MENGEVALUASI JURNALISME MEDIA TELIVISI PADA PEMILU
Oleh ERNI HERAWATI (Desember 2016)
Pers dianggap sebagai pilar keempat dari demokrasi, yang dapat mengontrol kekuasaan, memungkinkan masyarakat untuk mengikuti jalannya pemerintahan yang berkuasa, dan memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara berbeda. Bentuk negara demokrasi mencerminkan fungsi utama negara yaitu melindungi hak asasi manusia, seperti kebebasan berbicara dan agama; hak untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum; kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam bidang politik, ekonomi, budaya dalam masyarakat; dan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan fair bagi warga negara untuk memilih. Dari prinsip tersebut dapat dilihat bahwa dalam negara demokrasi terdapat hubungan yang erat antara kekuasaan, media massa dan masyarakat, termasuk pula di dalamnya bagaimana penyelenggaraan pemilihan umum.
Namun ternyata dalam segitiga hubungan antara kekuasaan, media massa dan masyarakat, masyarakat seringkali berada pada kedudukan yang subordinat. Media dianggap punya kecenderungan untuk dekat dengan struktur kekuatan politik dan ekonomi yang kuat. Kedekatan tersebut akan terasa sangat jelas dalam peristiwa pemilu. Masyarakat sebagai pasar bagi partai politik dipenuhi dengan terpaan informasi tentang partai politik yang berujung pada rayuan (atau bisa disebut “perintah”) kepada siapa masyarakat harus memberikan suaranya.
Sejarah politik hukum di Indonesia membuat sistem pemilu terus mengalami evolusi, dari sejak era kepemimpinan Presiden Sukarno, Presiden Suharto, sampai dengan sekarang. Perubahan sistem pemilu pada setiap periode kekuasaan tersebut dilakukan melalui beberapa perubahan peraturan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk pemilihan umum yang paling ideal. Saat inipun sedang dirancang regulasi mengenai pemilihan umum untuk tahun 2019. Suatu pemilu yang recananya akan dilaksanakan secara serentak antara pemilihan untuk presiden dan pemilihan untuk anggota legislatif. Dalam merancang regulasi tersebut, ada baiknya mempertimbangkan segala kondisi yang terkait dengan hubungan antara pemerintah, media massa, dan masyarakat.
Masih bisa diingat bagaimana media massa berperan dalam pemilu, terutama pada pemilu presiden (pilpres) di Indonesia yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Pilpres 2014 hanya diikuti oleh dua pasangan peserta calon yaitu pasangan pertama nomor urut 1 adalah Prabowo dan Hatta Rajasa, dan pasangan kedua nomor urut 2 adalah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Meskipun jumlah pasangan calon lebih sedikit disbanding pilpres periode sebelumnya, namun aroma persaingan politik antara dua kubu justru sangat jelas terasa. Suasana persaingan tersebut tercermin dari isi pemberitaan media massa, baik media cetak maupun elektronik, dan meluas sampai dengan jejaring media sosial. Aroma panas persaingan tidak hanya terjadi pada level partai politik, namun terjadi pada level media massa dan juga masyarakat. Pilpres 2014 telah membuat masyarakat terbagi dalam dikotomi yang sangat jelas dalam memberikan dukungan fanatik kepada setiap calon yang mereka dukung. Dukungan masyarakat terhadap setiap calon terutama dapat dilihat dari komentar-komentar yang saling berbalas, yang disampaikan oleh masyarakat lewat jejaring media sosial. Namun ternyata kecenderungan untuk berpihak pada salah satu pasangan peserta pilpres juga melanda media massa baik media cetak maupun utamanya media televisi.
Berdasarkan hasil pengamatan, selama masa kampanye dan bahkan sampai setelah masa pilpres usai diselenggarakan, terdapat fakta yang menarik untuk diamati. Beberapa media penyiaran televisi secara eksplisit dapat dikatakan masing-masing memihak kepada salah satu calon. Keberpihakan mereka ternyata semakin menambah polemik di masyarakat yang sudah terbelah cukup ekstrem menjadi dua kubu di wilayah media sosial. Stasiun televisi yang mendapat sorotan publik pada waktu itu adalah TV One dan Metro TV. Kedua lembaga penyiaran televisi tersebut mempunyai fokus konten yang sama yaitu pada pemberitaan. Pada masa sebelum dan ketika waktu kampanye, kedua stasiun televisi tersebut memberi judul pemberitaan yang berbeda tentang calon-calon pasangan pilpres. Pada TV One, pasangan peserta pertama yaitu Prabowo dan Hatta Rajasa, pemberitaan tentang mereka selalu diberi tajuk sebagai “Presiden Pilihan Rakyat”, sedangkan untuk pasangan peserta kedua yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla, TV One menyebut sebagai “Calon Presiden”. Sebaliknya pada Metro TV, berita mengenai pasangan peserta Prabowo dan Hatta diberi tajuk “Calon Presiden” dan berita mengenai pasangan peserta kedua Joko Widodo dan Jusuf Kalla diberi tajuk “Presiden Pilihan Kita”.
Perbedaan tersebut berlanjut bahkan sampai pilpres telah usai diselenggarakan. Isu kemudian beralih pada hasil hitung cepat (quick count) yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei, dimana hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survei tersebut kemudian disiarkan oleh berbagai media massa, tidak terkecuali TV One dan Metro TV. Hasil ini menjadi sorotan tajam oleh publik karena saling bertolak belakang. Terlepas dari apakah hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei tersebut dapat dipercayai kebenarannya, tetapi hasil survei mereka yang disiarkan oleh kedua lembaga penyiaran tersebut berbanding lurus dengan pemberitaan sebelumnya. Jika TV One menyebut pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa sebagai “Presiden Pilihan Rakyat”, maka hasil survei yang ditampilkan adalah hasil yang memenangkan Prabowo dan Hatta Rajasa (perbandingan suara kisaran 51% : 49% untuk Prabowo dan Hatta Rajasa). Sedangkan Metro TV yang menyebut “Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai “Presiden Pilihan Kita”, maka hasil survei yang ditampilkan adalah hasil yang memenangkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (perbandingan suara kisaran 53% : 47% untuk Joko Widodo dan Jusuf Kalla).[1]
Komisi Penyiaran Indonesia pada waktu itu telah meminta semua stasiun televisi untuk menghentikan penyiaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan quick count dan real count hasil pilpres 2014. Hal ini dilakukan demi menjaga situasi dan kondisi politik yang sehat pada masyarakat karena dikuatirkan tayangan-tayangan tersebut akan dapat memprovokasi masyarakat sehingga dapat menimbulkan konflik dan juga ditakutkan akan adanya penggiringan opini masyarakat.
Mengingat bagaimana hubungan media dengan kekuasaan dan juga masyarakat pada peristiwa pilpres tersebut, maka akan sangat baik sekali jika pembuat undang-undang mengevaluasi kembali bekerjanya media terhadap peristiwa pemilu. Apalagi jika rencana kedepannya pemilu akan diselenggarakan secara serentak. Maka antisipasi terhadap memanasnya suhu politik di tingkat masyarakat juga harus dipertimbangkan. Karena jika ditengok kembali di wilayah media sosial, sisa-sisa perdebatan pilpres 2014 masih terus berlangsung sampai sekarang. (***)
[1] Diolah dari http://m.bisinis.com/quick-news/read/20140710/355/242438/hasil-quick-count-pilpres-2014-pengakuan-6-lembaga-survei-siap-telanjangi-4-lembaga-di-tv-one (diakses pada 1 Agustus 2014)
Published at :