PRINSIP (ASAS) HAK ASASI ANAK DALAM DUNIA BISNIS
Oleh Ahmad Sofian
Belakangan ini ramai diperbincangkan aspek bisnis dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Ditengarai sepak terjang bisnis berpotensi menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia. Sektor bisnis yang melakukan kegiatan bisnisnya diharapkan menghormati hak-hak penduduk sipil, menghormati ekosistem hayati, dan bahkan menghormati kelangsungan hidup hewan dan sumber daya alam. Dalam beberapa kasus, ditemukan sejumlah fakta adanya pelanggaran terhadap harkat martabat manusia, termasuk harkat dan martabat anak-anak.
Interaksi dunia usaha dengan kehidupan anak baik secara langsung maupun tidak langsung tidak terhindarkan. Dampak dari interaksi ini bisa menguntungkan atau merugikan anak. Secara umum, perusahaan dapat memberikan dampak pada anak sebagai bagian dari tempat kerja, sebagai bagian dari pasar, dan sebagai bagian dari komunitas dan lingkungan.
Sebagai bagian dari tempat kerja, beberapa anak masih terlibat sebagai pekerja anak atau anak yang dipekerjakan. Anak juga dijadikan menjadi target pasar dari berbagai jenis produk. Anak ditempatkan sebagai aktor penting yang berpengaruh di dalam proses pengambilan keputusan (Wina Indarini. 2011). Santrock (2003) memaparkan bahwa keputusan sosial di usia anak remaja sudah mulai terbentuk dengan baik dimana mereka mulai menyadari akan kebutuhan untuk mendapatkan tempat di lingkungan sosialnya. Merekapun mulai melibatkan diri dan mulai terlatih didalam proses penetapan keputusan pembelian. Selain itu, banyak korporasi yang melibatkan anak-anak untuk membujuk target audience. Produk-produk anak-anak pun semakin beragam dan semakin banyak pilihan yang ada kalanya produk tersebut membahayakan masa depan anak, atau tidak bermanfaat sama sekali bagi anak.
Sebagai bagian dari komunitas, anak adalah masa depan dari suatu negara. Perusahaan seharusnya menyadari kehadiran bisnisnya di tengah masyarakat harusnya melahirkan juga tanggung jawab sosialnya bagi komunitas di sekitar bisnis tersebut terutama komunitas keluarga dan anak. Dengan kata lain, perusahaan seharusnya memberikan perhatian lebih pada anak, misalnya melalui kegiatan sosial perusahaan yang berfokus pada anak.
Children Right and Business Principle (CRBP)
Pada tahun 2011 United Nations Human Rights Council mendorong (endors) “Guiding Principles on Business and Human Rights. Prinsip ini merupakan bagian dari implementasi dari instrumen hak asasi manusia terutama pada bagian : protect, respect and remedy. Prinsip ini menyediakan peta jalan bagi perusahaan dalam mendemonstrasikan penghormatan mereka terhadap hak asasi manusia. Perusahaan seharusnya bertanggung jawab dalam menghormati hak asasi manusia termasuk hak asasi anak. Meski demikian prinsip ini tidak bermaksud melepaskan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia dan memenuhi kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia termasuk hak asasi anak.
Pada tanggal 24 Juni 2010, UNICEF, United Nations Global Compact dan Save the Children meluncrkan sebuah proses untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang dapat dipergunakan oleh dunia usaha dalam menghormati dan mendukung mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam melindungi hak asasi anak.
Penyusunan prinsip ini melibatkan sektor bisnis, organisasi masyarakat sipil, serikat pengusaha, pemerintah, organisasi hak asasi manusia, akademisi, anak-anak, orang muda, dan stakeholder lainnya. Setelah melakukan proses yang panjang, disepakati prinsip-prinsip: (1) pelindungan anak di tempat kerja (market place), (2) anak sebagai target pasar (marketplace) dan (3) pelindungan anak di komunitas. Prinsip ini diharapkan mampu meminimalisasi dampak negatif dari bisnis dan memaksimalisasi dari dampak positif dari bisnis bagi anak-anak.
Prinsip ini juga diharapkan dapat dijadikan sarana dalam mengupayakan langkah-langkah yang komprehensif bagi sektor bisnis untuk menghormati dan mendukung hak-hak anak. Melalui keterlibatan pemerintah dan bisnis dalam mengambil inisiatif serta membangun kolaborasi multi stakeholder untuk mempromosikan hak-hak anak di sektor bisnis diharapkan upaya ini memberikan hasil optimal.
Pada akhirnya prinsip CRBP ini diluncurkan tanggal 12 Maret 2012 di London. Kemudian di Indonesia, prinsip ini diperkenalkan kepada kalangan bisnis dan institusi pemerintah 13 Februari 2013. Sepuluh prinsip ini dapat dipetakan untuk aksi dalam tempat kerja, pasar, dan komunitas dan lingkungan seperti digambarkan di bawah ini:
Konsekuensi Juridis
Prinsip CRBP dimaksudkan sebagai panduan bagi sektor bisnis dalam mendukung perlindungan hak-hak anak dalam workplace, marketplace, community. Dasar yuridis penyusunan CRBP di tingkat global adalah CRC (Convention on the Rights of the Child) termasuk dua protokol tambahan lainnya yaitu: Optional Protocol on Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography dan Optional Protocol on the Involvement of Children in Arm Conflict. Demikian juga ILO Convention 182 and ILO Convention 138. Dari ketiga konvensi dan dua protokol tambahannya, selanjutnya diformulasikan menjadi “Children Rights and Business Principle”.
Dalam konteks hukum sebuah principle dapat dimaknai sebagai sebuah asas yang dapat melahirkan norma-norma hukum. Prinsip atau asas masih bersifat abstrak sehingga perlu dikongkretisasi. Berikut ini akan dipaparkan pemaknaan pripsip atau asas dalam hukum. Pemaparan ini penting dilakukan untuk memberikan tafsiran atas lahirnya CRBP.
Sudikno Mertokusumo (1996) mengatakan: asas hukum bukan merupakan hukum kongkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan kongkret yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum. Hal ini terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkret tersebut. Satjipto Rahardjo (1986) menyatakan: asas hukum, bukan peraturan hukum. Namun, tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, karena asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dan tata hukum.
Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya sebuah peraturan hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hukum itu bisa dikembalikan kepada asas hukum. Asas hukum juga mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.
Mengacu dapat argumentasi hukum di atas, maka prinsip yang dirumuskan dalam CRBP merupakan nilai-nilai yang abstrak yang perlu dikongkretkan dalam bentuk norma atau peraturan agar bisa dijalankan oleh perusahaan. Dunia bisnis sebagai stakeholder yang mengimplemenasikan CRBP, seharusnya memasukkan prinsip-prinsip ini ke dalam peraturan perusahaan atau kebijakan perusahaan. Perkumpulan pelaku usaha juga bisa membentuk kode etik perusahaan sehingga prinsip ini dapat lebih mudah dilaksanakan. Stakeholder lain, organisasi di sektor bisnis, atau asosiasi pengusaha pun dapat mengintegrasikan prinsip CRBP ini dalam Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga atau malah dalam peruturan organisasi sehingga CRBP ini tidak lagi menjadi sesuatu yang abstrak tetapi bisa dilaksanakan.