TENAGA KERJA ASING
Oleh SITI YUNIARTI (Januari 2017)
Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) bukanlah fenomena baru bagi Indonesia. Keikutsertaan Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan penanaman modal asing sebagai salah satu target Pemerintah untuk mengenjot ekonomi nasional adalah beberapa faktor yang menyebabkan penambahan kuantitas TKA di Indonesia. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), melalui pengaturan dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 49, telah memasukkan TKA sebagai bagian dari dinamika ketenagakerjaan di Indonesia. Rangkaian aturan di bidang ketenagakerjaan terkait TKA telah digulirkan sebagai pedoman dalam tataran pelaksana, antara lain Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Permenaker 16/2015) yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 35 Tahun 2015 (Permenaker 35/2015), Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing, Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.
TKA didefinisikan dalam Pasal 1 angka (13) UU Ketenagakerjaan sebagai warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di Indonesia. Adapun visa menurut Pasal 1 angka (18) Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Undang-Undang Keimigrasian) diberikan arti sebagai keterangan tertulis yang diberikan pejabat berwenang yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia atau dasar pemberian izin tinggal. Ada empat macam visa yang diakui dalam UU Keimigrasian, yakni visa diplomatik, visa dinas, visa kunjungan, dan visa tinggal terbatas. Visa untuk pekerja masuk dalam lingkup visa tinggal terbatas.
Dalam pengurusan izin kerja calon TKA, setidaknya ada dua pihak yang terlibat, yakni pemberi kerja dan calon TKA itu sendiri. Dari sisi ketenagakerjaan, pemberi kerja merupakan inisiator bagi penerbitan izin kerja calon TKA. Melalui Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, diwajibkan bagi setiap pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA untuk memiliki izin tertulis dari Menteri dan instansi yang ditunjuk. Selain itu, pemberi kerja diberikan pula kewajiban untuk memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Merujuk pada Permenaker 16/2015 jo Permenaker 35/2015 , RPTKA merupakan hal pertama yang harus diperoleh pemberi kerja karena RPTKA-lah yang akan menjadi dasar penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Idealnya, melalui RPTKA dapat diperoleh gambaran kebutuhan pemberi kerja atas TKA karena pada permohonan RPTKA tercantum alasan penggunaan TKA, jabatan TKA, jumlah TKA dan lainnya. Pengecualian perihal RPTKA diberikan kepada instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
Dalam hal RPTKA dan IMTA telah diperoleh dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Permenaker 16/2015 jo Permenaker 35/2015, termasuk pembayaran Dana Kompensasi Penggunaan TKA, selanjutnya calon TKA mengajukan permohonan visa pada kedutaan Indonesia. IMTA akan menjadi dasar pemberian persetujuan permohonan visa. Setibanya di Indonesia, TKA segera melakukan pengurusan terkait izin tinggal di Indonesia yakni pengurusan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS). Kewajiban memiliki IMTA tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler dan TKA yang memegang posisi tertentu sebagaimana tercantum dalam Permenaker 35/2015 yang berdomisili di luar negeri.
Dalam praktik, hal yang kerap menjadi permasalahan terkait dengan keberadaan WNA yang bekerja di Indonesia adalah penggunaan visa maupun izin tinggal yang tidak tepat. Seperti menggunakan visa kunjungan untuk bekerja. Lingkup keberlakuan visa kunjungan sebagaimana diuraikan dalam UU Keimigasian adalah diberikan kepada orang asing yang akan melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia dalam rangka kunjungan tugas pemerintahan, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, bisnis, keluarga, jurnalistik, atau singgah untuk meneruskan perjalanan ke negara lain.
Permasalahan lain yang kerap muncul adalah tidak digunakannya izin kerja dan izin tinggal sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh, pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA yang mana konsekuensi dari hal tersebut adalah pencabutan IMTA. Mempekerjakan TKA yang sedang dipekerjakan pada pemberi kerja lain juga merupakan hal yang dilarang dalam Permenaker 16/2015, kecuali bagi TKA dengan jabatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Pembina atau anggota Pengurus, anggota Pengawas berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Pembina dan tercantum dalam akta dan keputusan pengesahan yang disahkan oleh instansi yang berwenang. Dengan kata lain, seorang TKA hanya dapat terikat hubungan kerja dengan 1 (satu) pemberi kerja yang tercantum dalam IMTA. Sehingga apabila hubungan kerja dengan pemberi kerja awal berakhir, TKA wajib meninggalkan wilayah Indonesia terlebih dahulu dan selanjutnya dilakukan pengurusan izin kerja dan izin tinggal baru dengan menggunakan RPTKA dan IMTA dari pemberi kerja baru.
Dengan demikian, dalam hal izin kerja dan izin tinggal dimiliki dan dijalankan oleh pemberi kerja maupun TKA sesuai dengan aturan yang berlaku, maka sekiranya izin-izin tersebut dapat dijadikan instrumen Pemerintah dalam pengendalian penggunaan TKA. (***)