KOLOM AGAMA PADA DOKUMEN IDENTITAS KEPENDUDUKAN
Oleh SHIDARTA (Januari 2017)
Apakah “agama” itu? Secara etimologis, kata ini konon diambil alih dari bahasa Sansekerta, yakni आगम yang pada banyak literatur kerap dipersangkakan sebagai gabungan dari kata “a” (tidak) dan “gama” (kacau/berubah/bergerak). Namun, jika kita coba telusuri makna kata agama ini lebih jauh dalam perbendaharaan kosa kata Sansekerta (Sanskrit), ternyata ada banyak arti kata agama. Kata ini bisa berarti sebagai prinsip, juga bisa berarti veda, atau bisa bermakna tantra (lihat: <http://www.spokensanskrit.de/>). Ada juga pendapat yang mengatakan agama berasal dari bahasa Kawi (Jawa Kuno yang sebenarnya telah mendapat pengaruh bahasa Sansekerta juga), berarti panduan, pedoman, atau patokan. Ada juga pandangan yang mengatakan kata “a” di sini harus divokalkan lebih panjang, yang bermakna sebagai tradisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan agama sebagai “Ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia [sic] serta lingkungannya.”
Namun, seperti apa batasan yang diberikan oleh hukum terhadap terminologi ‘agama’ ini? Dalam penelusuran yang dilakukan oleh Widodo (Glosarium Undang-Undang) terhadap semua udang-undang sejak tahun 1945 sampai dengan 2008, ternyata hanya ada satu undang-undang saja yang memberi definisi terkait istilah agama, yakni dalam Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dapat diduga, bahwa definisi yang diberikan bersifat denotatif, yaitu agama adalah agama Islam.
Definisi yang futuristis bisa dilacak pada Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama. Rancangan ini memberi definisi tentang agama, dengan menyatakan agama adalah “Agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia.” Definisi ini lagi-lagi masih bersifat denotatif. Definiensnya tidak mampu menawarkan kejelasan atas definiendum dari terma agama tersebut. Seandainya rancangan undang-undang ini suatu saat nanti jadi ditetapkan tanpa perubahan pada pengertian terma agama, maka agama bisa mencakup semua sistem keimanan, baik yang kerap diberi label “agama” dan di bawah koordinasi Kementerian Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,, Konghucu) maupun yang berlabel aliran kepercayaan dan berada di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Penelusuran tentang makna konotatif agama menurut hukum positif di Indonesia akan tambah menarik dilakukan jika kita cermati apa yang terjadi pada agama Konghucu di Indonesia. Agama ini sebenarnya sudah pernah secara resmi diakui sebagai agama dalam hukum positif Indonesia di dalam Penetapan Presiden RI Nomor 1 PNPS 1965, yang kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1969 tentang Penetapan Presiden Republik Indonesia tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 undang-undang ini menyatakan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Penjelasan dari Pasal 1 ini kemudian menggarisbawahinya dengan kata-kata sebagai berikut:
Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan
dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Dengan kata-kata “Kegiatan keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.
Penjelasan dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1969 secara eksplisit memasukkan Konghucu sebagai agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia. Di sini tidak ada kata-kata “resmi” dan “tidak resmi”. Namun, terminologi agama dipakai secara membingungkan. Di satu sisi, ada frasa “agama-agama lain” untuk menyebut Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism. Ini berarti kata agama bisa juga dilekatkan untuk mereka. Pada kesempatan lain, penjelasan pasal ini memakai istilah “aliran kebatinan” dan “ajaran kepercayaan”. Dikatakan bahwa Departemen Agama yang diberi wewenang menyelidiki apakah suatu aliran dapat disebut agama atau bukan. Dalam perkembangannya kemudian, sejak tahun 1961, Kejaksaan ikut diberi kewenangan melakukan pengawasan terhadap aliran-aliran kepercayaan yang ada di masyarakat.
Penjelasan Umum Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama kemudian mencoba menawarkan uraian lebih rinci tentang istilah agama ini, dengan formulasi kalimat sebagai berikut:
Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan Yang Esa dan Maha Benar yang mempengaruhi pemikiran dan perilaku penganutnya. Karena pengalaman manusia akan ajaran yang berasal dari Tuhan itu berbeda-beda, maka agama yang ada di tengah-tengah masyarakat tidaklah satu, tapi beragam, ada Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Katolik, Islam, Konghuchu, dan ada juga sistem kepercayaan lokal seperti Tolotang (Sulawesi Selatan), Sunda Wiwitan (Jawa Barat), dan Kaharingan (Kalimantan), serta aliran kepercayaan (Jawa).
Jadi, ada pemilahan antara “agama” dan “sistem kepercayaan lokal”. Seakan-akan, penyusun rancangan menyatakan agama adalah sistem kepercayaan yang tidak lagi bersifat lokal. Pemilahan ini akan mengganggu logika kita karena ada juga sistem kepercayaan seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism yang disebut-sebut dalam Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1969, yang semuanya tidak lagi berskala lokal. Alhasil, dapatlah disimpulkan bahwa agama dalam konteks hukum Indonesia adalah suatu konsep politik, bukan sekadar konsep sosiologis. Kebetulan enam agama yang disebut di dalam peraturan perundang-undangan itu berasal dari luar Indonesia seluruhnya. Sentimen keindonesiaan kita akan mempertanyakan: apakah tidak dimungkinkan ada pengakuan atas agama yang berasal dari bumi Indonesia sendiri (agama asli Nusantara; ajaran kebatinan; sistem/aliran kepercayaan lokal atau tradisional Indonesia)?
Pengakuan terhadap agama-agama mainstream yang semuanya berasal dari luar Indonesia, memberi kesan bahwa agama-agama tersebut memang memiliki derajat lebih tinggi daripada sistem/aliran kepercayaan lokal atau tradisional. Hal ini terungkap secara implisit dari Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5/PNPS/1969, yang menyatakan bahwa Departemen (sekarang Kementerian) Agama memiliki cara-cara untuk menyelidiki suatu sistem/aliran kepercayaan merupakan agama atau bukan.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Machasin (2014), pernah menyampaikan bahwa setidaknya ada empat persyaratan yang mesti dimiliki sebuah kelompok keyakinan agar nantinya diakui sebagai agama di Indonesia. Empat syarat itu berupa keharusan memiliki: (1) ajaran yang berbeda dengan yang lain, (2) sistem peribadatan yang berbeda, (3) umat yang jumlah minimum (besarannya masih dalam kajian), dan (4) organisasi yang mewakili mereka berkegiatan. “Empat syarat tersebut masih dalam rumusan awal dan sedang proses pengkajian sampai saat ini,” tuturnya (lihat: <http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/13/na8cr2-ini-syarat-agar-agama-diakui-oleh-negara>). Hasil dari kajian inilah yang barangkali bakal dimajukan Kementerian Agama di dalam [Rancangan] Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama, suatu rancangan peraturan yang lebih baru lagi.
Menarik bahwa syarat-syarat yang disampaikan di atas berbeda dengan yang selama ini kerap diperbincangkan bahwa suatu agama harus memiliki rasul, kitab suci, dan sebagainya. Dalam syarat-syarat yang disampaikan oleh Machasin di atas, rumusan seperti itu tidak dimunculkan. Hal ini menegaskan kembali bahwa nuansa politis memang sangat mempengaruhi pengakuan tersebut. Bahkan, suatu agama yang pernah diakui, bisa jadi tidak lagi diakui berdasarkan alasan politis. Agama Konghucu di Indonesia, sebagaimana disinggung di atas, pernah mengalami hal ini. Pemerintahan Orde Baru melalui Instruksi Mendagri No 455.2-360/1968 mengenai penataan klenteng, misalnya, bahkan sampai berani mengeluarkan kebijakan untuk menata rumah ibadah agama ini dan memaksakan istilah “klenteng” diubah namanya menjadi “vihara”.Pengelola klenteng pun terpaksa beradaptasi dengan ketentuan tersebut untuk sekadar mendapatkan izin dari pemerintah demi kelangsungan peribadatan pemeluk agamanya. Ilustrasi ini sekali lagi memperlihatkan betapa isu tentang agama di Indonesia sesungguhnya merupakan isu politik. Sangat bergantung pada kemauan politik penguasa negara untuk memperlakukan suatu sistem/aliran kepercayaan berpredikat agama atau bukan. Bahkan, lebih teknis lagi, bergantung pada kemauan politik penguasa pula untuk mengizinkan sistem/aliran kepercayaan ini boleh atau tidak dicantumkan di dalam kartu identitas mereka (kartu tanda penduduk).
Pada saat artikel ini ditulis, sejumlah komponen masyarakat tengah mengajukan uji material (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi, mempersoalkan ketentuan Pasal 61 ayat (1) jo. ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) jo. ayat (5) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) yang memerintahkan dikosongkannya kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik di luar enam agama yang “diakui” oleh negara. Para pemohon uji material dimotori oleh seorang penganut kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur dan penganut dari Komunitas Penghayat penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan.
Kegundahan para penganut kepercayaan ini sesungguhnya mewakili perasaan yang sama dari banyak penganut sistem/aliran kepercayaan di berbagai wilayah di Indonesia. Ada ratusan sistem/aliran kepercayaan, mulai dari yang berskala lokal, nasional, bahkan sampai global (seperti Yahudi, Taoisme, dan Sikh), yang sebenarnya eksis karena dianut oleh penduduk Indonesia, tetapi tidak bisa begitu saja dimasukkan sebagai bagian atau subbagian dari enam agama yang “diakui”. Kondisi ini boleh jadi membuat para administrator kependudukan menganggapnya sebagai kendala, sehingga sebagai jalan keluarnya ditempuh kebijakan untuk mengosongkan atau memberi tanda dash (-). Langkah yang lebih pragmatis sebenarnya dapat juga diambil dengan mengikuti cara Pemerintah Hindia Belanda, yang dengan memasukkan semua penganut semua penganut sistem/aliran kepercayaan di luar Islam, Kristen, dan Hindu untuk dicatat (khususnya dalam perkawinannya) sebagai penganut agama Islam (lihat Staatsblad 1895 No. 198). Langkah ini oleh sebagian penganut sistem/aliran kepercayaan itu ditolak, kendati secara diam-diam masih tetap dipraktikkan.
Menjadi pertanyaan sekarang apakah yang sesungguhnya menjadi latar belakang politis di balik ketidaksediaan Pemerintah Indonesia mencatatkan sistem/aliran kepercayaan ini sesuai dengan kehendak para penganutnya ke dalam kolom dokumen identitas kependudukan mereka? Ada beberapa kemungkinan yang bisa diidentifikasi.
Pertama, ada kekhawatiran pencantuman tersebut bakal memberi nuansa legalisasi atas sistem/aliran kepercayaan itu menjadi agama yang sejajar dengan enam agama mainstream. Jika hal ini terjadi, maka jumlah agama di Indonesia bisa menjadi sangat banyak, sementara fondasi keagamaannya sendiri belum sepenuhnya bisa diverifikasi apakah sejalan dengan kriteria yang dikehendaki oleh pemerintah, khususnya Kementerian Agama. Untuk itu, pembinaan terhadap sistem/aliran kepercayaan ini diserahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan di Kementerian Agama. Semangat dari kebijakan ini adalah tetap menerima kehadiran sistem/aliran kepercayaan tersebut, tetapi menempatkannya di bawah (subordinasi) agama-agama mainstream ini. Kebijakan yang “malu-malu kucing” seperti ini memang sudah sejak lama dipraktikkan dan sepertinya ingin tetap dilanjutkan. Pada tahun 1980-an Televisi Republik Indonesia (TVRI), misalnya, memberi ruang bagi penganut sistem/aliran kepercayaan ini bersosialissi melalui acara Mimbar Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Acara ini sebenarnya lebih mewakili kepercayaan Kejawen saja, antara lain dengan dipopulerkannya kata “eling” pada setiap penayangannya. Para penganut kepercayaan ini secara resmi melabelkan diri sebagai penganut agama Islam.
Kedua, isu agama masih sangat sensitif di Indonesia, bahkan makin terasa sensitivitasnya akhir-akhir ini seiring dengan menguatnya sentimen keberagamaan. Penonjolan eksistensi sistem/aliran kepercayaan ini dalam level sekecil apapun ingin ditekan agar tidak menambah sensitivitas tersebut. Konflik antara penganut sistem/aliran kepercayaan lokal atau tradisional ini terbilang masih relatif kecil dibandingkan dengan konflik di antara penganut agama-agama mainstream, khususnya antara penganut agama Islam dengan penganut agama Kristen dan Katolik. Logikanya adalah karena penganut agama-agama ini memiliki jumlah pengikut terbesar di Indonesia. Apabila eksistensi penganut sistem/aliran kepercayaan ini diperkuat, mungkin saja akan terjadi proliferasi konflik. Kekhawatiran ini beralasan juga sebagaimana disuarakan oleh dua ulama Nadhatul Ulama (NU) dari Jember Abdul Muchid Muzadi dan Washil Syarbini, yang menolak rencana pemerintah untuk mengakui aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai agama. Keduanya menilai rencana itu bahkan bisa menyulut masalah atau bahkan konflik dalam kehidupan sosial-religi bangsa. “Kalau sekarang pemerintah mau mengakui sebagai agama dasarnya apa? Jangan hanya sekadar untuk kepentingan KTP saja, kehidupan umat beragama jadi kacau,” ujar Washil Syarbini (lihat: <https://m.tempo.co/read/news/2006/11/03/05587070/kyai-sepuh-tolak-akui-kepercayaan-sebagai-agama>).
Ketiga, Pemerintah sendiri belum siap menerima secara resmi kehadiran para penganut sistem/aliran kepercayaan ini, misalnya untuk meniti karir di militer atau birokrasi pemerintahan. Dalam proses rekrutmen keanggotaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian, selalu muncul persyaratan umum, yakni calon harus beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktik, syarat ini berkorelasi dengan pencantuman suatu agama pada kolom dokumen identitas kependudukan calon. Agama yang dimaksud tentu agama mainstream yang biasanya mengacu pada enam agama yang “diakui” itu.
Secara filosofis, alasan-alasan di atas dapat saja digugat keabsahannya. Apabila negara membiarkan suatu sistem/aliran kepercayaan untuk hadir di Indonesia, maka sistem/aliran kepercayaan itu berarti berhak pula untuk menunjukkan eksistensinya. Ini adalah bagian dari hak berekspresi yang paling hakiki.
Problematika filosofis terjadi justru dari ambiguitas sikap kita sendiri untuk memastikan apakah di Indonesia ini beragama merupakan hak atau kewajiban? Jawaban sementara dapat ditemukan dalam konstitusi yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 ayat [2] UUD 1945). Kata kemerdekaan di sini menunjukkan adanya kebebasan. Kebebasan memeluk agama. Frasa kata “memeluk agamanya masing-masing” ini dibedakan dengan frasa berikutnya: “beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Mengapa pada frasa kedua ini ada kata-kata “kepercayaan”? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab dengan tuntas karena memunculkan spekulasi beberapa jawaban.
Pertama, oleh karena kata agama belum memiliki konotasi yang jelas, maka kata agama dan kepercayaan di sini dibaca dalam satu napas, sebagai satu kesatuan. Artinya, kata kepercayaan ini merupakan kepercayaan di dalam agama itu. Konstitusi menjamin kebebasan orang untuk beragama (memilih agama) dan beribadat menurut agama yang “diakui” negara maupun menurut sistem/aliran kepercayaan yang belum “diakui” sebagai agama oleh negara. Penafsiran ini merupakan pemaknaan yang paling luas.
Kedua, kata agama dan kepercayaan ini sebagai dua hal yang berbeda. Agama dimaknai hanya sebagai agama yang “diakui” oleh negara. Tidak ada pilihan beragama di luar itu. Namun, ketika beribadat seseorang boleh saja memilih cara beribadat sesuai kepercayaannya sendiri, termasuk cara yang tidak dikenal di dalam agama yang dipilihnya.
Ketiga, dibuka kemungkinan bahwa kata agama dan kepercayaan ini boleh dinihilkan, sehingga orang boleh saja beragama dan tidak beragama. Istilah “tidak beragama” di sini kerap dimaknai sebagai sikap tidak bertuhan (ateis). Sikap ini jelas tidak bisa diterima di negeri ini karena ada ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang meyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan demikian, beragama/berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pun pada hakikatnya merupakan kewajiban yang dibebankan oleh negara, terlepas apapun agama dan kepercayaannya itu. Namun, bukankah orang bisa saja tidak memilih agama tertentu, tetapi tetap percaya pada Tuhan (baca ulasan tentang hal ini dalam esai-esai Bertrand Russell)? Atau, bolehkah menjadi seorang monoteist-freelancer seperti yang diakui oleh Karen Amstrong?
Dari ketiga kemungkinan di atas, penafsiran pertama dan kedua tampak memiliki kans untuk dianalisis lebih jauh. Para penganut sistem/aliran kepercayaan cenderung menyukai penafsiran pertama karena bakal membuka peluang pengakuan lebih jauh atas keberadaan mereka. Sebab, jaminan negara yang dimaksud di sini tentu tidak boleh hanya sebatas jaminan menjalankan ritual ibadatnya. Jaminan kemerdekaan yang diberikan oleh negara harus mencakup jaminan mengekspresikan diri sebagai penganut agama dan/atau kepercayaan itu. Salah satu bentuk ekspresi itu adalah pencantuman identitas keagamaan dan/atau kepercayaannya itu di dalam dokumen kependudukan.
Pemerintah, sebagaimana terbaca antara lain dari UU Adminduk, tampaknya cenderung ke penafsiran kedua. Penafsiran ketiga pasti secara resmi akan ditolak, sehingga beragama/berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh negara, terlepas apapun agama dan kepercayaannya itu. Minimal kewajiban ini harus tertera di dalam dokumen resmi kependudukan. Ini adalah konsekuensi logis dari penafsiran kedua. Namun, secara filosofis, penafsiran kedua ini juga paling bemasalah. Kata “kemerdekaan” yang berkorelasi dengan kebebasan ini sejatinya adalah hak, bukan kewajiban. Berhak berarti bebas untuk melakukan atau tidak melakukan; bebas untuk memeluk atau tidak memeluk. Jika beragama merupakan kewajiban, maka dengan sendirinya tidak ada kebebasan untuk melakukan sebaliknya.
Seperti telah dinyatkan di muka, wacana tentang pengosongan kolom agama pada dokumen identitas kependudukan ini semata-mata merupakan diskursus di domain politik. Jawaban terhadap keruwetan masalah ini (dalam konteks Indonesia) akan sia-sia dieksplorasi tanpa membingkainya dalam kajian politis. Dalam perpolitikan, argumentasi filosofis dan akal sehat kerap harus tersingkir demi perhitungan-perhitungan pragmatisme kekuasaan.
Apabila hukum dogmatis ingin dijadikan sebagai instrumen mengatasi kemelut ini, maka pertama-tama benahilah rumusan terminologi agama dan sistem/aliran kepercayaan tersebut. Konsep dan pranata hukum ini harus sungguh-sungguh dirumuskan dengan seterang-terangnya di dalam perundang-undangan. Kebijakan yang ambigu dan “malu-malu kucing” tidak akan membuat kita bertambah dewasa dalam memelihara kemajemukan yang nyata-nyata merupakan keniscayaan bagi bangsa ini sejak pertama dilahirkan. Apabila negara dikatakan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama [dan kepercayaan] tertentu, maka jaminan ini harus dapat ditunjukkan secara gamblang pada semua lini aktivitas kehidupan. Siapapun yang berani melawan kebijakan ini, akan langsung berhadapan dengan negara dengan segala risiko dan akibat hukumnya. (***)
Published at :