TEORI TENTANG HAK PEROKOK DAN NON-PEROKOK DI RUANG PUBLIK
Oleh SHIDARTA (Januari 2017)
Tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mampu dan sukses menerapkan secara konsisten aturan “sederhana” berupa larangan merokok bagi semua pengunjung di kampusnya. Salah satu dari sedikit perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Bina Nusantara (BINUS). Banyak rekan yang datang bertamu di berbagai lokasi kampus universitas ini bertanya kepada penulis, apa rahasia dari keberhasilan ini? Bagaimana mungkin dari puluhan ribu mahasiswa, dosen, karyawan, dan tamu yang hadir tidak satupun terlihat menyulut dan mengepulkan asap rokok di semua area kampus, termasuk di taman-taman yang jauh dari kerumunan orang selama 24 jam penuh? Sebagai orang yang tidak mengikuti proses pembuatan aturan larangan merokok tersebut sejak awal dan terlebih-lebih lagi sebagai seorang teoretisi hukum, naluri saya biasanya akan mencoba mencari pembenaran jawaban saya pada teori-teori ilmiah yang pernah saya baca, yang tentu saja selalu terbuka untuk disangkal atau dikaji ulang di kemudian hari. Termasuk dalam hal ini, jawaban atas pertanyaan sederhana dari rekan-rekan yang sempat berkunjung ke BINUS.
Kebetulan, bagi pembaca yang yang sempat menyimak buku karya James S. Coleman, Foundations of Social Theory (1994), barangkali akan menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Teori ini bersinggungan dengan persoalan hak. Coleman ingin menjelaskan konfigurasi konsepsi perokok dan non-perokok mengenai siapa yang lebih berhak pada satu kondisi lingkungan. Konfigurasi tersebut terdiri dari empat sel, sebagai berikut:
Pada sel nomor satu, baik perokok maupun non-perokok berpendapat bahwa perokoklah yang lebih berhak untuk menentukan kondisi suatu lingkungan. Dalam kondisi seperti ini perokok akan mengambil sikap untuk merokok, sementara non-perokok akan memberi kesempatan tersebut seluas-luasnya (pasrah) tanpa bisa mengajukan keberatan apapun. Sel nomor satu ini kerap terlihat pada keluarga yang didominasi oleh suami perokok, sekalipun isteri dan anak-anaknya bukan perokok.
Konflik biasanya terjadi pada sel nomor dua, yakni ketika perokok memaksa untuk merokok sekalipun para non-perokok mengajukan keberatan. Di sini diuji konsistensi para pemegang kebijakan apakah akan memberi toleransi pada perokok atau secara tegas memihak para non-perokok. Konsistensi sikap ini juga harus ditunjukkan oleh aparat keamanan (biasanya petugas satuan pengamanan) di lapangan untuk ikut berinisatif menegur atau tidak menegur. Faktor kuantitas juga berpengaruh, tentang siapa yang lebih mayoritas: perokok atau non-perokok.
Situasi yang paling ideal terjadi pada sel nomor empat. Menurut konsepsi para perokok, pemegang hak adalah non-perokok. Demikian juga dengan konsep non-perokok, bahwa merekalah yang mengendalikan situasi. Jika perokok memberanikan diri untuk meminta izin untuk merokok, maka non-perokok bisa memberikan atau tidak memberikan izin.
Namun, apabila jumlah non-perokok ini sangat banyak jumlahnya, maka tentu tidak mudah suatu izin merokok bisa diberikan. Jika seorang non-perokok mengizinkan, belum tentu non-perokok lain sependapat untuk juga memberikan izin. Apalagi bila izin tersebut tidak bisa lagi serta-merta diberikan karena larangan merokok sudah tertuang jelas dalam peraturan dengan sanksi yang jelas bagi pelanggarnya.
Coleman menambahkan bahwa perubahan-perubahan eksogen, seperti peningkatan kepedulian terhadapl kesehatan dan pengetahuan akan berbagai dampak negatif merokok, juga akan menggeser kondisi di luar sel nomor satu. Hal ini membuat ruang gerak para perokok akan makin sempit. Para non-perokok akan makin sering mengutarakan keberatannya (sel nomor dua), atau perokok makin sadar diri bahwa ada non-perokok juga punya hak untuk tidak diganggu dengan asap rokok yang ditiupkannya (sel nomor tiga), atau non-perokok makin tegas untuk tidak memberikan izin apabila ada permintaan untuk merokok. Ruang-ruang publik yang makin banyak menggunakan pendingin ruangan secara tidak langsung berkontribusi pula pada perubahan eksogen tersebut. Melalui sisem pendingin ruangan, dampak dari asap rokok akan lebih mudah terdeteksi dan biasanya cepat mendatangkan reaksi keberatan.
Dengan demikian, jika suatu lingkungan tempat beraktivitas, termasuk kampus-kampus ingin menerapkan larangan merokok, kuncinya adalah mengubah konsepsi tentang siapa yang lebih berhak atas kondisi di lingkungan itu. Saat ini, praktis kecenderungan untuk berada di sel nomor satu sudah makin berkurang. Pertarungannya ada di sel nomor dua. Kampus-kampus yang berhasil keluar dari pertarungan ini menunjukkan bahwa mereka mampu bersikap konsisten. Sebuah teori yang sederhana di atas kertas, namun tidak selalu mudah diterapkan di lapangan! (***)
Published at :