People Innovation Excellence

DELIK ZINA DAN HUBUNGAN SEKSUAL SESAMA JENIS DALAM KUHP

Oleh AHMAD SOFIAN (Januari 2017)

Sebelum menguraikan kedua jenis delik tersebut, penulis mengutip pandangan Douglas Husac dalam bukunya Over-criminalization (Oxford University, 2008:3-4), dia mengatakan di banyak negara terjadi kecenderungan terhadap apa yang disbutnya dengan “dramatic expansion in the substantive criminal law” dan “extraordinary rise in the use of punishment”. Dengan kata lain, telah terjadi ekspansi yang berlebihan dalam penggunaan hukum pidana dan sudah melampaui batasnya penggunaan sanksi pidana.

Dalam mengkriminalkan sebuah perbuatan seharusnya tidak saja didasarkan pada tercela atau tidak tercelanya perbuatan tersebut, tetapi juga harus didasarkan pada sejumlah pembenaran dalam teori hukum pidana atau dalam bahasa Husac disebut dengan “theory of criminalization”. Teori pemidanaan ini dibungkus oleh sebuah “normative framework” dalam rangka membatasi penggunaan hukum pidana. Teori ini juga berperan dalam memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar hukum pidana dipatuhi sehingga tidak menimbulkan apa yang disebutnya dengan terlalu banyak hukum pidana yang pada akhirnya menimbulkan over-criminalization.

Penggunaan hukum pidana yang berlebihan cenderung menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian yang lain. Ketidakadilan ini berada pada lapisan-lapisan yang tidak terditeksi dan pada akhirnya menimbulkan ekses yang negatif. Ada banyak perbuatan yang seharusnya tidak menggunakan hukum pidana namun hukum pidana “dipaksa” untuk digunakan, seolah-olah hukum pidana akan mampu menjaga moral dan membuat orang taat pada moral-moral yang dikehendaki tersebut. Moralitas adalah urusan perseorangan dan bukan sesuatu yang dipaksakan untuk menggunakan sarana penal untuk menjaganya.

Dari ulasan di atas, hal yang perlu dikritisi adalah: apakah dengan semakin banyaknya hukum pidana, lalu diikuti dengan banyaknya sanksi pidana akan menimbulkan semakin banyaknya keadilan? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak mudah, sejumlah teori harus dipergunakan dan diperdebatkan. Teori hukum pidana membantu kita dalam memecahkan masalah ini. Kondisi inilah yang saat ini dihadapi, sejumlah orang melakukan uji materiil terhadap Pasal 284 ayat (1) sampai dengan ayat (5), pasal 284 dan pasal 292. Persoalan yang diangkat adalah perluasan penggunaan hukum pidana dalam mengkriminalkan perbuatan-perbuatan yang disudah dilarang oleh pasal tersebut secara limitatif. Artinya, penggunaan hukum pidana harus diperbanyak dan diperluas. Misalnya seperti yang diatur pada Pasal 284 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang mengatur delik zina, Pasal 284 yang mengatur tentang perkosaan terhadap wanita dan Pasal 292 KUHP yang mengatur tentang perbuatan cabul sesama jenis yang dilakukan terhadap anak-anak.

Zina

Ada banyak persepsi tentang pemaknaan zina. Zina bisa dimaknai dalam konteks sosial dan dalam konteks agama. Zina juga bisa bisa dilihat dari berbagai sistem hukum baik common law maupun civil law. Dalam Black’s Law Dictionary (Bryan A Garner, Balck’s Law Dictionary, 2004: 56-57), zina (adultery) diartikan sebagai:

Voluntary sexual intercourse between a married person and someone other than the person’s spouse. In many jurisdiction, adultery is a crime, but it is rarely prosecuted. In states that still permit fault divorce, proof of adultery is a ground on which a divorce may be granted. A court may also use proof of adultery as a reason to reduce the offending spouse’s marital-property award in a property division. Judges traditionally viewed adultery as a reason for denying the offending spouse primary custody of a child in a child custody dispute……….

Di 21 negara bagian Amerika Serikat, zina seperti yang didefinisikan di Black’s Law Dictionary masih dikategorikan sebagai tindak pidana dan dapat dituntut jika ada pengaduan dari pasangannya. Meskipun zina jarang dituntut, namun ancaman hukuman untuk pelaku zina adalah denda maksimum 500 US dollar dan kurungan maksimal 90 hari (Deborah L. Rhode, Los Angeles Times, 17 January 2017).

Dalam konteks sosial, zina merupakan perilaku menyimpang dari norma-norma yang hidup dalam masyarakat, tingkat penyimpangannya bergantung pada norma yang hidup, apakah rendah atau tinggi. Oleh karena itu, tidak bisa digenaralisir tinggi rendahnya penyimpangan tersebut. (Muhammad Mustofa, dalam Dian Andriasari, Jurnal FH Unisba, 2011:268). Bahkan menurutnya persepsi masyarakat terhadap tingkat penyimpangan perbuatan zina ini tidak begitu tinggi.

Dalam konteks hukum Islam, zina dipandang sebagai hubungan seksual terlarang antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan dan dipandang sebagai kejahatan, dan sanksi pidana yang diberikan adalah 100 cambukan bagi yang belum menikah dan dirajam sampai mati bagi yang sudah menikah. (Ziba Mir-Hosseini, 2010:3). Ziba menambahkan, meski sanksi pidana cukup keras, hukuman tersebut jarang didokumentasikan dalam berbagai literatur sejarah. Akibatnya, penerapan sanksi pidana zina dalam praktik jarang sekali diterapkan dan menjadi “hukum yang mati” di banyak negara Islam.

Dari uraian di atas jelas bahwa ada a perbedaan konsep terkait perbuatan zina, karena ada perbedaan konsepsi maka timbul formulasi yang berbeda juga. KUHP menempatkan zina sebagai kejahatan kesusilaan. Dalam konteks kesusilaan ini, maka KUHP memberikan batasan zina sebagai perbuatan hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang dimana salah salah satunya telah menikah.

Dalam konteks ini, bisa ditafsirkan KUHP mengambil posisi pada perlindungan pernikahan atau perlindungan keluarga. KUHP memberikan jaminan perlindungan atas ikatan lahir batin ini, sehingga ketika salah satu pihak melakukan perbuatan menyimpang (zina) maka KUHP memberikan peluang bagi salah satu pihak untuk menuntutnya. Tuntutan ini sifatnya tidak mutlak (opsional) karena sangat ditentukan oleh salah satu pasangan yang dinilai menjadi “korban” dan bukan orang lain. Berangkat dari pemikiran di atas, maka perlindungan terhadap pernikahan atau keluarga merupakan filosofis dipidananya perbuatan zina dalam perspektif KUHP.

Argumentasi di atas tidak bertolak belakang dengan pandangan Prof. Marita Carnelley yang menyatakan bahwa secara historis dimasukkan delik zina dalam KUHP di banyak negara adalah memberikan perlindungan dan stabilitas institusi pernikahan dan untuk menjaga munculnya potensi ketidakpastian dari asal usul keturunan dari perbuatan zina tersebut. Pemidanaan zina tidak dimaksudkan untuk mengatur soal moralitas seseorang, karena akan menimbulkan banyak kesulitan ketika berhadap-hadapan dengan beragamanya nilai-nilai dan ideologi yang dianut dalam suatu masyarakat (Marita Carnelley, Jurnal Fundamina 19 (2), 2013 :185)

Di sini, kedudukan KUHP tidak ingin membenturkan semua perilaku menyimpang untuk dibawa ke ranah hukum pidana, kerena pada akhirnya akan membuat banyaknya tugas-tugas yang harus dibebankan pada hukum pidana. Pemidanaan terhadap perbuatan zina yang tidak diikat oleh pernikahan akan membuat terjadinya kriminalisasi yang berlebihan. Pada akhirnya negara akan menjadi penjaga moral individu, bukan menjaga ketertiban masyarakat. Ada sebuah pandangan dalam hukum pidana terkait delik zina dan delik-delik kesusilaan yang menyatakan bahwa the criminal law dictatorial power must end at the door of bedroom or barn door (hukum pidana harus berhenti ketika berada di depan pintu kamar). Dengan demikian jika klausula pernikahan dicabut dari Pasal 284 KUHP maka sebenarnya telah membuat norma baru yang tidak sesuai dengan landasan pembentukan pasal tersebut. Selain itu, pencabutan klausula tersebut juga akan berakibat munculnya ketidakadilan dalam masyarakat, karena beragamanya persepsi zina yang ada di dalam masyarakat.

Hubungan Seksual Sesama Jenis

Dalam kaitannya hubungan seksual sesame jenis, Pasal 292 KUHP memberikan sanksi pidana kepada perbuatan cabul sejenis yang korbannya adalah anak-anak. Dalam konteks ini, dapat ditafsirkan bahwa anak-anak merupakan kelompok orang yang belum bisa melindungi dirinya sendiri, belum mampu memikirkan secara mendalam konsekuensi yang terjadi ketika anak tersebut melakukan hubungan seksual sesama jenis. Oleh sebab itu diperlukan peran negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak tersebut.

Dengan tidak dipidananya hubungan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh orang dewasa, penyebabnya lebih kepada alasan suka rela. Jika ditinjau dari perspektif hukum privat, tentunya orang dewasa sudah dapat mempertimbangkan segala konsekuensinya. Ranah privat inilah yang sepatutnya tidak perlu diintervensi negara, terlepas jika perbuatan tersebut menyimpang atau tidak menyimpang, sudah sepatutnya negara tidak melakukan intervensi terlalu jauh. (***)


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close