, membuat undang-undang dipandang tidak efektif. Oleh karenanya hendaknya perkara ini dijadikan momentum untuk merevisi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan menempatkan delik penyupan di sektor privat dan delik penyuapan terhadap pejabat publik asing dalam undang-undang kita. (***)