WTO DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh SITI YUNIARTI (Desember 2016)
Indonesia berniat mengajukan banding atas putusan WTO (World Trade Organization) yang memenangkan gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru terhadap Indonesia dalam sengketa perdagangan. Kedua negara tersebut menggugat pengetatan impor produk pertanian dan peternakan oleh Pemerintah Indonesia berupa kuota impor sapi, pengetatan masuknya ayam, serta beberapa produk makanan dan sayur. Melalui putusan WTO, produk pertanian dan peternakan dari negara lain dapat masuk tanpa filter dan siap bersanding dengan produk lokal sejenis.
Bagi konsumen, keragaman produk pertanian dan peternakan yang beredar di pasaran memberikan benefit berupa tersedianya alternatif barang dan jasa yang dapat dipilih konsumen. Di sisi lain, persaingan yang semakin kompetitif, ketergantungan pada musim, jalur distribusi lintas negara yang memakan waktu serta usia produk pertanian dan peternakan yang tidak berumur panjang memicu pelaku usaha untuk terus meningkatkan kualitas produk yang akan dilempar ke pasaran. Penggunaan teknologi dalam bentuk rekayasa genetika dan penggunaan zat kimia tertentu adalah beberapa alternatif yang muncul untuk menyikapi tantangan produk pertanian dan peternakan lintas negara. Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah apakah produk peternakan dan pertanian yang mengalami peningkatan kualitas dengan penggunaan teknologi dan zat kimia tersebut aman untuk dikonsumsi oleh konsumen?
Penggunaan teknologi guna peningkatan kualitas pangan pada produk peternakan dan pertanian bukan merupakan suatu hal yang wajib dihindari. Namun demikian, perlu disadari bahwa penggunaan teknologi dan zat kimia dalam proses penyediaan, pengelolaan dan distribusi pangan, memiliki potensi terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen. Padahal, hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa merupakan salah satu hak dasar konsumen yang tidak saja tercantum dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) juga diakui secara internasional dalam United Nations Guidelines for Consumer Protection (UNGCP).
Perihal keamanan pangan didefinisikan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) sebagai “sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”. Keamanan pangan dilakukan secara komprehensif mulai dari proses produksi sampai dengan distribusi. Guna memastikan keamanan pangan, secara garis besar UU Pangan mewajibkan (i) adanya standar keamanan pangan yang ditetapkan oleh Pemerintah yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, petani, nelayan, pembudi daya ikan; (ii) penetapan ambang batas dan jenis bahan yang dapat ditambahkan pada pangan; (iii) kewajiban untuk memperoleh persetujuan Pemerintah terlebih dahulu atas pangan hasil rekayasa genetika, termasuk penggunaan bahan baku,bahan tambahan dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari rekayasa genetika. Dengan demikian, adalah kewajiban Pemerintah untuk memastikan bahwa peredaran pangan di wilayah Indonesia memiliki seperangkat aturan untuk menghindari kerugian konsumen yang muncul akibat mengkonsumsi pangan produk pertanian dan peternakan, termasuk pengawasan dan tindakan terhadap pelanggarannya.
Dari sisi pelaku usaha, kewajiban pelaku usaha adalah melakukan proses produksi dan distribusi yang merefleksikan kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi hak dasar konsumen atas kenyamanan, keamanan serta keselamatan konsumen. Kewajiban tersebut pada akhirnya akan membuat pelaku usaha menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memproduksi barang/jasa atau dalam hukum perlindungan konsumen yang dikenal sebagai doktrin caveat venditor (let the producer beware). Memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, merupakan salah satu bentuk implementasi dari doktrin tersebut. Setidaknya dengan informasi tersebut, membantu konsumen untuk menentukan pilihan untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi barang dan /atau jasa yang ditawarkan, walaupun pilihan yang diambil tidak menghilangkan tanggungjawab pelaku usaha atas hak dasar konsumen sebagaimana diuraikan di atas.
Apakah hanya Pemerintah dan pelaku usaha saja yang dibebankan untuk memastikan kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa? Tidak, konsumen pun “dibebani” untuk melakukan upaya dalam kapasitasnya selaku konsumen yakni membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dengan demikian, putusan WTO walaupun belum bersifat final, perlu disikapi bersama-sama oleh Pemerintah, pelaku usaha dan konsumen itu sendiri sehingga potensi ancaman kerugian kepada konsumen yang mungkin timbul dapat diminimalisasi. (***)