People Innovation Excellence

EKSISTENSI LEMBAGA PENEGAK HUKUM DI TENGAH ARUS SOSIAL MEDIA

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Desember 2016)

Indonesia menempati urutan ke enam jumlah pengguna internet di dunia. Pada tahun 2016 jumlah pengguna internet sebanyak 88,1 juta pengguna, dengan 79 juta di antaranya merupakan pengguna sosial media aktif. Hal ini berdampak pada cara masyarakat Indonesia memperoleh informasi dan cara mengemukakan pendapat di muka umum. Terjadi pergeseran jumlah pengguna media dari media konsevensional menjadi media yang berbasis internet, termasuk sosial media. Berdasarkan survey dari Edelman Trust Barometer tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap informasi yang diperoleh dari media 70% dan media sosial 63%.

Informasi dan pendapat yang dikemukan melalui sosial media pada khususnya merupakan isu-isu sosial ataupun politik yang terkadang bersinggungan dengan permasalahan hukum. Tentu kita masih ingat viral video Sonya Dipari, Basuki Tjahaja Purnama, Jessica Kumala Wongso, dan Dora Natalia Singaribun yang menjadi perbincangan di sosia media. Tanpa mengentahui secara pasti duduk perkara yang sesungguhnya masyarakat percaya akan informasi yang menjadi viral tersebut dan memberikan pendapat dan komentar terhadap masalah tersebut. Banyak dari pendapat dan komentar yang dikemukan tersebut disampaikan kasar, menghina yang suku, golongan dan agama tertentu dan menyudutkan serta menghakimi. Masyarakat telah memvonis terlebih dahulu melalui oleh pendapat dan komentar masyarakat tersebut jauh sebelum masalah tersebut diproses ke peradilan pidana.

Sikap prejudice masyarakat ini memicu pertanyaan: di mana posisi lembaga penegak hukum di tengah gempuran arus sosial media ini? Pertanyaan ini membutuhkan perenungan mendalam karena berkorelasi dengan banyak hal dalam penegakan hukum. Keberadaan sistem peradilan pidana, misalnya, ikut dipertanyakan apakah masih efektif menyelesaikan kejahatan yang ada dan melindungi masyarakat. Penyimpangan dalam sistem peradilan pidana marak terjadi seperti kasus salah tangkap, salah vonis, penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, korupsi dalam sistem peradilan pidana merupakan masalah-masalah yang tidak hanya menjadi domain sistem peradilan pidana di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum.

Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei pada menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum di Indonesia mengalami penurunan. Survei yang dikeluarkan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada akhir tahun 2015 menujukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat atas lembaga Kepolisian sebesar 76,3%, Kejaksaan 69,8% dan Pengadilan 72,1%. Hasil survei lain yang dikeluarkan oleh Indikator Politik pada bulan Januari 2016 menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat atas lembaga Kepolisian sebesar 68,9% dan Pengadilan sebesar 57,9% kemudian berdasarkan hasil Survey yang dikeluarkan oleh Jurnal Politik LIPPI pada bukan Oktober 2016 tingkat kepercayaan masyarakat atas lembaga Kepolisian sebesar 64,5% dan Pengadilan sebesar 51,6%. Jika demikian masih perlukah kita mempercayai terciptanya keadilan pada aparat penegak hukum?

Sosial media merupakan bagian dari sarana untuk menyampaikan kebebasan berpendapat yang merupakan hak dasar manusia. Tidak boleh ada pembatasan akan hak ini namun tetap apa yang disampaikan harus sesuai dengan koridor hukum yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dua hal yang harus menjadi catatan mengenai sosial media. Pertama, isu dan pendapat yang disampaikan dalam sosial media terdiri dari apa yang disampikan masyarakat dan siber media yang menyediakan platform di sosial media, hal ini berbeda dalam bentuk pertanggungjawabannya. Kedua, demografi pengguna sosial media didominasi oleh generasi milenia yaitu mereka yang lahir pada tahun 1995-2010 di mana 49% pengguna merupakan mereka yang berusia 18-25 tahun, 33,8% berusia 26-25 tahun, 14,6% berusia 36-45 tahun, 2,4% berusia 45-55 tahun dan 0,2% 56-65 tahun. Generasi milenia tersebut merupakan generasi instant yang tidak takut untuk mengemukakan pendapatnya namun tidak diimbangi dengan pengetahuan terutama di bidang hukum, sehingga apa yang dikemukan terkadang melanggar koridor undang-undang. Hal yang disampaikan oleh individu-individu di sosial media yang menyudutkan dan menghakimi tersangka, terdakwa tindak pidana ekonomi kiranya tidak bisa dikatakan sebagai trial by the press namun harus menjadi perhatian agar jangan sampai opini yang terbentuk di sosial media menjadi tekanan yang membuat sistem peradilan pidana menjadi tidak netral dan mandiri.

Sejarah berbicara bahwa lahirnya peradilan pidana adalah untuk menilindungi kesewenang-wenangan. Perlindungan tersebut diberikan kepada tersangka, terdakwa dan terpidana dengan prosedur yang diatur secara jelas dan tertulis. Akan tetapi dalam perkembangannya keberadaan peradilan pidana menjadi tertutup dan ekslusif sehingga membuka untuk terjadi penyimpangan, sehingga berbagai kajian dilakukan untuk membuat sistem peradilan pidana menjadi lebih baik termasuk dengan mengikutsertakan partisipasi korban melalui restorative justice system. Khusus di Indonesia perbaikan perlu dilakukan untuk memperbaiki sistem ini terutama untuk membuat jalannya sistem peradilan pidana lebih transparan dan tidak tebang pilih atau memihak. Memang tidak semua proses dalam sistem peradilan pidana dilakukan secara terbuka karena proses projustia yang memang harus dilakukan secara tertutup, namun bukan kemudahan dan kejelasan bagi korban dan masyarakat pencari keadilan juga harus dikedepankan terutama di era keterbukaan dengan dominasi digital dan karakteristis generasi milania. Kemudian perlu adanya ketegasan dari aparat penegak hukum untuk melakukan pengekan hukum agar kepercayaan masyarakat akan proses penegakan hukum meningkat.

Pada akhirnya keberadaan lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana masih diperlukan. Reformasi perlu segera dilakukan untuk meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana. Selain itu pendidikan bagi para pengguna sosial media juga harus dilakukan dan hal ini perlu dilakukan lebih untuk membangun budaya menyampaikan pendapat di sosial media yang baik. (***)


VIDYA


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close