PENGUJIAN PASAL 284, 285, DAN 292 KUHP DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Pada Tanggal 19 Januari 2017, diadakan sidang lanjutan uji material terhadap Pasal 284, 285 292 KUHP di Mahkamah Konstitusi. Ketiga pasal tersebut mengkriminal perbuatan zina yang dilakukan salah satu pasangan yang terikat dalam perkawinan (Pasal 284), perkosaan terhadap wanita (pasal 285) dan perbuatan cabul sejenis kelamin terhadap anak yang di bawah umur (Pasal 292). Ketiga pasal yang dimohonkan dibatalkan tersebut menyangkut klausa “terikat dalam perkawinan” untuk perbuatan zina, “wanita” untuk perkosaan dan klausa “anak di bawah umur”. Uji materiil terhadap ketiga pasal ini dilakukan oleh kalangan akademisi yang sebagian berasal dari Institut Pertanian Bogor di antaranya adalah adalah Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si, Rita Hendrawati Soebagio, S.Psi., M.Si, Dr. Sitaresmi Sulistyawati Soekanto, Nurul Hidayati Kusuma Hastuti Ubaya, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum, Dhona El Furqon, S.H.I., M.H.
Perkara uji materiil terhadap ketiga pasal ini terdaftar di Mahkamah Konstitusi dengan nomor 46/PUU-XIV/2016. Pada sidang yang berlangsung tanggal 19 Januari 2017, dihadiri oleh 8 orang hakim konsititusi dan sidang dipimpin oleh Anwar Usman, sementara dari pihak pemohon hadir kuasa hukumnya yang dipimpin oleh Feizal Syah Menan, dari pihak pemerintah hadir Hotman Sitorus. Pihak-pihak yang terkait juga hadir yaitu ICJR, YLBHI, PARSISTRI serta ahli dari PARSISTRI yaitu Dr.Aliah B. Purwakania, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Al-Azhar dan ahli dari YLBHI Dr. Ahmad Sofian, SH, MA (dosen jurusan hukum bisnis BINUS University)
Dr. Ahmad Sofian, SH, MA dosen Hukum Bisnis Universitas BINUS dijadikan ahli dalam sidang ini. Beliau diminta menjadi ahli oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai salah satu pihak terkait dalam perkara uji material ini. Dalam papaparannya beliau mengatakan bahwa Pasal 284 KUHP telah merumuskan delik zina dengan maksud melindungi ikatan perkawinan dan memastikan anak yang lahir berasal dari perkawinan yang syah. Dengan demikian pasal tersebut dimaksudkan untuk melindungi stabilitas rumah tangga dan ikatan perkawinan. Pasal zina yang dibatasi hanya dalam perkawinan menunjukkan bahwa KUHP tidak ingin ikut campur dalam hubungan yang bersifat privat dan mengintervensi terlalu jauh mengenai moralitas seseorang.
Dalam kontek yang lebih luas dikatakannya bahwa hukum pidana dibentuk untuk menjaga ketertiban masyarakat dan bukan menjaga moralitas perseorangan. Hukum pidana tidak bisa dipaksakan agar seseorang memiliki moral yang baik atau buruk. Hukum pidana juga tidak bisa menjamin bahwa ketika delik zina diperluas maknanya yang ditujukan kepada siapa saja yang melakukan hubungan seksual diluar nikah, maka dikhawatirkan sulitnya merumuskan unsur-unsur pasal tersebut, dapat diselewengkan oleh penegak hukum serta akan terjadi kriminilisasi yang berlebihan (over-criminalization) . Oleh karena itu, bisa terjadi ketidakadilan bagi kelompok lain jika pasal ini diperluas dan dipaksakan untuk digunakan.
Dr. Ahmad Sofian, SH, MA juga menyampaikan pandangannya terkait dengan Pasal 292 KUHP. Pasal ini dibentuk untuk melindungi anak-anak dari perbuatan cabul yang sejenis kelamin yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak belum mampu melindungi dirinya dari hubungan seksual baik sejenis kelamin (homoseksual) maupun yang berbeda jenis kelamin (hetroseksual) yang pelakunya adalah orang-orang dewasa. Oleh karena itu, filosofis pasal ini adalah menjamin perlindungan anak dan negara wajib hadir untuk melindungi anak dari praktIk yang membahayakan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Oleh karena itu, pasal ini tidak dimaksudkan untuk mengkriminalkan hubungan seksual sesama jenis kelamin yang dilakukan oleh orang dewasa atas dasar sukarela atau suka sama suka. Hubungan seksual sesama jenis kelamin tidak digolongkan sebagai perbuatan pidana, karena ada di area yang sangat privat. Nilai-nilai moral yang dianut oleh seseorang yang seharusnya mencegahnya perbuatan tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, hukum agama dan hukum adat setempat mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan “tercela” tersebut. Hukum pidana seharusnya tidak “dipaksakan” untuk masuk terlalu jauh ke area privat seseorang. Dalam konteks ini hukum pidana bisa saja melarang perbuatan tersebut, tetapi tidak harus dipidana. Di banyak negara, kekuasan hukum pidana berhenti ketika berada di depan kamar. (***)