MENGUKUR KEBENARAN
Oleh M. BATTLE SON (Desember 2016)
Sering terjadi dalam suatu silang pendapat masing masing pihak merasa dirinyalah yang paling benar dengan mengemukakan sederet argumentasi yang ilmiah ataupun yang tidak ilmiah yang menggunakan logika ataupun yang tidak menggunakan logika. Yang menjadi pertanyaan siapakah yang paling benar di antara mereka yang bersilang pendapat?
Bagi banyak orang, kebenaran adalah apa yang bisa dia terima berdasarkan akal pikirannya. Namun akal pikiran seseorang dipengaruhi oleh dua hal, yaitu referensi pengetahuan yang masuk dan mengendap di dalam akal pikirannya (biasa saya sebut sebagai ‘term of reference [ToR]) serta pengalaman hidup yang telah dia jalani dalam hidupnya (biasa saya sebut ‘field of experience [FoE]). Dengan alat ToR dan FoE inilah sesuatu akan dikaji benar atau tidaknya sesuatu menurut si pengkaji. Bagi mereka yang mempunyai ToR dan FoE cukup mumpuni, tentu akan berbeda hasilnya dalam mengkaji kebenaran dibandingkan mereka yang ToR dan FoE nya tidak mumpuni (dalam bahasa gaulnya orang semacam ini biasa disebut wilayah bermainnya kurang jauh dan temannya kurang banyak). Ada kemungkinan seseorang ToR bagus sekali tapi FoE kurang bagus. Begitu pula sebaliknya, FoE bagus ToR jelek. Hal ini juga berpengaruh di dalam memahami kebenaran.
Dalam praktik hukum, khususnya di litigasi, yakni dalam kancah arena yang dipagari oleh hukum positif, pihak yang berselisih masing masing akan mencoba mendekati atau bahkan mempengaruhi ToR dan FoE yang ada dalam pikiran hakim agar berpihak kepadanya, sehingga pihaknya yang akan disebut benar oleh hakim dalam persidangan. Dalam dunia hukum nonlitigasi, khususnya saat bernegosiasi untuk membuat kontrak bisnis, masing masing pihak juga akan mencoba mempengaruhi ToR dan FoE pihak yang diajak berbisnis agar bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya.
Dalam dunia politik begitu juga. Jika seseorang melihat suatu rezim politik yang berkuasa, maka dia akan mengukur kebenaran rezim politik tersebut berdasarkan Tor dan FoE yang dia punya. Maka. tak heran jika dalam menilai suatu rezim politik ada yang pro dan ada yang kontra mengenai ‘kebenaran’ rezim tersebut.
Jadi kebenaran yang sebenar benarnya benar itu yang bagaimana? Manusia dilengkapi beberapa alat untuk melakukan deteksi terhadap sesuatu. Alat yang pertama adalah pancaindera. Apakah pancaindera bisa untuk mengukur kebenaran yang absolut? Jawabannya: tidak. Contohnya, saat kita melihat air di kejauhan di padang pasir, ternyata setelah didekati air itu tidak ada (fatamorgana). Alat yang kedua adalah akal pikiran yang dipengaruhi oleh ToR dan FoE. Apakah akal pikiran bisa untuk mengukur kebenaran yang absolut? Jawabannya, tidak (sudah diuraikan di atas). Alat yang berikutnya adalah suara hati. Apakah suara hati itu bisa mengukur kebenaran yang absolut? Jawabannya hampir iya, namun kelemahan suara hati adalah bahwa kita tidak bisa memerintah suara hati untuk muncul kapan saja pada saat kita membutuhkannya. Alat berikutnya adalah nyawa (sukma). Sayangnya kebenaran menurut sukma itu tidak bisa dikomunikasikan kepada pihak lain karena pada saat akan mengkomunikasikan kebenaran sukma pada pihak lain, pesan yang disampaikan harus melalui alat manusia yang lain seperti pikiran, ucapan, dan lain lain. Pada posisi seperti ini kebenaran sukma akan terkontaminasi dengan apa yang ada dalam pikiran dan alat manusia yang lain. Jadi kebenaran sukma sifatnya sangat subjektif untuk diri sendiri.
Ketika kebenaran wahyu Tuhan (Allah) yang dianggap mutlak oleh mereka yang mempercayainya lalu disampaikan kepada manusia lain, sudah pasti akan terhalang oleh kontaminasi alat pikiran manusia lain yang menerima pesan di mana seperti diuraikan di atas akal pikiran manusia yang menerima receptornya adalah ToR dan FoE. Tapi ada juga manusia yang akal pikirannya sebenarnya tidak bisa atau tidak mampu menggapai kebenaran wahyu itu namun karena sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan akal pikirannya dia bisa menerima kebenaran wahyu tersebut, maka di sinilah sukmanya yang bekerja mengukur kebenaran tersebut.
Jadi mengukur kebenaran jika dengan akal pikiran tingkat relativitasnya sangat tinggi. Bisa relatif dari dimensi ruang ataupun dimensi waktu. Oleh karena itu mengukur kebenaran itu sendiri bisa jadi benar dan bisa jadi tidak benar.
Tulisan inipun ditujukan untuk mereka yang mencari kebenaran termasuk diri penulis sendiri. (***)
Published at :