People Innovation Excellence

NEGARA HUKUM PANCASILA DAN HAK ASASI MANUSIA

Oleh SHIDARTA (November 2016)

Kata “rechtsstaat” yang berarti “negara hukum” sebagai legal-dokumenter muncul pertama kali dalam aturan Regeringsreglement  (RR)1854, yang diberlakukan di Hindia Belanda setelah Negeri Belanda mengalami perubahan ke monarki konstitusional dengan penetapan Grondwet 1848. Ketika itu, Aliansi Perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau yang lazim disebut Kompeni (VOC) baru saja bangkrut. Kesempatan itu digunakan juga oleh pemerintahan liberal di Belanda untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan negeri kolonial tersebut selama ini terhadap tanah-tanah jajahannya. Dicanangkanlah suatu politik hukum baru yang disebut bewuste rechtspolitiek (politik hukum berkesadaran). Politik hukum ini seakan ingin membuka babak baru perlakuan penguasa di Negeri Kincir Angin itu agar lebih memberi perhatian pada pembangunan tata hukum di Hindia Belanda. Langkah pertama adalah dengan memberlakukan RR tersebut , yang kemudian dengan Staatsblad 1925 No. 415 (berlaku sejak 1 Januari 1926) diubah menjadi Indische Staatsregeling (IS).

Sejak dicanangkannya bewuste rechtspolitiek itu, konsep tentang negara hukum terus masuk ke dalam pemikiran para ahli hukum di Indonesia, apalagi setelah Sekolah Kejurusan Hukum untuk Pelajar Bumiputera (Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen) didirikan pada tahun 1909. Sekolah ini kemudian diubah menjadi Sekolah [Menengah] Hukum (Rechtsschool) pada tahun 1922 (ditutup tahun 1928). Sebagai gantinya sudah dipersiapkan sebuah sekolah tinggi hukum (Rechtshoogeschool) yang sebenarnya sudah beroperasi sejak tahun 1924.

Dari sekolah-sekolah inilah lahir nama-nama besar tokoh hukum Indonesia yang ikut berjuang mempersiapkan tatanan awal sistem ketatanegaraan Indonesia merdeka. Beberapa di antara mereka bahkan sempat mengambil program doktor di Belanda dan lulus sebagai doktor-doktor hukum orang Indonesia pertama, seperti R. Gondokusumo, Alimoedin Enda Boemi, R. Kusumah Atmadja, M. Soebroto, dan R. Soepomo.

Dapat dibayangkan bahwa perkembangan politik hukum di Eropa memiliki peran juga dalam membangun kesadaran para ahli hukum tersebut terutama ketika mereka diminta menjadi arsitek konstitusi negara Indonesia merdeka. Tak terhindarkan bahwa teori-teori tentang hak asasi manusia, menjadi pertimbangan untuk dimasukkan atau tidak dimasukkan ke dalam rumusan konstitusi. Dilema terjadi di sini, misalnya antara keinginan mengadopsi sistem Barat yang dinilai sangat individualistis dan sistem ketimuran yang komunal. Pertentangan antara ahli hukum Soepomo cs dan ahli ekonomi Moh Hatta cs telah menjadi bagian dari sejarah pembentukan UUD 1945. Namun, pada akhirnya beberapa materi hak asasi manusia jadi juga diadopsi ke dalam UUD 1945, terlepas bahwa secara terminologis kata “hak asasi manusia” belum dimunculkan. Juga konsep-konsep tentang demokrasi (kedaulatan rakyat) dan kesejahteraan sosial, telah diakomodasi ke dalam subsansi hak-hak warga yang wajib dilindungi oleh negara. Artinya, secara konseptual, negara hukum Indonesia memang sudah dilengkapi dengan unsur-unsur yang umum dikenal dalam konsep universal negara hukum.

Sekalipun istilah “negara hukum” (rechtsstaat) itu telah dikenal dan diterima dalam kosa kata hukum tata negara kita dan secara substansial dituangkan dalam konstitusi (lihat misalnya dalam Penjelasan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah “negara hukum dan bukan negara kekuasaaan belaka”), dalam kenyataannya kita sendiri tidak pernah sepakat seperti apa formulasi negara hukum ala Indonesia itu. Tegasnya, kita belum bisa menjawab: apakah ada yang unik dengan negara hukum Indonesia?

Seorang teman dari Universitas Leiden, Marjanne Termorshuizen-arts mencoba berspekulasi membuat skema tentang negara hukum Indonesia itu (lihat “Legal Semantics: A Contribution to the Methodology of Legal Comparision, Jurisprudence, and Legal Translation”, 2008). Ada dua versi negara hukum Indonesia, versi sebelum dan sesudah reformasi tahun 1998. Pada versi pertama, rule of law berintikan (core term) asas legalitas. Asas ini kemudian ditemani dengan terma primer (primary terms) berupa konstitusionalisme, demokrasi dengan sistem presidensial dan presiden sebagai mandataris MPR), lalu ideologi Pancasila. Sesudah reformasi, konsep negara hukum kita ternyata lebih kompleks. Terma intinya adalah pemerintahan konstitusional, demokrasi dan “due process of law” dan demokrasi. Lalu ada terma primer seperti transparansi dan trias politica. Gambaran di atas pasti belum sepenuhnya disetujui oleh para ahli hukum kita!

Brian Z. Tamanaha dalam bukunya “On the Rule of Law: History, Politics, Theory” (2004) membedakan wacana tentang negara hukum ini dalam dua kelompok teori. Ada teori-teori formal dan teori-teori substansial. Masing-masing kemudian dibedakannya menjadi tipis dan tebal. Atas dasar pembagian tersebut, lalu muncul enam varian negara hukum versi Tamanaha. Untuk negara hukum tipe formal yang paling tipis adalah rule-by-law. Pada konsep ini hukum dipakai sebagai alat oleh penguasa untuk menjamin ketertiban. Berikutnya ada negara hukum legalitas formal (formal legality) yang memastikan ada hukum positif yang berlaku umum, jelas, dan prediktabel (berkepastian). Pada akhirya ada tipe negara hukum yang tebal,yang menggabungkan demokrasi dan legalitas. Pada tipe negara hukum formal yang terakhir ini, konsensus dijadikan sebagai dasar penetapan substansi hukum. Jika menggunakan model Tamanaha ini, tampaknya negara hukum Indonesia sudah mulai mengarah ke model yang yang paling tebal.

Di sisi lain, ada model negara hukum dilihat dari aspek material. Tamanaha juga membaginya menjadi tiga, mulai dari yang tipis sampai dengan tebal. Model negara hukum yang paling tipis adalah negara hukum yang sebatas memberi perlindungan hak-hak individual. Lalu bergeser ke kanan, yakni negara hukum yang menambahkannya dengan menjamin martabat lembaga dan aparat negara. Korupsi, misalnya, relatif sudah tidak lagi menjadi fenomena umum pada model kedua ini. Model yang paling tebal adalah negara yang memberi tambahan jaminan kesejahteraan sosial. Dilihat dari model-model ini, kita bisa berspekulasi juga dengan mengatakan bahwa secara material posisi negara hukum Indonesia memang baru berkisar pada tipe yang paling tipis.

Sesungguhnya, konsep negara hukum Indonesia, yang mungkin bisa diberi nama negara hukum Pancasila, sudah cukup lengkap menampung semua model yang ditawarkan oleh Tamanaha. Negara hukum Pancasila kita sudah melindungi hak-hak perorangan, walaupun dikatakan dalam aliran negara persatuan, negara mengatasi paham perseorangan dan golongan. Artinya, hak-hak individual dalam negara persatuan ala Indonesia itu tidaklah semutlak hak-hak personal yang dikenal dalam sistem hukum Barat. Nah, pada tahap inilah kita bisa berhenti sejenak untuk introspeksi.

Lembaga riset Indonesian Legal Rountable (ILR) setiap tahun telah merilis indeks negara hukum Indonesia. Pada tahun 2015 lalu, indeks ini dikabarkan membaik, tetapi masih terkendala pada dimensi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Memang sejumlah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, masih menjadi pekerjaan rumah pemerintahan sekarang. Bahkan jika tidak dituntaskan juga, akan membebani lagi pemerintahan berikutnya. Tragedi 1965, kerusuhan Mei 1998, kasus Munir, adalah sekuens-sekuens penegakan hukum berdimensi HAM yang masih tertutup kabut tebal. Keengganan negara (baca: pemerintah) dalam menuntaskan “luka sejarah” itu antara lain karena ketidaksepakatan kita tentang apa benar semua peristiwa itu benar-benar suatu pelanggar HAM? Jika benar-benar pelanggaran HAM, apakah instrumen penegakan hukum untuk kasus-kasus itu sudah dianggap selesai dan mumpuni, atau masih harus lebih daripada itu agar dapat dianggap “tuntas”?

Jika kita kembali kepada survei tentang indeks negara hukum yang dilakukan oleh ILR, maka benar bahwa kendala untuk naiknya indeks negara hukum kita masih terletak apda dimensi yang satu ini, yaitu penghormatan kita terhadap hak asasi manusia. Jadi, patut dicurigai jangan-jangan konsep HAM kita itu memang belum benar-benar jelas dipahami oleh kita sendiri. Jangankan orang awam, para akademisi kita sendiri belum sepakat memaknainya. Institusi seperti Komnas HAM pun mungkin belum cukup gamblang mendefinisikannya agar mudah dimengerti semua orang. Aktivis HAM yang ada di lembaga-lembaga swadaya masyarakat pun punya opini berbeda-beda. Kejadian-kejadian yang bernuansa etnis dan religi akhir-akhir ini, menunjukkan kebingungan kita untuk membedakan mana HAM yang universal dan mana yang partikular. Mana HAM yang berdimensi primordial-eksklusif (misal karena terkait keyakinan agama tertentu), dan mana yang primordial-inklusif.

Saya pikir, sangat menarik apabila ada gagasan dari pihak berwenang di bidang ini (Pemerintah atau misalnya Komnas HAM) dapat membuat serial simposium nasional tentang HAM dalam konteks negara hukum Pancasila. Forum ini sangat perlu agar kita bisa mendiskusikan secara terbuka apa konsep negara hukum kita, dan bagaimana menempatkan HAM dengan segala aspek keindonesiaannya itu di dalam konteks negara hukum Pancasila tersebut. Perdebatan hangat dipastikan akan terjadi, tetapi perdebatan seperti itu perlu diwadahi dan sesungguhnya sehat bagi kehidupan demokrasi kita. Hasil dari simposium tadi diharapkan bisa menjadi rekomendasi atau paling tidak, referensi yang lebih terarah tentang bagaimana kita sebagai suatu bangsa harus memahami negara hukum Pancasila kita saat ini dan menempatkan HAM sebagai salah satu unsur penting di dalamnya.

Dalam forum seperti itui kita dapat menguak banyak hal, seperti: apakah konsep-konsep universalitas dalam HAM ini memang sepenuhnya sejalan dengan alam kehidupan keindonesiaan kita dewasa ini. Seandainya dijawab: “tidak selalu sejalan,” maka kita bisa tanyakan lagi: di mana batasan-batasannya. Selama ini, terkesan ada pendapat bahwa HAM itu sama dengan hak konstitusional warga negara. Padahal, HAM yang ada di dalam konstitusi kita hanya sebagian saja dari HAM yang bersumber dari pilar-pilar hukum nasional kita. Hak masyarakat adat, hak kaum minoritas, hak wanita dan anak-anak, hak penyandang disabilitas (diffable), hak penganut aliran kepercayaan, adalah topik-topik tersebar yang belum pernah terstrukturkan secara utuh dalam konsep HAM kita dan terintegrasi dalam negara hukum Pancasila. Putusan-putusan parsial Mahkamah Konstitusi yang dianggap menjadi pengawal resmi tafsir konstitusi tentu layak juga untuk ikut dibedah; dipertanyakan seberapa putusan-putusan tersebut konsisten dan konsekuen dengan pilihan kita dalam bernegara hukum Pancasila.

Kecenderungan makin menguatnya primordialisme dalam alam demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini, seharusnya menjadi lampu kuning bagi bangsa ini. Hal ini akibat kita cukup lama abai dalam memberi ruang bagi publik mendiskusikan hal-hal demikian secara terbuka dan tanpa rasa takut. Ketakutan akan ketersinggungan atas nama suku, agama, ras, antar-golongan menjadi demikian mengemuka di negeri kita, yang secara irasional bahkan dikait-kaitkankan dengan pelanggaran HAM, yang artinya merupakan tindak-kriminal. Hukum pun akhirnya ditekan untuk justru ikut-ikutan membatasi ruang ini. Beberapa contoh nyata adalah pelarangan seminar yang membahas topik-topik menarik tapi dipandang sensitif oleh sekelompok orang, sehingga atas nama ketertiban umum ikut pula dilarang oleh aparat penegak hukum (kendati lokasinya diadakan di perguruan tinggi). Diskusi yang cerdas dan bernas akhirnya tidak pernah benar-benar konstruktif dan produktif, karena yang terjadi adalah ungkapan-ungkapan model caci-maki di media sosial. Atau, ala pengerahan massa yang menakutkan banyak orang. Masyarakat pun menjadi begitu gampang terprovokasi.

Fondasi bernegara hukum yang kuat tidak mungkin terwujud jika diawali sikap seperti “burung onta” yang memasukkan kepalanya di dalam lobang, dan berasumsi semuanya akan menjadi baik-baik saja. Negara hukum Pancasila tidak boleh dibangun dengan asumsi-asumsi karena bisa jadi suatu saat kita akan terkejut setelah mendapati bahwa toleransi, bhinneka-tunggal-ika, atau NKRI, bukan lagi “harga mati” melainkan bisa “ditawar-tawar”.

Saatnya kita membuka diri untuk berani membedah isu-isu sentral terkait eksistensi negara hukum Pancasila ini, khususnya tentang apa yang layak kita persepsikan sebagai HAM yang bercirikan keindonesiaan. Metodenya tidak lagi dalam bentuk indoktrinasi yang membosankan dan elitis seperti era Orde Baru, melainkan dengan cara dialog-dialog terbuka yang sehat dan bernas, khususnya di perguruan-perguruan tinggi kita. Dengan cara ini negara tidak pernah dibiarkan sendirian merangkum formulasi negara hukum Pancasila tersebut tanpa pernah melibatkan semua elemen bangsa. Di sisi lain, perguruan-perguruan tinggi kita pun tertantang untuk tidak menjadi menara gading, melainkan ikut berkontribusi nyata dalam membangun negara hukum Pancasila. Proses dialog dan simpulan-simpulannya harus disosialisasikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan merakyat agar mudah dicerna dengan nalar pada umumnya (common sense).

Barangkali ada anggapan bahwa dialog-dialog seperti ini akan membuang-buang energi karena bakal memantik api di dalam sekam. Memang, tidak ada jaminan bahwa semua jawaban dapat ditampilkan melalui cara-cara dialog seperti ini. Namun, satu hal yang pasti, bahwa bangsa ini bakal menjadi makin rasional dan kurang over-sensitif (“kekanak-kanakan”) apabila dihadapkan pada isu-isu yang semula dianggap kontroversial untuk diperbincangkan. Ajakan-ajakan provokatif pun tidak lagi menarik perhatian. Justru dialog-dialog ini diadakan guna memberi semacam kanalisasi yang menghindarkan dari pemantik api di dalam sekam. Itulah sebabnya, plihan waktunya tidak harus menunggu momentum pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, yang biasanya membuat suhu politik menjadi hangat, bahkan cenderung panas. Manfaat lainnya adalah bahwa konsep-konsep bernegara kita, termasuk konsep negara hukum Pancasila dengan HAM sebagai salah satu terma kuncinya, akan mengalami aktualitasi menghadapi tantangan kekinian.

Pendek kata, dialog isu-isu kebangsaaan yang krusial dan “masih tergolong sensitif” seperti di atas merupakan kerja berkesinambungan, yang bisa dimulai dan diadakan kapanpun. Sekalipun usia negara kita sudah di atas tujuh dasawarsa, kita masih belum terlambat mengambil langkah strategis ini.(***)   


SHD


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close