ADU NASIB MELAWAN BOOKING TRANSPORTASI ONLINE
Oleh Bambang Pratama (November 2016)
Dalam suatu perjalanan menggunakan transportasi, saya bertanya kepada supir taksi dengan pertanyaan: apakah pendapatan bapak terpengaruh dengan adanya transportasi online? Tanpa pikir panjang, sang supir menjawab: supir taksi sekarang jatuh miskin Pak! Sangat sulit mencari uang dengan adanya booking transportasi online. Saat ini, para supir angkutan umum berada pada kondisi ‘adu nasib’, bukan adu cerdas mencari celah di wilayah yang banyak penumpang. Kesulitan mencari penumpang menjadi lebih sulit lagi karena banyak taksi online dengan plat nomor daerah yang beroperasi di Jakarta. Menurut supir: rasanya aneh, jika pemerintah tidak berani menertibkan taksi gelap ini.
Penyataan di atas adalah keluh-kesah supir taksi konvensional di tengah persaingan dengan taksi online. Perlu diakui sampai saat ini pemerintah belum mengambil langkah tegas untuk mengatur dan mengendalikan jumlah transportasi online. Padahal dampak buruk dari masalah persaingan usaha di bidang transportasi berada di depan mata. Indikasi awal dari masalah transportasi online sebenarnya sudah muncul dengan adanya gesekan horizontal antara tukang ojek pangkalan dengan ojek online, kemudian antara supir taksi konvensional dengan supir taksi online. Melihat kondisi ini, pemerintah seharusnya segera mengambil langkah strategis untuk mengatasi permasalahan persaingan transportasi ini. Pasalnya secara persaingan usaha transportasi terkesan menjadi lawless seperti kondisi jalan raya Jakarta dengan kemacetannya yang berada pada kondisi memprihatinkan.
Dampak lainnya yang secara kasat mata tidak terlihat dari sikap diam pemerintah adalah merusak pasar transportasi sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi penyedia transportasi konvensional. Selain itu, dikhawatirkan akan terjadi konflik horizontal antara penyedia transportasi konvensional dengan transportasi online. Belajar dari negara-negara lain yang melarang peredaran transportasi online memang seharusnya pemerintah bisa melarang atau mengaturnya dengan baik sehingga pasar transportasi menjadi lebih baik.
Di samping konflik horizontal, ada hal lain yang dilupakan pemerintah dalam menghadapi fenomena transportasi online ini. Di luar negeri mungkin saja transportasi online bisa saja di lihat sebagai transportasi sharing. Melalui aplikasi dan informasi maka sebuah kendaraan yang menuju suatu tempat bisa ditumpangi oleh beberapa orang dengan membayar biaya yang bisa dikatakan murah dibandingkan dengan menggunakan transportasi konvensional. Tetapi yang terjadi di Indonesia, tidak demikian. Ada fenomena bisnis lain dari pemilik kendaraan yaitu dengan berani mengambil kredit kendaraan untuk dijadikan bisnis transportasi, bukan untuk ride-sharing. Dengan cara ini, berarti keberadaan transportasi online ini justru menambah masalah kemacetan. Mungkin saja ride-sharing di beberapa negara berhasil mengatasi kemacetan, tetapi di Indonesia tidak demikian, malah menambah jumlah kendaraan yang beredar. Oleh sebab itu, jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas maka keberadaan transportasi online akan menambah masalah transportasi di Indonesia. (***)