LANDASAN KONSTITUSIONAL UNDANG-UNDANG WAJIB LAPOR KETENAGAKERJAAN
Oleh IRON SARIRA (Desember 2016)
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah menjelaskan bahwa kesamaan kedudukan setiap warganegara di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut tanpa ada pengecualiannya. Ketentuan di atas memberi landasan konstitusional bagi setiap warganegara dalam ikut berperan dalam hukum dan pemerintahan. Landasan ini sekaligus penting dalam konteks yang lebih spesifik yang ingin diangkat dalam artikel ini, yakni terkait wajib lapor ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981.
Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan memiliki tujuan, yakni guna untuk mendapatkan laporan kondisi ketenagakerjaan di dalam perusahaan, yang pada gilirannya dapat dijadikan dasar oleh pemerintah dalam melakukan kegiatan-kegiatan baik dalam tatanan norma dan syarat kerja, serta pengawasan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi substansi pengisian laporan tersebut adalah mengenai kebijakan di bidang perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja. Dilihat dari sudut perusahaan, maka Perusahaan wajib melakukan pelaporan ini sebagai bagian dari kewajibannya menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dari sudut pekerja, ketentuan wajib lapor ketenagakerjaan ini terhubung pula dengan hak asasi manusia. Untuk itu pasal-pasal yang ada di dalam UUD 1945, yakni Pasal 28A dan Pasal 28D ayat (1) dan (2) menjadi penting untuk diperhatikan. Pasal 28A menyatkaan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28D ayat (1) dan (2) kemudian menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Kata “hubungan kerja” yang ada di dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 ini penting untuk dicermati. Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pemberi kerja (pengusaha) dengan penerima kerja (pekerja). Di sini ada perbuatan hukum memberikan pekerjaan dan menerima pekerjaan yang diberikan atas dasar perintah (oleh pengusaha) dan dengan itu sebagai imbalannya pekerja mendapatkan upah. Hubungan kerja mensyaratkan terpenuhinya tiga hal, yakni adanya pekerjaan, adanya perintah, dan adanya upah, yang semuanya dilakukan pada kurun waktu tertentu. Hubungan kerja seperti ini adalah landasan awal untuk melihat hakikat terjadinya kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja sebagai prinsip penetapan dan pemberlakuan undang-undang wajib lapor ketenagakerjaan.
Hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dengan pekerja menurut pada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Perjanjian kerja tersebut selanjutnya disebutkan dalam Pasal 51 dibuat secara tertulis atau lisan, yang dibuat atas dasar adanya kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, serta pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52 ayat 1 huruf a,b,c,d). Sehingga, apabila Pasal 52 ini disandingkan dengan KUHPerdata Pasal 1320 tentang Syarat Sah Perjanjian, maka dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini, sebagai berikut:
Pasal 52
UU No. 13/2003 |
KUHPerdata
Pasal 1320 |
Penjelasan |
1. Kesepakatan Kedua Belah Pihak | 1. Sepakat | Para pihak telah bersepakat dan mengikatkan dirinya dalam hubungan hukum (pekerjaan) yang diberi dan diterima. |
2. Kemampuan dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum | 2. Cakap | Para pihak memiliki kecakapan dalam melakukan hubungan hukum, karena telah memiliki kecakapan baik secara lahiriah maupun batiniah. |
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan | 3. Hal atau objek tertentu | Adanya hal yang dilakukan. |
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. | 4. Sebab halal / Itikad baik | Tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. |
Jadi, inti dari hubungan kerja sebagaimana terlihat dari penjelasan tabel di atas adalah adanya kesepakatan para pihak yang telah memiliki kemampuan untuk sama-sama mengikatkan dirinya ke dalam perbuatan memberikan pekerjaan dan menerima pekerjaan yang dilakukan dalam hubungan kerja atas pekerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perbuatan memberikan dan menerima pekerjaan dalam hubungan kerja sebagaimana diketahui memunculkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Hak dan Kewajiban inilah yang sama-sama memberikan terwujudnya pelaksanaan terhadap adanya kesempatan kerja serta perlindungan terhadap tenaga kerja sebagai manifestasi dari pelaporan terhadap segala bentuk, situasi serta kondisi yang terdapat di dalam perusahaan, yang selanjutnya menjadi bentuk perhatian dalam bidang pengawasan ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai wujud terpenuhinya kesejahteraan dan harmonisasi hubungan kerja yang mengarah kepada hubungan industrial yang Pancasilais (berlandaskan terhadap nilai-nilai Pancasila).
Pemerintah dalam memberikan perlindungan tindakan legal (perlindungan hukum) baik kepada pengusaha maupun pekerja dalam pelaksanaan hubungan industrial menerapkannya dalam konteks bidang pengawasan ketenagakerjaan sebagai salah satu fungsi yang dimiliki dalam aspek macro minimal (Pengawasan). Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah perlindungan hukum kepada pengusaha dan pekerja agar terjadi keseimbangan dalam penerapan hak serta kewajiban. Gambarannya dapat dilustrasikan sebagai berikut:
Hubungan hukum tersebut (tercermin dalam gambar di atas) memperlihatkan adanya hak dan kewajiban sebagai suatu implikasinya yang secara nyata diberikan oleh hukum. Namun, hukum harus dibedakan dari hak serta kewajiban yang timbul manakala hukum tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret. Tatanan yang diciptakan oleh hukum itu baru menjadi kenyataan apabila kepada subjek hukum dberikan hak dan dibebani kewajiban, hal ini diartikan bahwa setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak adalah hak, sedang dipihak lain adalah kewajiban. Hak dan kewajiban merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum, hak dan kewajiban bukanlah merupakan kumpulan peraturan atau kaedah, melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan, artinya hak akan ada manakala kewajiban dilakukan. Peran pemerintah adalah memastikan bahwa hubungan kerja ini ditetapkan dan berlangsung dengan harmonis, dengan masing-masing pihak saling menghormati hak dan kewajibannya.
Melalui Undang-Undang Wajib Lapor Ketenagakerjaan, pemerintah memperoleh data/informasi untuk dapat secara berkelanjutan mengawasi pelaksanaan hubungan kerja ini. Inilah hakikat yang diamanatkan oleh UUD 1945 sebagai landasan konstitusional wajib lapor ketenagakerjaan. (***)
Published at :