PUTUSAN SELA KASUS AHOK DAN KEMUNGKINAN HASIL PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA
Oleh BESAR (Desember 2016)
Setelah hakim mengetuk palu untuk putusan sela kasus dugaan penistaan agama pada tanggal 27 Desember 2016 lalu terhadap kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan putusan bahwa eksepsinya ditolak, berarti kasus tersebut akan terus dilanjutkan sampai kasusnya tuntas. Ada dua kemungkinan besar ke depannya terkait kasus yang dialami Ahok, yaitu: Ahok dinyatakan tidak bersalah dan bebas atau dinyatakan bersalah dan dihukum. Dari dua kemungkinan ini memunculkan kemungkinan-kemungkinan menurut hukum ketatanegaraan. Kemungkinan yang akan terjadi tersebut adalah:
Pertama: Meski eksepsi Ahok ditolak melalui putusan sela, namun putusan bersalah atau tidaknya baru akan diputuskan setelah melalui serangkaian sidang. Jika diasumsikan Ahok memenangkan Pemilukada, maka untuk menjadi gubernur putusan kasus yang sedang dijalaninya harus diputus bebas. Jika putusan pengadilan memutuskan bersalah maka secara hukum ketatanegaraan Ahok tidak dapat menduduki kursi gubernur, meski dalam Pemilukada ia menang.
Kedua; Dengan status Ahok sekarang ini maka kemungkinannya untuk memenangkan Pemilukada akan terkendala, karena statusnya yang masih sebagai terdakwa. Sepanjang kasus yang menimpanya belum selesai secara hukum. Jika ke depannya ia memenangkan Pemilukada, maka pelantikan dirinya sebagai gubernur akan terkendala karena proses hukum yang sedang dijalaninya akan memakan waktu yang panjang. Akibatnya, tampuk kekuasaan gubernur nantinya akan dijalankan oleh wakil dari pasangan Pemilukada sampai dengan proses hukum Ahok selesai.
Ketiga; Apabila Ahok dinyatakan bersalah oleh pengadilan dengan putusan inkrach, maka lamanya hukuman Ahok akan menghalanginya untuk menjalankan jabatan gubernur. Sekali lagi walaupun yang bersangkutan sebagai pemenang dalam Pemilukada 2017, kondisinya saat ini menjadi dilematis untuk dapat melenggang jadi gubernur Jakarta.
Ada dua hal yang bisa menjadi rujukan berpikir terhadap kasus yang sedang dialami Ahok, yakni yurisprudensi, yang terbukti ampuh untuk memenjarakan para penista agama. Hampir semua penista agama tidak bisa lepas dari jerat hukum ini, seperti Lia Aminuddin (Lia Eden) yang terjadi pada tahun 2006. Kasus yang terbaru adalah kasus Rusgiani yang dianggap menista agama Hindu pada tahun 2013, yang berujung pada putusan bersalah. Sementara rujukan yang lain yang dapat dijadikan alasan adalah kondisi politik yang ada saat telah begitu mudah menggeser posisi hukum. (***)