MENGULIK REVISI UNDANG-UNDANG ITE
Oleh BAMBANG PRATAMA (Desember 2016)
Hingar-bingar pemberitaan media tentang perubahan UU-ITE begitu santer terdengar. Isu demonstrasi awal Desember lalu disinyalir turut dipropaganda oleh pihak-pihak tertentu melalui berbagai saluran media elektronik, baik melalui Whatsapp, Facebook dan sebagainya. Ada kesan, seolah-olah dengan adanya revisi UU-ITE dapat menangkap pelaku penyebar isu SARA di media elektronik. Padahal, kriminalisasi penyebar isu SARA sudah ada sejak diundangkannya UU-ITE pada tahun 2008, bukan sejak direvisinya UU-ITE menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mungkin saja upaya menakut-nakuti dengan menggunakan UU-ITE adalah salah satu strategi untuk meredam gejolak yang terjadi di masyarakat yang berada pada kondisi sensitif.
Dalam perspektif umum, mungkin saja ada rasa penasaran apa yang terjadi dari revisi UU-ITE ini? Apakah lebih banyak norma baru yang dianggap membatasi ruang gerak masyarakat atau sebaliknya? Berangkat dari pertanyaan tersebut di atas maka jawaban yang jelas dan objektif menjadi kebutuhan praktis, khususnya para pengguna media elektronik.
Beberapa hal baru dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Ketentuan |
Penjelasan |
Defisini Penyelenggara Sistem Elektronik pasal 1 angka 6a | Penyelenggara sistem elektronik adalah orang atau badan yang menjalankan sistem elektronik seperti toko online, penyedia web hosting, dan jasa layanan Internet lainnya |
Tentang penyadapan
Penjelasan pasal 5 dan pasal 31 |
Dipertegas tentang larangan penyadapan, bahwa penyadapan harus dilakukan oleh penyidik. |
Penegasan tentang perlindungan data pribadi
Pasal 26 ayat (3), (4), dan (5) |
– Kewajiban penyelenggara sistem elektronik menghapus data pribadi
– Kewajiban penyelenggara sistem elektronik menyediakan mekanisme penghapusan Kekurangan dari ketentuan ini adalah menunjuk peraturan pemerintah dan mensyaratkan penetapan pengadilan untuk penghapusan data pribadi. |
Tentang pencemaran nama baik dan pemerasan
Penjelasan pasal 27 ayat (3) dan (4) |
Ketentuan tentang pencemaran nama baik dan pemerasan mengacu pada KUH Pidana. Hal ini sejalan dengan pendapat MK tentang tafsir pasal pencemaran nama baik. |
Peran pemerintah menutup akses atas konten yang melanggar undang-undang
Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) |
Menegaskan kewenangan pemerintah untuk menutup akses atas konten yang melanggar ketentuan undang-undang, misalnya perjudian, pornografi, dan sebagainya. |
Tentang penyidikan
Pasal 43 ayat (3), (5) huruf h dan (7a) |
– Menegaskan bahwa penggeledahan dan penyitaan mengacu pada KUHAP
– Menambahkan mekanisme pemeriksaan bagi penyidik PNS untuk membuat data dan laporan untuk dapat menutup akses sistem elektronik. |
Pengurangan hukuman pada delik pencemaran nama baik dan delik pengancaman
Pasal 45 ayat (3), (4) dan ayat (5) |
– Pengurangan hukuman dari 6 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari 1 Milyar menjadi 750 juta
– Menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik dan pengancaman adalah delik aduan. |
Penambahan norma hate speech dan ancaman kekerasan
Pasal 45A dan 45B |
– Penambahan norma tentang penyebaran ujaran kebencian dan isu SARA diancam dengan kurungan 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar.
– Ancaman pidana atas pengancaman dengan menakut-nakuti adalah penjara 4 tahun dan/atau denda 750 juta |
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa revisi UU-ITE justru menimbulkan kesan yang lebih humanis dibandingkan dengan sebelumnya. Salah satu contohnya adalah dengan menegaskan bahwa delik pencemaran nama baik adalah delik aduan, bukan delik biasa, dan pada perubahan UU-ITE adanya pengurangan hukuman dan pengurangan jumlah denda.
Salah satu norma yang menjadi sorotan oleh penggiat kebebasan hak asasi manusia adalah tentang penutupan akses terhadap konten yang bermuatan pelanggaran undang-undang. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa penguatan peran pemerintah untuk menutup akses dianggap membatasi kebebasan berekspresi di dunia siber. Untuk mengantisipasi hal ini seharusnya dalam membaca norma penutupan akses oleh pemerintah seharusnya dapat mengacu pada teknis penutupan akses yang diatur dalam Pasal 43, bahwa adanya mekanisme pemeriksaan terlebih dahulu oleh penyidik PNS. Selain itu, seharusnya penutupkan akses ini dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas dengan mengukur daya rusak dari informasi negatif, sehingga objektivitas penutupan akses oleh pemerintah lebih terjaga. Semoga penjelasan singkat dari revisi UU-ITE ini bisa memberikan manfaat secara praktis. (***)