MENGHINDARI FORMALITAS DALAM WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN
Oleh IRON SARIRA (Desember 2016)
Salah satu bidang ketenagakerjaan yang wajib dilakukan oleh pemerintah adalah tindakan pengawasan atas pelaksanaan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dan pekerja. Pengawasan ini guna menjamin bahwa aspek macro minimal (norma kerja) yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terpenuhi di internal perusahaan. Inilah ekspektasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentan Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLK).
Pengaturan terhadap syarat dan norma kerja dalam suatu perusahaan berguna untuk memberikan data aktual dan terkini terkait kesesuaian terhadap norma positif. Keberlakuan suatu norma positif tentu tidak terlepas dari syarat terpenuhi ketiga aspek keberlakuan setiap hukum positif, yaitu keberlakuan dalam dimensi yuridis, sosiologis, dan filosofisnya.
Sayangnya, masih banyak pandangan dalam praktik di tingkat perusahaan, bahwa WLK hanya dilakukan sebagai formalitas belaka. WLK dilihat hanya sebagai suatu pemenuhan administratif operasional semata, dengan memberikan data yang jauh dari kondisi aktual. Pandangan ini boleh jadi juga ada di sisi pemerintah sebagai pihak pengawas. Penerapan pengawasan yang dilakukan oleh pejabat instansi terkait juga tidak lebih hanya dipandang sebagai kegiatan operasional atau mungkin sebagai “proyek” perizinan. WLK diberikan sebagai bagian dari penilaian untuk diberikan perpanjangan suatu izin (atas objek WLK terkait).
Walaupun tidak bermaksud membuat generlisasi, praktik-praktik demikian sepanjang pengamatan penulis, memiliki tendensi ke arah sana. Untuk itu, sangat perlu dilakukan upaya penyelarasan terkait pemaknaan dari diadakannnya WLK ini.
Pertama-tama perlu disadari tentang landasan filosofis dari WLK, yang menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981. Penyelarasan terhadap makna dan nilai filosofis dari adanya WLK dalam praktik pengawasan ketenagakerjaan tidak lain dimaksudkan sebagai suatu kunci utama terhadap pintu masuk dalam mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan yang tentunya mengangkat nilai-nilai Pancasila secara optimal. Pandangan adminitratif operasional serta “proyek” perijinan perlu dikikis sedikit demi sedikit dengan upaya melakukan terobosan, baik dari sisi substantif maupun operasional, sehingga kesadaran terhadap keberadaan WLK memiliki nilai manfaat (dayaguna). Kesadaran ini adalah kunci pembuka menuju terciptanya hubungan kerja yang harmonis di internal perusahaan sebagai bagian dari hubungan industrial Pancasila yang dicita-citakan dalam skala lebih luas.
WLK menuntut setiap perusahaan melakukan pemutakhiran data ketenagakerjaan yang ada di setiap perusahaan. Pemutakhiran menuntut akurasi agar data/informasi yang diberikan dapat digunakan secara tepat oleh pemerintah selaku pengawas hubungan kerja.
Jadi, pemutakhiran tidak boleh dilakukan atas dasar formalitas. Pemutakhiran menjadi suatu hal yang perlu dilakukan sebagai suatu proses kajian berkelanjutan dalam membentuk kesesuaian penerapan norma positif WLK sebagaimana yang dikehendaki oleh tatanan hubungan industrial yang berkeadilan. (***)
Published at :