EKSAMINASI DAKWAAN TAFSIR TERHADAP PASAL 363 KUHP
Oleh AHMAD SOFIAN (November 2016)
Perkembangan teknologi yang luar biasa akhir-akhir menimbulkan berbagai bentuk tindak pidana yang menggunakan perangkat teknologi. Tindak pidana yang menggunakan fasilitas teknologi ini telah menimbulkan berbagai persoalan hukum baru. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) awalnya dirancang tanpa mempertimbangkan kemajuan teknologi yang luar biasa ini, sehingga KUHP mengalami kesulitan dalam menentukan suatu delik masuk dalam tindak pidana yang diatur dalam pasal tersentu dalam KUHP. Oleh karena itu, muncul barbagai undang-undang khusus yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada tindak pidana tertentu yang belum “clear” diatur dalam KUHP, sehingga menyulitkan jaksa untuk mengurai unsur-unsur tindak pidana tersebut.
Meskipun demikian, masih ditemukan fakta bahwa Jaksa Penuntut Umum masih menggunakan pasal-pasal yang ada di dalam KUHP untuk menentukan sebuah tindak pidana dengan cara memberikan “perluasan makna” atas unsur-unsur tertentu dalam di dalam tindak pidana tersebut. Jaksa Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk menggunakan pasal tertentu di dalam KUHP maupun di luar KUHP atas suatu delik tertentu. Kewenangan ini pada akhirnya akan diuji di pengadilan, untuk memastikan pasal tertentu yang didakwakan tersebut bersesuaian dengan unsur-unsur yang ada di dalam pasal tersebut yang dikaitkan dengan peristiwa kongkrit tertentu.
Berikut ini ditampilkan sebuah kasus yang terjadi di Pengadilan Jakarta Timur beberapa waktu lalu, dimana Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan pasal pencurian bersekutu sebagaimana diatur dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 atas sebuah tindak pidana yang dilakukan dengan kartu kredit yang menggunakan fasilitas smartphone.
Kasus Posisi
Terdakwa dituduh melakukan tindak pidana pencurian karena memindahkan sejumlah uang sebesar Rp. 4.111.000 dari kartu kredit korban. Dalam kasus ini, korban merupakan teman karib terdakwa, sehingga terbangun kepercayaan yang begitu tinggi diantara keduanya. Korban dan terdakwa sering saling meminjamkan handphone untuk melakukan transaksi online. Sampai pada akhirnya, terdakwa melakukan pembelian tiket melalui toko online traveloka. Tiket yang dibeli tersebut menggunakan fasilitas kartu kredit milik korban. Pada awalnya korban pernah meminjam handphone milik korban untuk membeli sesuatu, dan itu dilakukan berulang-ulang oleh korban. Nomor kartu kredit korban tersimpan di handphone terdakwa termasuk 3 nomor angka terakhir yang tertera di belakang kartu kredit. Bulan Januari 2016, terdakwa memesan tiket pesawat dengan menggunakan fasilitas kartu kredit menggunakan handphone miliknya. Sebelumnya, korban juga sudah pernah melakukan pemesanan secara online dengan menggunakan handphone milik terdakwa. Demikian juga terdakwa sebelumnya telah menyimpan nomor kartu kredit miliknya serta tiga angka terakhir di dalam handphone miliknya. Tanpa sengaja, terdakwa memencet kartu kredit milik korban yang telah tersimpan di handphone-nya yang kebetulan 4 nomor terakhir kartu kredit keduanya memiliki kemiripan. Pemesanan tiket pesawat ini atas nama dua orang, yaitu nama terdakwa dan atas nama teman terdakwa.
Keesokan harinya, terkdakwa sadar bahwa dia tidak sengaja menggunakan kartu kredit milik korban, sehingga hari ini juga melakukan transfer ke rekening korban sebesar Rp. 4.111.000 (sesuai dengan transaksi di traveloka) dan menghubungi korban dengan whatshap dan email
Korban melaporkan ke polisi kasus ini dan akhirnya kasus ini pun dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa mendakwa terdakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 363 ayat (1) ke-4, yaitu pencurian yang dilakukan dengan bersekutu.
Analisis
Pasal 363 ayat (1) ke-4 merupakan pasal pencurian dengan pemberatan yang ancaman hukumanya dinaikkan menjadi maksimum 7 tahun. Pasal ini tidak bisa dilepaskan dari pasal genus-nya yaitu pasal 362 yang berbunyi:
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Pasal 363 ayat (1):
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.”
Jika kedua pasal-pasal tersebut diuraikan unsur-unsurnya akan menjadi sebagai berikut :
- barangsiapa
- mengambil
- barang sebagian atau seluruhnya
- dengan maksud untuk dimiiki secara malawan hukum
Tambahan unsur dari pasal 363 ayat (1) ke 4 adalah dilakukan dengan orang orang atau lebih dengan bersekutu.
Unsur-unsur pasal yang dikemukakan di atas lalu dikaitkan dengan peristiwa kongkrit sebagaimana didalilkan dalam surat dakwaan maka yang perlu mendapatkan tafsiran adalah (1) perbuatan mengambil (2) barang sebagian ata seluruhnya (3) dengan maksud memiliki (4) bersekutu.
Dalam doktrin, yang dikatakan mengambil adalah memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam konteks ini barang tersebut masih berada di luar kekuasaanya dan berada di tempat lain. “Mengambil” baru dianggap selesai setelah adanya perpindahan barang tersebut. Perpindahan dalam konteks ini adalah perpindahan fisik barang yang diambil tersebut.
Menurut Noyon Lengemeyer mengambil dapat ditafsirkan sebagai menguasai barang milik orang lain tanpa persetujuan orang tersebut. Simons dan Pompe menegaskan bahwa, mengambil itu belum cukup jika hanya memegang barang orang lain, tetapi menarik barang tersebut sehingga berpindah pengusaan atas barang tersebut. Secara lebih spesifik, van Bemmelen, membagi tiga jenis pemaknaan “mengambil” yaitu kontrektasi, ablasi dan aprehensi. Kontrektasi diartikan sebagai seorang pelaku telah menggeser barang tersebut, sehingga perbuatan pelaku sudah masuk dalam kategori mengambil. Ablasi diartikannya sebagai meskipun pelaku tidak menyentuh barang tersebut, tetapi barang tersebut diamankan atau dipindahkan dari genggaman pemilikinya sehingga dikuasainya. Aprehensi berarti menjadikan suatu benda dalam penguasaan yang nyata.
Unsur “mengambil” masih bisa diperdebatkan, argumentasi “mengambil” harus dimaknai ada perpindahan kekuasaan atas benda. Dalam kasus di atas barang tersebut (nomor kartu kredit dan pin) sudah berada dalam kekuasaan “terdakwa” karena korban memasukkan nomor kartu kredit beserta tiga angka di belakang nomor kartu kredit miliknya ke handphone milik terdakwa. Artinya ada kontribusi korban dan kesalahan korban memasukkan sesuatu yang sangat privat dan confidential ke barang milinya terdakwa. Perbuatan ini bisa diumpakan dengan seseorang (A) meletakkan sebuah payung miliknya ke dalam rumah seseorang (B). Oleh karena, B juga memiliki payung yang dan kebetulan sama dengan warna payung A. B menjual payung tersebut kepada C, apakah perbuatan B dapat dikategorikan mengambil payung milik A?
Tafsiran terhadap “barang” menurut R. Sugandhi (1980) semua benda baik yang berwujud (uang , ternak, dan lain-lain) maupun tidak berwujud seperti aliran listrik. Selain itu, barang juga dapat dikategorikan sebagai benda-benda yang bernilai uang dan yang tidak bernilai uang. Tafsiran terhadap barang, tidak harus utuh, sebagian juga dikaterikan barang, termasuk bagian tertentu dari benda, misalnya roda dari sebuah sepeda, atau kaki kursi.
Dalam kasus ini, perbuatan yang didakwakan oleh JPU: “Terdakwa memindahkan uang yang ada di dalam kartu kredit korban ke rekening Traveloka”. Sebenarnya, dalam konteks ini, korban tidak memiliki uang di dalam kartu kredit, korban melakukan transaksi untuk meminjam uang dari bank penerbit kartu kredit. Kerugian belum terjadi seketika korban, karena belum ada tagihan dari bank penerbit kartu kredit kepada korban. Penerbit kartu kredit memberikan tenggat waktu lebih kurang satu bulan kepada korban untuk melunasinya. Sehingga belum terjadi perpindahan uang milik korban ke Taveloka.
Selain itu, sehari setelah kejadian Oleh terdakwa menyadari kehilafannya, seketika terdakwa melakukan transfer ke rekening korban dan mengkonfirmasinya lewat whatshap dan emai bahwa terdakwa melakukan kekhilafan dan sudah mengembalikannya, sehingga tidak ada kerugian apapun yang diderita korban. Kalaupun dinilai ada kerugian, maka yang mengalami kerugian sebenarnya pihak penerbit kartu kredit bukan korban, karena belum ada pembayaran yang dilakukan oleh korban kepada penerbit kartu kredit.
Tafsiran JPU terhadap “uang” ini berbeda dengan tafsiran “goed” dalam putusan HR Belanda tahun 1921, dimana “arus listrik” ditafsirkan sebagai barang, padahal pembentuk undang-undang menghendaki bahwa barang yang dimaksudkan dalam pasal 362 adalah barang yang berwujud, tetapi HR memperluas makna barang termasuk juga benda-benda yang tidak berwujud. Meski demikian tafsiran HR atas perluasan makna “goed” yang juga termasuk barang-barang tidak berwujud, merupakan tafsiran atas atas pemaknaan barang dalam konteks masyarakat sekarang (kekinian), bukan dalam konteks ketika undang-undang dibentuk.
Unsur “dengan maksud memiliki” dalam konteks kasus ini sangat lemah. Dengan maksud memiliki dapat diartikan sebagai sebuah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sadar penuh keinsyafan. Terdakwa telah merencanakan perbuatan tersebut. Dengan maksud merupakan gradasi tertinggi dalam unsur kesengajaan, karena di dalamnya ada unsur pengetahuan dan keinginan dari terdakwa. Unsur ini, lemah ketika diterapkan dalam kasus yang diuraikan di atas, karena nomor kartu kredit sudah ada di handphone terdakwa beserta 3 nomor terakhir. Terdakwa sadar kalau dia khilaf, sehingga dia langsung menghubungi korban dan mengembalikan uang tersebut atas inisiatifnya. Unsur dengan maksud, sangat lemah jika dilihat dari rentetan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Unsur pencurian bersekutu diartikan sebagai perbuatan dilakukan secara bersama-sama, dengan niat yang sama sebagaimana diatur dalam pasal 55 KUHP yaitu turut serta melakukan. Turut serta melakukan diartikan sebagai “melakukan bersama-sama”. Dalam konteks ini, tentu saja pelaku harus minimal 2 orang yang melakukan tindak pidana dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Perbuatan bersekutu, dimulai dari persiapan yang dilakukan bersama-sama dan mewujudkan tindak pidana juga bersama-sama. Tidak termasuk turut melakukan tindak pidana, jika salah satu pihak hanya melakukan persiapan, namun saat eksekusi tidak dilakukan bersama-sama. Unsur “kebersamaan” mulai dari persiapan sampai pelaksanaan harus bisa dibuktikan dalam konteks pencurian bersekutu. Jika “kebersamaan” ini tidak bisa dibuktikan, maka hal ini tidak termasuk dalam kategori tindak pidana pencurian yang bersekutu, tetapi masuk dalam kategori membantu melakukan tindak pidana pencurian sebagaiamana diatur dalam pasal 56 KUHP.
JPU mendakwa terdakwa dengan pencurian bersekutu, padahal nyata-nyata teman terdakwa (yang dijadikan terdakwa ke 2) tidak ikut dalam proses persiapan dilakukannya tindak pidana tersebut, tidak mengetahui bahwa terdakwa menggunakan kartu kredit milik korban, tidak pernah menyarankan dan tidak pernah mengeksekusi secara bersama-sama atas tindak pidana tersebut. Dalam konteks ini, “kebersamaan” dalam melakukan tindak pidana sangat tidak memenuhi unsur sebagaimana diterangkan dalam doktrin, sehingga dakwaan jaksa sangat lemah dan tidak tepat ketika mendakwakan dengan pasal 363 ayat (1) ke-4.
Penutup
Dengan uraian di atas menunjukkan bahwa penggunaan pasal 363 ayat (1) ke-4 tidak tepat dalam mendakwa terdakwa, karena sebagian besar unsur-unsur pasal tersebut tidak terpenuhi. Delik pencurian pun sebagaimana diatur dalam pasal 362 sangat lemah, karena proses perpindahan barang tidak terjadi, unsur dengan maksud juga tidak ada, yang ada hanya unsur tidak sengaja. Barang milik korban, ternyata masih bisa diperdebatkan, karena perpindahan uang tersebut berasal dari kartu kredit milik bank penerbit, belum terjadi kerugian pada korban.
Delik pencurian pun (pasal 362 KUHP) kurang relevan digunakan untuk mendakwa terdakwa, kalau pun JPU yakin bahwa perbuatan terdakwa masuk dalam kategori tindak pidana, maka harus ada delik lain yang didakwakan dan bukan delik pencurian. Delik lain tersebut pun, harus diuji unsur-unsur apakah tepat atau tidak. (***)
Comments :