POLEMIK CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DI PENGADILAN
Oleh BAMBANG PRATAMA (Desember 2016)
Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 yang dimohonkan oleh Setya Novanto dan perdebatan tentang alat bukti CCTV pada kasus Jessica Kumala Wongso memunculkan silang pendapat tentang alat bukti CCTV di pengadilan. Terlebih lagi dengan revisi UU-ITE yang ikut menegaskan bahwa penyadapan harus dilakukan oleh penyidik. Ini artinya jika penyadapan tidak dilakukan oleh penyidik maka dianggap tidak sah. Muncul juga pendapat di masyarakat bahwa CCTV yang dipasang secara pribadi tidak bisa digunakan di pengadilan, karena CCTV tersebut tidak dipasang oleh penyidik. Alangkah banyaknya tugas penyidik nantinya selain untuk menyidik kasus pidana, juga harus diminta untuk memasang CCTV oleh masyarakat, dengan alasan legitimasi hukum. Pertanyaannya adalah apakah demikian menafsir penyadapan menurut hukum positif?
Mencermati isu tersebut di atas, seharusnya pembuat undang-undang menegaskan secara jelas pembedaan definisi antara penyadapan telekomunikasi yang berjenis audio, visual, dan audio visual. Ketiga jenis saluran telekomunikasi ini tentunya berbeda-beda penanganannya. Sebelum mengacu kepada UU-ITE, ada baiknya jika melihat definisi tentang penyadapan (intercept) dari Blacks Law Dictionary 9th Edition, yaitu: intercept: to covertly receive or listen to (a communication). Komunikasi di sini, pada mulanya ditujukan pada saluran telekomunikasi telepon. Tetapi, dengan perkembangan teknologi informasi, tafsir penyadapan tentunya perlu diperluas, karena bentuk telekomunikasi menjadi lebih bervariasi.
Penyadapan menurut UU-ITE diuraikan pada Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu:
Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Kemudian pada Pasal 31 ayat (1) diatur bahwa:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Berdasarkan pasal di atas, pembuat undang-undang telah membuat klasifikasi jenis penyadapan, yaitu: mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat. Selain klasifikasi, pembuat undang-undang juga memperluas tafsir penyadapan tidak terbatas pada telekomunikasi telepon, tetapi telekomunikasi secara luas, termasuk ke dalam perbuatan memasuki komputer milik orang lain (hacking). Ini berarti, perbuatan hacking ke dalam komputer milik orang lain menurut pembuat undang-undang dikategorikan sebagai penyadapan.
Terkait isu CCTV, ada kata kunci dari penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No. 19 tentang Perubahan UU-ITE, yaitu: ‘tidak bersifat publik’. Ini berarti ada jenis CCTV yang bersifat publik dan CCTV yang bersifat privat. Hal ini bisa dijelaskan bahwa, jika CCTV milik A merekam wilayah pribadi milik B maka CCTV milik A tidak bisa dijadikan alat bukti jika ternyata di wilayah milik pribadi milik B terjadi tindak pidana. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa wilayah milik B adalah wilayah privat, jika undang-undang ditafsir secara hitam dan putih. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah penyidik akan tunduk pada undang-undang, jika tindak pidana yang terjadi adalah pembunuhan sadis?
Sedangkan jika CCTV di suatu mall atau di tempat publik merekam suatu tindak pidana maka tentunya hasil rekaman CCTV tersebut bisa dijadikan alat bukti karena tidak melanggar wilayah privat milik orang lain. Di negara-negara maju, CCTV milik perorangan justru didukung oleh penegak hukum khususnya polisi, karena mereka meyakini bahwa filosofi dari penggunaan CCTV adalah untuk mengantisipasi kejahatan. Meski tidak dipungkiri ada tuntutan yang terjadi di Inggris pada kasus Hancock and Hughes pada tahun 2012. Pada kasus tersebut, Hughes dituntut karena CCTVnya merekam pekarangan milik Hancock. Meski pendekatan personal sudah dilakukan oleh Hancock kepada Hughes untuk memindahkan CCTVnya tetap tidak digubris, hingga akhirnya pada tahun 2013 Hughes diputus bersalah.
Belajar dari penjelasan di atas, maka seharusnya dapat menjawab permasalahan CCTV apakah dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Seharusnya perdebatan terhadap alat bukti elektronik seperti CCTV ini adalah legalitas dari duplikasi atau penggandaannya. Jika di dalam dokumen fisik, penggandaan atau fotokopi dari ijazah yang dilegalisir dari pihak berwenang maka fotokopi tersebut dianggap sudah sah dan dianggap sudah sesuai dengan dokumen aslinya. Pertanyaannya, apakah ada legalisir bagi bukti elektronik? Hal ini justru menjadi penting untuk membuktikan otentisitas dari dokumen elektronik. Perdebatan tentang alat bukti CCTV di pengadilan sebenarnya lebih ke arah otentisitas dari alat bukti yang dihadirkan di pengadilan. Hal ini didasarkan pada alasan penggandaan atau duplikasi dari alat bukti elektronik belum memiliki acuan yang jelas tentang otentisitasnya.
Isu yang tentang CCTV yang harus diantisipasi di masa mendatang adalah isu privasi karena peremakan CCTV atau media lainnya seperti drone menangkap wilayah privat milik orang lain yang seharusnya tidak boleh direkam tanpa seijin orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, pendapat yang menyatakan bahwa CCTV harus dipasang oleh penyidik adalah kekeliruan cara berpikir karena pada intinya masalah dari perekaman video CCTV adalah wilayah publik dan wilayah privat. Selain itu, apakah tidak terpikirkan bahwa beban tugas dari penyidik akan semakin banyak di karena selain bertugas untuk menyidik juga harus melayani pemasangan CCTV oleh masyarakat? (***)