People Innovation Excellence

AKUNTABILITAS PELANGGARAN HAM PADA SEKTOR BISNIS

Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2016)

Artikel ini dikembangkan dari workshop diadakan oleh KONTRAS di mana  penulis diundang sebagai salah satu narasumber yang diadakan baru-baru ini di Jakarta. Dalam kerangka acuan  (term of reference) workshop ini, KONTRAS menyebutkan menyebutkan bahwa pada kurun waktu tahun 2016 telah terjadi 149 pelanggaran HAM akibat dari aktivitas sektor bisnis di Indonesia.  Sebagian besar bentuk pelanggaran HAM itu adalah dalam kasus-kasus perampasan hak tanah masyarakat baik masyarakat lokal maupun masyarakat adat, sektor Sumber Daya Alam, pencemaran dan perusakan lingkungan  serta kasus-kasus eksplorasi tambang. Artikel singkat ini ingin mengulas tentang temuan KONTRAS tersebut serta memperdalam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi atau sektor bisnis.

Penulis diundang untuk memaparkan tentang “Akuntabilitas Kejahatan Korporasi dalam Pelangaran HAM di Sektor Bisnis”. Pertanyaan yang ada di kepala penulis adalah mengapa memilih term akuntabilitas dan bukan memilih responbilitas korporasi. Akuntabilitas (accountability) lebih banyak digunakan dalam konteks akuntansi yang diartikan sebagai  pertanggungjelasan. Ilmu akuntansi membedakan antara responsibilitas (pertanggungjawaban) dan akuntabilitas. Namun dalam beberapa literatur akuntabilitas  dipersamakana dengan responsilitas. Akuntabilitas sendiri berasal dari Bahasa Latin yaitu accomptare yang diartikan sebagai mempertanggungjawabkan, bentuk kata dasarnya adalah computare (memperhitungkan) dan putare (mengadakan perhitungan).  Bruce Stone, O.P. Dwivedi, and Joseph G. Jabbra  membedakan 8 jenis akuntabilitas yang umumnya  berkaitan dengan: moral, administratif, politik, manajerial, pasar, hukum dan peradilan, hubungan dengan konstituen dan profesional.

Andrew Clapham dalam bukunya Human Rights Obligation of non State Actors (2010) membedakan antara corporate accountability dan corporate responsibility. Menurutnya, Corporate accountability or compliance refers to requiring corporations to behave according to social norms or face consequences. Sementara itu corporate accountability diartikannya sebagai corporate responsibility refers to any attempt to get corporations to behave responsibility on a a voluntary basis, out of either ethical orbottom-line considerations. Dengan demikian ada perbedaan yang significan antara keduanya, yang pertama (corporate accountability) lebih menekankan pada pertanggungjawaban korporasi pada norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat dan mempertanggungjawabkan konsekuensi atas pelanggaran norma tersebut. Sedangkan corporate accountability lebih menekankan pada pertanggungjawaban sukarela (voluntary) terhadap dampak dari aktivitas bisnis.  Dapat dipahami mengapa pemerintah lebih suka menggunakan Corporate Social Responsibility (CSR) dari pada Corporate Social Accountability (CSA).

Kejahatan Korporasi

Dalam beberapa literatur ditemukan  beberapa terminologi yang sering digunakan untuk menyebutkan tentang kejahatan korporasi yaitu corporate crime, business crime, dan economic crime.  Kejahatan korporasi lebih merujuk pada perbuatan-perbuatan yang melanggar norma, hukum, kebiasaan yang dilakukan oleh korporasi. Korporasi sendiri merupakan kumpulan orang yang memiliki tujuan bersama dan dalam rangka memperoleh keuntungan. Perbuatan korporasi harus dibedakan dengan perbuatan orang per orang, sehingga pertanggungjawabannya pun tidak bisa dibebankan pada orang per orang tetapi dibebankan kepada korporasi sebagai sebuah institusi.

Secara teoretis ada dua jenis kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yaitu crimes for corporation dan criminal corporation. Crimes for corporation adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi. Pelanggaran hukum ini terjadi karena korporasi ingin mendapatkan keuntungan namun dalam mengumpulkan keuntungan tersebut adakalanya terlibat dalam pelanggaran hukum atau penyelewengan hukum, misalnya penggelapan pajak, memanipulasi laporan tahunan dan lain-lain. Sementara itu criminal corporation dimaknai sebagai  pembentukan korporasi ditujukan  untuk melakukan perbuatan-perbuatan kriminal. Jadi, korporasi dibentuk untuk melakukan perbuatan-perbuatan kriminal (I.S. Susanto, 1992).

Tidak mudah untuk memberikan batasan antara perbuatan korporasi dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang per orang di dalam korporasi.  Dalam hukum pidana, bisa saja perbuatan yang dilakukkan oleh organ korporasi tidak mewakili kepentingan korporasi tetapi mewakili diri si pembuat, sehingga korporasi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Namun, dalam konteks lain, bisa juga perbuatan yang dilakukan oleh orang per orang yang ada di dalam korporasi merupakan wujud dari tingkah laku korporasi sehingga pertanggungjawabannya dibebankan kepada korporasi. Namun bisa juga suatu perbuatan organ korporasi mencerminkan watak dari orang per orang dan mencerminkan juga watak dari korporasi itu, sehingga pertanggungjawaban dibebankan kepada orang per orang dan juga pada korporasi itu sendiri.

Clinard dan Yeagar (1980) memberikan indikator untuk memastikan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan korporasi sehingga pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasi. Setidaknya menurutnya ada 11 (sebelas) indicator sebuah perbuatan mencerminkan sebagai perbuatan korporasi yaitu  : (1) the degree of loss to the public; (2) the level of complicity by high corporate manager; (3) the duration of violation; (4) the frequency of violation by the corporation; (5) evidence on intent to violate; (6) evicende of exortion, as in bribery cases; (7) the degree of notoriety engendered by the media; (8) precedent in law; (9) the history of serious violation; (10) deterrence potencial; (11) the degree of corporation evinced  by the corporation.

Indikator yang dikemukakan di atas dapat dijadikan sebagai alat scan atau alat filter untuk menentukan apakah sebuah perbuatan korporasi masuk dalam kategori kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau bukan. Kritik saya terhadap indikator tersebut adalah bahwa indikator tersebut harus dioperasionalisasikan lagi, masih perlu diuraikan unsur-unsur dari tiap indikator sehingga memudahkan bagi siapa saja untuk membatasi apakah perbuatan itu masuk dalam perbuatan pidana (kejahatan) atau pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan korporasi atau bukan oleh korporasi.

Selain melakukan kejahatan yang berimplikasi pada tindak pidana, korporasi juga bisa melakukan perbuatan-perbuatan lain yang memiliki implikasi pada hukum perdata, hukum administrasi negara dan juga dalam konteks terbaru melakukan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, penting untuk memberikan alat ukur sebagai satu cara untuk memastikan bahwa perbuatan melawan hukum tersebut dimasukkan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, sehingga korporasi sebagai institusi yang bertanggung jawab dan diminta pertanggungjawabannya.

Pelanggaran HAM oleh Korporasi

Dalam praktiknya, korporasi ternyata tidak hanya melakukan kejahatan yang berimplikasi pada hukum pidana tetapi juga melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).  Sebagaimana telah disebutkan di awal-awal tulisan ini, KONTRAS mencatat ada 149 pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi ketika menjalankan bisnisnya.  Pertanyaannya adalah apakah indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa sebuah bisnis melanggar HAM?  Pertanyaan ini tidak mudah untuk menjawabnya. Banyak literatur hanya menyebutkan beberapa contoh saja, tetapi belum secara konkret menjabarkan indikator dan unsur-unsurnya. Beberapa contoh saja dapat dikemukakan, misalnya ketika perusahaan  bersekongkol dengan aparat keamanan dalam menekan para pelaku unjuk rasa lalu menggunakan cara-cara kekerasan atau mengusir penduduk sipil dari lahan adat mereka karena di lahan tersebut ada sumber daya mineral yang luar biasa.

Untuk mengukur perbuatan yang dilakukan korporasi masuk kategori pelanggaran HAM (kejahatan HAM) atau bukan maka harus dilihat dari dua sisi, yaitu pertama dengan menggunakan pendekatan teori perbuatan melawan hukum formil dan kedua dengan menggunakan teori perbuatan melawan hukum materiil. Kedua teori ini mengadopsi dari teori yang sama yang sudah dikembangkan lebih dahulu oleh para scholar hukum pidana baik di Belanda maupun di Indonesia. Penulis sendiri terinspirasi dari dua scholars terkemuka, yaitu Jan Remmelink (1953/1968) dan Moeljatno (1983).  Kedua ilmuwan hukum pidana ini banyak memberikan ulasan dalam konteks hukum pidana dan hingga sekarang doktrin yang dikembangkannya masih dipergunakan dalam pelajaran hukum pidana di Indonesia dan di Belanda.

Dari dua teori ini, penulis ingin mengkaitkannya dengan pelanggaran HAM yang yang dilakukan oleh korporasi. Teori perbuatan hukum yang yang formil, yang dilarang adalah perbuatannya, tolok ukurnya sepanjang perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik, maka perbuatan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai perbuatan pelanggaran HAM. Sementara itu dalam teori perbuatan materiil, maka perbuatan itu baru bisa dilarang sepanjang telah munculnya akibat yang dilarang. Jika akibat yang dilarang belum muncul maka tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan pelanggaran HAM.

Indikator yang dapat dikembangkan dalam teori perbuatan melawan hukum formil adalah bahwa perbuatan-perbuatan tersebut masuk dalam perbuatan pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur dalam beberapa instrumen HAM, dan perbuatan tersebut dilakukan oleh korporasi. Dengan kata lain, perbuatan tersebut mencocoki rumusan pelanggaran HAM yang telah diatur dalam berbagai instrumen HAM. Kesulitan terbesar dengan teori perbuatan formil adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam instrumen HAM misalnya standard perburuhan (ILO convention),  standar perlindungan wanita (CEDAW), standard perlindungan anak (CRC), dan lain-lain telah juga dirumuskan dalam hukum pidana nasional di banyak negara, sehingga kejahatan yang dilakukan oleh korporasi masuk atau sudah dimasukkan sebagai kategori kejahatan dalam konteks hukum pidana.  Hampir tidak ditemukan perbedaan signifikan antara perbuatan pelanggaran HAM dan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi dan sarana hukum yang digunakan adalah sarana hukum pidana. Meskipun demikian, dalam konteks HAM sudah timbul upaya untuk memberikan batasan atas perbuatan melawan hukum yang formil ini yaitu perbuatan terebut dilakukan dengan sistemik dan masif. Indikator ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kejahatan itu dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat  dan bukan kejahatan pidana biasa.

Teori perbuatan melawan hukum materiil dalam konteks HAM : perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah ketika dampak atau akibat dari perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang dilarang dalam konteks HAM. Artinya, setelah munculnya akibat yang dilarang oleh berbagai insrumen HAM barulah perbuatan tersebut masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Akibat yang dilarang misalnya munculnya bencana kemanusiaan, munculnya kematian masal, serta akibat-akibat lain yang menimbulkan kesenggaraan yang luar biasa dialami oleh penduduk sipil. Dalam konteks ini yang dinilai bukan kadar perbuatannya, tetapi kadar akibatnya. Dengan demikian, korporasi yang melakukan perbuatan dan menimbulkan akibat yang dilarang, dan akibat tersebut masuk dalam kategori pelanggaran HAM (berat), maka korporasi sudah dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM.

Instrumen Hukum Pelanggaran HAM

Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC) telah memberikan batasan hanya pelanggaran HAM berat saja yang dapat diadili di dalam pengadilan ini yang meliputi perang, genosida, kejahatan kemanusiaan dan agresi. Uniknya pengadilan HAM ini tidak menyebutkan  dirinya sebagai International Human Rights Court (IHRC) tetapi ICC. Ini bisa ditafsirkan meskipun kejahatan yang dilakukan masuk dalam kategori HAM berat tetapi pelaku kejahatan tetap diminta pertanggungjawaban pidananya. Hal lain yang perlu dicatat adalah ICC juga belum memasukkan korporasi sebagai pelaku pelanggaran HAM, tetapi hanya individu-individu saja.  Oleh karena itu, ICC memperkenalkan model pertanggungjawabannya adalah individual responsibility dan belum atau tidak state/corporation responsibility.

Demikian halnya juga di Indonesia, pembentukan pengadilan HAM ad hoc melalui Undang-Undang No. 26 tahun 2000 juga didasarkan pada 2 pelanggaran HAM berat saja yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida, dan tidak memasukkan pelanggaran HAM biasa dalam konteks pengadilan HAM ini. Pelanggaran HAM biasa (tidak berat) akan menggunakan sarana hukum pidana atau sarana hukum perdata/administrasi negara untuk menyelesaikannya termasuk pengadilannya. Pelaku akan dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana, hukum perdata atau hukum administrsi Negara. Pengadilan HAM ad hoc juga tidak memasukkan korporasi sebagai subjek pelanggaran HAM. Undang-undang ini melakukan sebagian  “copy paste” atas delik-delik HAM yang diatur dalam Statuta Roma.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi saat ini tetap dimasukkan sebagai perbuatan  pidana. Tidak ada mekanisme pengadilan HAM untuk korporasi yang melakukan pelanggaran HAM. Sebut saja Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32/2009). Undang-Undang ini telah mengkategorikan korporasi sebagai subjek hukum, artinya sudah dapat dinyatakan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup baik berupa pencemaran maupun perusakan lingkungan.  Korporasi juga dapat diminta pertanggungjawabannya baik atas perbuatannya maupun akibat dari perbuatannya yang menimbulkan rusaknya atau tercemarnya lingkungan. Korporasi bisa dipidana denda, bayar ganti rugi, merhabilitasi lingkungan yang rusak dan atau tercemar bahkan bisa dicabut izinnya.

Penutup

Situasi yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa hukum nasional kita perlu dilakukan amandemen agar korporasi dapat dijadikan subjek pelanggaran HAM sehingga dapat diminta pertanggungjawaban HAM. Hanya saja perlu ada batasan juridis delik-delik yang masuk dalam katergori HAM dan delik-delik yang masuk dalam kategori hukum pidana. Pertanggungjawaban korporasi yang melakukan pelanggaran HAM pun diperluas, tidak hanya pertanggungjawaban pidana tetapi juga bisa diminta pertanggungjawaban perdata dan bahkan pertanggungjawaban administrasi, sehingga tidak perlu dibentuk pengadilan HAM khusus, tetapi cukup dengan pengadilan yang ada sekarang diperluas kewenangannya termasuk mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. (***)


AS

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close